Pesisir
1.000 Tahun Lagi
Saiful Rijal Yunus ; Wartawan
KOMPAS
|
KOMPAS, 22 Desember
2016
Reklamasi Teluk Jakarta bukan hanya soal
pembangunan Ibu Kota negara. Gaungnya beresonansi hingga ke Denpasar (Bali),
Makassar (Sulawesi Selatan), dan sejumlah wilayah lain di Indonesia yang juga
telah atau bersiap mereklamasi kawasan pesisir.
Melakukan dan membuka kajian menyeluruh,
melibatkan masyarakat, memperbaiki tumpang tindih aturan, harus jadi landasan
menata langkah menuju 100, bahkan 1.000, tahun ke depan.
Sejak akhir Maret 2016, gaung reklamasi Teluk
Jakarta kian terdengar keras. Dan, itu berawal dari penangkapan Ketua Komisi
D DPRD DKI Jakarta M Sanusi dalam kasus suap terkait rancangan peraturan
daerah mengenai reklamasi. Selain Sanusi, yang saat ini telah dituntut 10
tahun penjara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menahan Presiden
Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja dan anggota stafnya
Prinanda Prihantoro.
APL adalah induk perusahaan PT Muara Wisesa
Samudera (MWS), salah satu pemegang konsesi 17 pulau reklamasi di Teluk
Jakarta. PT MWS sendiri telah mulai membangun Pulau G di pesisir Muara Angke,
Jakarta Utara, meski baru selesai sekitar 18 persen dari total luas pulau 160
hektar.
Selain Pulau G, sudah ada dua pulau lain yang
telah dibangun, yakni Pulau C dan D. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga
telah melayangkan tiga (1-3) surat peringatan kepada PT Kapuk Naga Indah
(KNI), anak perusahaan Agung Sedayu Group, yang memegang hak pembangunan dua
pulau di seberang Pantai Indah Kapuk tersebut. Di atas pulau ini diketahui
telah dibangun ratusan bangunan meski belum memiliki izin mendirikan bangunan
(IMB) dari Pemprov DKI.
Dalam perjalanan kasus itu, KPK juga memeriksa
Chairman Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan dalam kasus suap
terkait regulasi reklamasi Teluk Jakarta.
Reklamasi yang digagas sejak 1995 itu juga
bergulir dalam gugatan ke PTUN oleh sejumlah nelayan, organisasi masyarakat,
yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ). Majelis hakim
PTUN, yang dipimpin Adhi Budi Sulistyo, akhir April lalu mengabulkan semua
gugatan itu dan menyatakan pembangunan Pulau G dihentikan sementara. Meski
demikian, Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat banding, pertengahan Oktober
2016.
Mengambil alih
Dengan segala kompleksitas ini, pemerintah
pusat akhirnya mengambil alih segala hal terkait Teluk Jakarta. Pemerintah
membentuk komite gabungan dan memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung
moratorium reklamasi untuk menuntaskan semua persoalan. Meski demikian, ia
mengingatkan komite gabungan bekerja cepat dan terbuka agar ada kepastian
hukum dan investasi dalam setiap persoalan pembangunan.
"Ya, (komite gabungan) harus sesegera
mungkin bekerja agar semua pihak segera mendapatkan jawaban dan kepastian
dari setiap persoalan yang ada," kata Kalla (Kompas, 20/4).
Sejumlah masalah terkait reklamasi Teluk
Jakarta ditemukan kementerian terkait, antara lain, masalah lingkungan,
dampak sosial, pengaruh terhadap obyek vital, dan ketidaklengkapan dokumen.
Selain itu, faktor regulasi juga terus dikaji, termasuk tahapan, rekomendasi,
dan seperti apa formula hukum yang benar. Namun, pemerintah pusat lalu
mengambil langkah yang jauh lebih kompleks, yakni mengintegrasikan reklamasi
dengan program Pembangunan Terpadu Kawasan Pesisir Ibu Kota Nasional (NCICD).
NCICD adalah program jangka panjang yang
berusaha mengamankan Teluk Jakarta dari berbagai ancaman bencana. Proyek
tersebut terbagi menjadi tiga tahap pembangunan tanggul laut. Fase A tanggul
laut telah mulai dibangun.
Sementara itu, Fase B, seperti dikutip dari
laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), adalah
pembangunan tanggul laut luar bagian barat dan waduk besar. Pembangunan fase
ini diperkirakan pada 2018 hingga 2022.
Fase terakhir adalah Fase C yang akan dibangun
setelah 2032 dengan fokus pada pembangunan tanggul luar timur. Beberapa
program pengembangan jangka panjang fase ini adalah menutup bagian dari teluk
jika penurunan muka tanah di bagian timur Jakarta tidak dapat dihentikan.
Setelah teluk ditutup, menurut rencana dibuat jalan tol-menghubungkan wilayah
Tangerang dan Bekasi-di atas tanggul yang telah selesai sebelumnya. Fase
terakhir dari program ini adalah membuat tanggul laut raksasa di muka Teluk
Jakarta, yang sering disebut sebagai Tanggul Garuda karena bentuk desainnya
yang mirip burung garuda.
"Pelaksanaan proyek harus mampu menjawab
persoalan lingkungan, biota laut, mangrove, dan persoalan lain. Proyek juga
tak boleh melanggar hukum atas aturan yang berlaku. Karena itu, perlu ada
sinkronisasi aturan di semua kementerian dan lembaga negara," kata
Sekretaris Kabinet Pramono Anung (Kompas, 28/4).
Setelah dikoordinasi Kementerian Koordinator
Kemaritiman, hal ihwal integrasi dua proyek ini kemudian diserahkan kepada
Bappenas. Lembaga ini ditugaskan melakukan kajian menyeluruh terkait program
NCICD dan reklamasi 17 pulau.
Kajian komprehensif
Sejauh ini, menurut catatan Kompas, memang
belum ada kajian komprehensif terkait pembangunan di Teluk Jakarta.
Permasalahan penurunan muka tanah di dasar teluk, misalnya, belum dikaji
menyeluruh. Analisis data seismik Puslitbang Geologi Kelautan Balitbang
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menemukan sejumlah zona yang belum
jelas (accoustic blanking zone)
terdapat di bagian tengah dan timur laut Teluk Jakarta.
Beberapa hasil kajian lain menemukan dampak
polutan yang akan makin besar apabila tanggul laut raksasa selesai dibangun.
Laut di dalam tanggul hanya akan menjadi "comberan" raksasa alih-alih
jadi sumber air bersih.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas
Wismana Adi Suryabrata pernah menyatakan bahwa kajian NCICD ditargetkan
rampung Oktober 2016. "Kajian ini mengakomodasi kajian-kajian yang ada
sebelumnya. Kami tidak mulai dari nol," ujar Wismana (Kompas, 29/9).
Akan tetapi, hingga laporan ini ditulis, akhir Desember 2016, hasil kajian
tersebut belum juga dibuka kepada publik.
Dengan kondisi seperti saat ini, menurut Alan
Koropitan, Koordinator Bidang Kajian Strategis, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), kajian ilmiah harus jadi dasar
pengambilan kebijakan pemerintah. Konsekuensinya, apa pun hasil penelitian
itu harus diterima semua pihak asalkan metode yang dilakukan benar.
Menurut dia, mengintegrasikan kajian ilmiah
pulau buatan dan NCICD sudah benar. "Tetapi, sekali lagi, apakah kita
mau konsisten dengan hasil kajian? Hasil ini sangat penting supaya kita
jangan menyesal di kemudian hari," tutur Alan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar