Relaksasi
Ekspor: Perampokan Secara Legal?
Fahmy Radhi ; Dosen
UGM; Mantan Anggota Tim Anti-Mafia
Migas
|
KORAN SINDO, 28 Desember
2016
Setelah timbul tenggelam wacana kebijakan relaksasi
ekspor konsentrat kembali muncul di permukaan. Wacana kali ini kebijakan
relaksasi ekspor konsentrat bahkan sudah akan diberlakukan dengan dasar
peraturan pemerintah (PP), yang konon draf final peraturan tersebut sudah
berada di meja Presiden Joko Widodo.
Wacana kebijakan relaksasi ekspor pertama kali
dimunculkan oleh Luhut Binsar Panjaitan yang saat itu bertindak sebagai
Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, sejak
Ignasius Jonan dilantik sebagai Menteri ESDM, wacana kebijakan relaksasi
ekspor konsentrat mulai tenggelam, namun tiba-tiba kini muncul kembali di
permukaan.
Pelarangan Ekspor Konsentrat
Pada saat kali pertama memunculkan wacana relaksasi
ekspor konsentrat, Luhut berdalih bahwa tujuan pelonggaran ekspor konsentrat
untuk kepentingan semua perusahaan pertambangan, termasuk Freeport dan
Newmount. Menurut Luhut, rencana relaksasi itu akan dilakukan dengan mengubah
Undang-Undang (UU) Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Kalau kebijakan relaksasi ekspor konsentrat dilakukan
dengan perubahan UU Minerba Nomor 4/2009, barangkali masih bisa
dipertanggungjawabkan secara legal. Namun, kalau menggunakan peraturan
pemerintah sebagai dasar kebijakan relaksasi ekspor, penerapan kebijakan itu
berpotensi melanggar undang-undang .
UU Minerba Nomor 4/2009 telah mewajibkan perusahaan
tambang membangun tempat pemurnian (smelter) untuk mengolah minerba mentah di
dalam negeri. Undang-undang itu juga melarang ekspor minerba mentah dalam
bentuk konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan dalam kadar tertentu
(smelterisasi).
Kendati UU Minerba Nomor 4/2009 telah memberikan
tenggat waktu selama lima tahun, sebagian besar perusahaan tambang tidak
mampu memenuhi kewajiban smelterisasi, pada saat larangan ekspor konsentrat
efektif diberlakukan pada 12 Januari 2014. Sejak diberlakukan larangan ekspor
konsentrat berdasarkan undang-undang, banyak perusahaan tambang yang menolak.
Freeport dan Newmont menolak keras pemberlakuan
larangan ekspor itu sembari mengancam akan menghentikan produksi dan
melakukan PHK puluhan ribu karyawannya. Beberapa perusahaan asing bahkan
mengancam untuk menggugat ke Arbitrase Internasional atas larangan ekspor
konsentrat, yang diatur secara sah dalam UU Minerba Nomor 4/2009.
Penolakan itu sesungguhnya bukan karena perusahaan
tambang tidak memiliki kecukupan dana untuk membangun smelter, namun lebih
untuk menghindari kontrol peme-rintah atas hasil tambang yang ditambang dari
ladang penambangan di Indonesia. Dengan diekspor dalam bentuk minerba mentah,
sangat sulit bagi pemerintah untuk mengontrol berapa sesungguhnya nilai
tambang yang telah dikeruk dari bumi Indonesia untuk diekspor.
Perampokan Legal
Kalau ekspor minerba mentah dibiarkan secara terus-menerus,
tidak berlebihan dikatakan bahwa ekspor hasil pengerukan minerba mentah
sesungguhnya bak perampokan kekayaan alam Indonesia secara legal. Alasannya,
perundangan sebelumnya mengizinkan bagi perusahaan tambang untuk mengeruk dan
mengekspor minerba mentah.
Pengerukan dan pengeksporan minerba mentah sudah
berlangsung lebih 70 tahun, tanpa memberikan nilai tambah yang berarti bagi
bangsa ini. Ironisnya, ekspor hasil tambang minerba mentah itu lebih
menguntungkan bagi perusahaan tambang ketimbang memberikan kemakmuran bagi
rakyat.
Selain itu, kebijakan relaksasi ekspor konsentrat
berpotensi merugikan bagi investor yang sudah telanjur membangun smelter di
Indonesia. Menurut Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia
(AP3I), sejak 2012 sudah ada 27 smelter yang telah selesai dibangun dengan
total nilai investasi sebesar USD12 miliar.
Relaksasi ekspor konsentrat tidak hanya memukul
investor smelter, tetapi juga berpotensi menghambat investasi pembangunan
smelter, lantaran investasi di bidang smelter semakin tidak kondusif dengan
kebijakan relaksasi ekspor. Dampaknya, hasil tambang Indonesia selamanya akan
diekspor dalam bentuk minerba mentah, dengan nilai tambah sangat rendah.
Karena itu, pemerintah harus menghentikan kebijakan
relaksasi ekspor konsentrat, kembali ke jalan yang benar sesuai UU Minerba
Nomor 4/2009, yang secara tegas sudah melarang ekspor minerba mentah sejak 12
Januari 2014. Dalam jangka pendek, pelarangan ekspor konsentrat, memang
berpotensi menurunkan nilai ekspor minerba Indonesia.
Namun, dalam jangka panjang ekspor minerba, yang sudah
diolah di smelter Indonesia, akan kembali meningkat dengan nilai tambah jauh
lebih besar daripada nilai tambah ekspor minerba mentah. Pelarangan ekspor
minerba mentah ini sesungguhnya sesuai dengan komitmen Presiden Joko Widodo.
Pada saat peresmian pabrik nikel di Morowali tahun
lalu, Presiden Joko Widodo dengan sangat tegas berkata, “Indonesia jangan
lagi mengekspor mineral mentah, tapi mari kita olah untuk menciptakan nilai
tambah.” Demikian pula dengan Wakil Presiden dalam beberapa kesempatan
mengatakan,“Pemerintah jangan lagi mengizinkan ekspor mineral mentah.”
Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan bahwa kewajiban
pengolahan dan pemurnian mineral di smelter dalam negeri sejalan dengan Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945. Kalau kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah
tetap dipaksakan berdasarkan peraturan pemerintah, kebijakan tersebut tidak
hanya bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Minerba Nomor 4/2009,
serta amanat Mahkamah Konstitusi, tetapi juga merupakan
bentuk pembangkangan terhadap perintah Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Kebijakan relaksasi ekspor bahkan merupakan bentuk pembiaran
berkelanjutan terhadap perampokan minerba secara legal di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar