Memitigasi
Bahaya dari Langit-Bumi
Ahmad Arif ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 24 Desember
2016
Gempa di Pidie Jaya, Aceh, pada 7 Desember
2016 di zona yang belum terpetakan menambah panjang kerentanan negeri ini.
Adapun cuaca meluaskan skala dan frekuensi banjir-longsor.
Sekalipun gempa dan gejolak hidrometeorologi
itu fenomena alam tak terhindarkan, bencana adalah proses kebudayaan.
Berdasarkan data BNPB, jumlah kejadian bencana
tahun 2016 tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Daerah bencana juga meluas
dengan kerugian ekonomi setidaknya Rp 30 triliun. Gempa dan hidrometeorologi,
utamanya banjir dan longsor, paling dominan.
Sebagian bencana terjadi di zona langganan,
misalnya banjir di Jakarta, Tangerang, Bekasi, hulu Citarum di Kabupaten Bandung,
hingga banjir di Bengawan Solo meliputi Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan
Gresik.
Namun, di luar zona langganan itu muncul
daerah-daerah baru. Beberapa bencana di luar zona yang diperkirakan itu,
misalnya banjir di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, pada Februari
2016, yang terparah di daerah itu dalam 30 tahun terakhir.
Demikian juga banjir di Kota Bandung, gempa di
Pidie Jaya, hingga banjir besar di Bima merupakan anomali. Semua data ini
menunjukkan, daerah rawan bencana kian meluas.
Hidrometeorologi
Banjir di Kota Bima, Pulau Sumbawa, NTB, sejak
Kamis (22/16), contoh nyata kondisi cuaca yang kian tak ramah. Berdasarkan
data BMKG, curah hujan di Plampang, Pulau Sumbawa, mencapai 208 mm per hari.
Itu sangat tinggi, tertinggi dalam sejarah curah hujan di wilayah itu.
Tak hanya di Sumbawa, wilayah Bali juga
dilanda hujan ekstrem, seperti Buleleng dengan 192 mm per hari, Karangasem
103,5 mm per hari, dan Tabanan 249 mm per hari.
Munculnya siklon tropis Yvette di Samudra
Hindia, 653 kilometer selatan Denpasar, diduga kuat pemicu hujan deras yang
masih akan terjadi tiga hari ke depan. Indonesia memang relatif aman dari
dampak langsung siklon tropis karena rute edarnya menjauhi khatulistiwa.
Namun, dampak tak langsung berupa cuaca buruk kian serius. Beberapa peneliti,
seperti Emanuel (2005), mendokumentasikan bukti data observasi bahwa daya
kuat badai tropis meningkat. Itu ditunjukkan oleh integral kolom kecepatan
angin terhadap waktu saat melintas daerah Samudra Pasifik Barat dan Atlantik
terentang 50 tahun terakhir.
Penguatan topan tropis itu hanya satu masalah
yang diduga dibangkitkan perubahan iklim. Perubahan cuaca juga berubah.
Beberapa kali banjir dan longsor di Jawa, Juni-September 2016, terjadi saat
kemarau.
Berdasarkan catatan Kompas, Juni-September
2016, terjadi banjir dan longsor di Purworejo, Kebumen, dan terakhir di Garut
dengan korban 100 jiwa lebih. Padahal, Juni hingga September, biasanya masuk
kemarau.
Riset peneliti BMKG, Siswanto (2015),
menemukan perubahan suhu dan curah hujan di Jakarta dalam 130 tahun.
Disebutkan, ada kenaikan suhu rata-rata 1,6 derajat celsius tahun 1997 saat
super El Nino. Setelahnya cenderung turun-naik. Kenaikan itu melampaui
kenaikan suhu global yang hanya 0,85 derajat celsius.
Perubahan iklim itu yang diduga memengaruhi
berkurangnya jumlah hari hujan periode 1866- 2010. Namun, proporsi curah
hujan ekstrem melebihi 50 mm per hari terhadap total hujan tahunan naik
signifikan.
Dengan pola cuaca seperti itu, tak heran jika
bencana hidrometeorologi mendominasi total bencana di Indonesia. Tahun ini,
lebih dari 90 persen merupakan bencana hidrometeorologi. Jenis bencana
terbanyak banjir (713 kejadian), puting beliung (608), dan tanah longsor
(552).
Gempa bumi
Sekalipun frekuensinya relatif rendah, gempa
masih menjadi ancaman mematikan. Dari 5.357 gempa yang terdeteksi BMKG
sepanjang 2016, sebanyak 12 kejadian di antaranya merusak. Jika dilihat yang
terkuat, gempa pada 2 Maret 2016 yang terjadi di bawah laut Samudra Hindia
dengan kekuatan M 7,8.
Dari aspek dampak, gempa Pidie Jaya paling
menyita perhatian. Gempa M 6,5 pada Rabu (7/12) itu sebenarnya bukan terkuat
tahun ini, tetapi menimbulkan kerusakan dan korban jiwa terbanyak. Total
kerugian Rp 1,9 triliun serta korban tewas 104 orang dan luka berat 268
orang.
Masih ada perdebatan soal sumber pembangkit
gempa Pidie Jaya. Namun, mayoritas ahli menyepakati terjadi di zona belum
terpetakan. Pusat gempa itu tidak ada di Peta Bahaya Gempa Bumi Nasional
versi Standar Nasional Indonesia 2010.
Bahkan, gempa itu belum ada di draf peta SNI
baru yang akan diluncurkan Desember ini. Para ahli yang tergabung dalam Pusat
Studi Gempa Bumi Nasional (PuSGeN) merevisi drafnya, salah satunya dengan
memasukkan data gempa tersebut. Nama sesar Pidie Jaya disiapkan untuk menamai
zona kegempaan baru ini.
Kita jelas tak bisa mengubah sumber bencana.
Jika laju perubahan iklim tak terhentikan, intensitas cuaca ekstrem
kemungkinan meningkat. Gempa akan terus terjadi selama lempeng bumi terus
bergerak.
Namun, bencana apa pun bisa dikurangi dampak
kerusakan dan korban jiwanya. Syaratnya, tata kelola lingkungan dan tata
ruang berbasis risiko menjadi arus utama. Tak ada cara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar