Radio
di Era Media Sosial
Rohmad Hadiwijoyo ; Ketua
Umum PRSSNI
|
MEDIA INDONESIA,
28 Desember 2016
PASANG naik dan surut sebuah organisasi merupakan hal
yang lumrah dan biasa. Dinamika yang ditimbulkan perkembangan eksternal dan
internal selalu terjadi. Terkini, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
mengakibatkan perubahan drastis dalam perilaku publik memperoleh hiburan dan
informasi. Merebaknya media sosial dan media daring menimbulkan tanda tanya
apakah media radio masih relevan. Lebih jauh apakah radio siaran masih mampu
bertahan dan bersaing.
Menurut sebuah survei, masyarakat masih memerlukan
media radio. Selain biaya mengaksesnya relatif murah, radio mampu menjangkau
jutaan pendengar yang tersebar di berbagai tempat dengan kondisi geografis
beragam.
Dalam konteks itulah Persatuan Radio Siaran Swasta
Nasional Indonesia (PRSSNI) yang genap berusia 42 tahun pada 17 Desember 2016
punya peran penting. Organisasi yang telah memasuki usia hampir setengah abad
itu punya 770 anggota tersebar dari Sabang sampai Papua. Di sisi lain peran
sertanya dalam pembangunan nasional tidak diragukan lagi. Agar tetap mendapat
tempat di kancah persaingan media, setidaknya ada tiga hal yang perlu
dikembangkan anggota PRSSNI saat ini. Pertama, PRSSNI harus tetap konsisten
sebagai wadah bagi cagar budaya bangsa. Dengan jangkauan siar yang mampu
membelah khatulistiwa Nusantara, eksistensi PRSSNI sebagai organisasi cukup
tangguh untuk nguri-nguri (menjaga dan menghidupkan) kearifan budaya.
Ketika media sosial kontemporer justru menjadi wahana
efektif untuk menyebarluaskan budaya yang tidak selaras dengan jati diri
bangsa, radio harus bisa menjadi tempat kembali dan menjawab hal tersebut.
Dalam sebuah kesempatan belum lama ini, Presiden Joko Widodo mempertanyakan
kecenderungan yang berkembang di media sosial. Di sana muncul hujatan,
cacian, fitnah, menebar kebencian, dan menyebarluaskan berita palsu (hoax).
Tanpa mengabaikan manfaat positifnya, media sosial punya andil besar dalam
percepatan degradasi jati diri bangsa.
Dalam konteks yang lebih besar, pudarnya jati diri
bangsa itu terefleksikan dari maraknya pola hidup individualis,
materialistis, dan hedonis. Karena itu, instruksi Presiden untuk membentuk
satuan tugas pemberantasan pungli semestinya diikuti dengan upaya
komprehensif untuk membangkitkan kembali jati diri bangsa. Presiden dan
jajarannya perlu segera merumuskan strategi kebudayaan guna membangun fondasi
yang kukuh untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Radio bisa turut andil
secara signifikan dalam upaya strategis tersebut.
Kita bisa merujuk pada success story kampanye Keluarga
Berencana (KB) di era Orde Baru. Radio memainkan fungsi yang sangat strategis
untuk menunjang keberhasilan kampanye tersebut. Radio akan bisa sangat
elastis menyesuaikan dengan tuntutan zaman sehingga kontribusinya bisa sangat
signifikan. Kedua, PRSSNI harus terus mengedepankan komitmen untuk menjaga
NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai komponen bangsa, anggota PRSSNI yang
tersebar di seluruh Indonesia bisa dijadikan ujung tombak dalam membangun dan
memperkuat nasionalisme serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam bingkai
NKRI.
Dalam sistem Hankamrata dan Wawasan Nusantara,
pengamanan sebuah wilayah bukan saja tanggung jawab negara dan TNI, melainkan
juga harus melibatkan semua unsur masyarakat. Dalam sejarah perang dunia
kedua, peran dan fungsi radio sebagai media propaganda berandil besar dalam
memenangkan peperangan. Dalam perjuangan merebut kemerdekaan, pembacaan
naskah proklamasi kemerdekaan oleh Bung Karno pertama kali disebarluaskan
melalui radio. Hal itu langsung berimbas pada bangkitnya kesadaran dan
semangat masyarakat sebagai sebuah bangsa dengan negara merdeka dan
berdaulat.
Peduli lingkungan
Karena itu, tidak berlebihan kalau siaran radio saat
ini harus mampu menjadi sarana untuk menanamkan dan memperkuat keindonesiaan.
Radio harus menjadi bagian dari arus besar untuk membangun kesadaran serta
wawasan tentang keragaman dan kebinekaan Indonesia. Yang terakhir, terkait
dengan fakta bahwa saat ini kita memasuki era global warming. Pembangunan
yang berkesinambungan bisa terwujud jika kita peduli terhadap lingkungan
hidup. PRSSNI ditantang untuk menjadi teladan dalam mewujudkan green society,
green community. Radio yang peduli lingkungan alias green radio menjadi
keharusan.
Green radio tidak boleh jadi slogan saja, tetapi harus
dipahami dan dimanifestasikan sehingga mampu memberi contoh konkret bagi
masyarakat. Efisiensi pemanfaatan energi harus menjadi etos penyelenggara
radio siaran. Program siaran yang prolingkungan dan propola hidup hijau harus
mendapat porsi yang memadai. Selain itu, anggota PRSSNI harus berperan aktif
dalam sosialisasi pentingnya energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
Kesadaran tentang hal itu di kalangan masyarakat relatif masih rendah. Dengan
demikian, peran sebagai aggregator sekaligus motivator mewujudkan masyarakat
peduli pemanasan global bisa dijalankan dengan sepenuh hati dan percaya diri,
bukan sekadar gimmick untuk meraup pasar dan pangsa iklan.
Tiga agenda strategis itu hanya bisa dijalankan jika
anggota PRSSNI paham dan bisa ambil bagian dalam tren yang tengah berkembang
di era komunikasi dan informasi saat ini. Pola yang dikembangkan tidak bisa
merujuk ke era pembacaan teks proklamasi. Setiap era mengharuskan pendekatan
dan kemasan program yang berbeda. Di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi saat ini, tidak ada media yang mampu eksis dengan berdiri sendiri
dan menutup diri. Ini era sinergi dan konvergensi, termasuk sinergi dan
konvergensi dengan media sosial yang makin signifikan perannya di tengah
masyarakat. Inilah game yang harus dimainkan agar eksistensi radio siaran
tetap terjaga dan bermakna. Hanya dengan itu, slogan 'Satu Suara Berjuta
Telinga' akan menemukan relevansinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar