Hilangnya
Ruh Agama Dakwah
Jabir Alfaruqi ; Ketua
PW Ansor Jawa Tengah 2010-2014
|
SUARA MERDEKA, 20
Desember 2016
AKHIR-AKHIR ini bila dicermati secara seksama,
Islam di Indonesia semakin memudar atau lentur sebagai agama dakwah. Selanjutnya,
wajah Islam lebih dominan tampil sebagai agama politik.
Memang, tidak haram bagi Islam menyandingkan
agama dan politik karena di dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari dimensi
politik. Islam sebagai agama dakwah sangat berbeda dari Islam sebagai
kekuatan agama politik.
Islam sebagai agama dakwah mengedepankan
nilai-nilai subtansial Islam. Islam kemudian mengejawantah menjadi agama
rahmat, santun, akhlakul karimah, bersifat merangkul, merajut persaudaraan,
kebersamaan, saling asah, asih dan asuh dalam tata kehidupan sosial dan
keagamaan.
Religiusitas menjadi sejuk dan damai, membawa
kententraman lahir dan batin. Itulah ruh Islam sebagai agama dakwah. Adapun
Islam sebagai agama politik mengedepankan sentimen pribadi, kelompok, etnis
dan suku menjadi sangat dominan.
Sifat lemah lembut, suka memaafkan, suka
bergandeng tangan dengan nonmuslim, suka kebinekaan adalah bentuk kelemahan
dan ketidakberdayaan. Islam harus tampil strong, power full dan tegas serta
tidak kenal kompromi terhadap siapa pun termasuk dengan sesama muslim yang
tidak sepaham.
Islam sebagai agama dakwah bersifat mengajak
semua pihak ke jalan Allah Swt. Islam memelihara mereka yang sudah benar
keimanannya, membimbing yang belum benar, mendampingi yang agak
melenceng-melenceng aqidahnya dan merangkul yang belum muslim agar menjadi
muslim, yang belum beriman menjadi beriman.
Karena itu manusia yang memahami Islam sebagai
agama dakwah akan bersifat lemah lembut, santun, mengutamakan akhlakul
karimah dan tidak membangun garis demargasi yang keras dan cenderung
memvonis.
Sikap dan prinsipnya fleksibel yang penting
subtansinya bisa tercapai. Prinsip sebagai agama dakwah adalah bagaimana
semua manusia dari kelompok suku, ras dan agama mana pun agar bisa menikmati
bahwa Islam itu agama rahmat.
Agama yang membawa kedamaian dan jalan lurus
bagi manusia yang ingin sukses dunia dan akhirat. Hal ini berbeda dari
prinsip Islam sebagai agama politik. Tampilan mereka keras dan tegas. Wajah
yang ditampilkan adalah tidak kenal kompromi dan tidak mau mengalah dengan
siapa pun.
Bukan hanya dengan kelompok nonmuslim, dengan
sesama muslim pun yang meraka anggap pahamnya tidak sama atau dalam memahami
agama ada perbedaan dianggap bukan kelompoknya dan bisa dituding kafir.
Kalau sudah dituduh kafir, maka selanjutnya
akan dianggapm halal darahnya dan tidak perlu dikasihani. Kekakuan wajah
Islam akhir-akhir ini dirasa bukan hanya oleh nonmuslim tetapi oleh kelompok
muslim yang meyakini Islam sebagai agama rahmat juga mengalami kegelisahan.
Gelisah karena wajah islam semakin
menyeramkan, menakutkan dan kurang lembut serta membawa kedamaian. Kelompok
yang mengaku Islamnya paling benar sering menilai kelompok lain yang tidak
sepaham dan seirama sebagai ahli bidíah, musyrik, dan kafir.
Kata-kata kafir semakin sering menghiasi dan
membanjiri kosa kata dalam pergaulan Islam kontemporer. Padahal tuduhan kafir
itu bukan hak manusia tetapi haknya Allah Swt, pemilik agama dan keimanan.
Welas Asih
Implikasi dari Islam yang berwajah politik
adalah menghalalkan satu sama sama lainnya sesama muslim saling menuduh,
memfitnah, membuka aib, menjelekkan, memojokkan. Orang yang memiliki
pemahaman yang berbeda dari yang mereka yakini akan dianggap menyeleweng dari
agama dan dijadikan bahan olok-olok serta kampanye.
Bahasa-bahasa yang muncul kemudian semakin
menggelisahkan, bukan menyejukkan. Sekan-akan surga itu miliknya dan yang
lain tidak bisa mendapatkannya.
Padahal kalau dihayati dengan seksama
sebetulnya manusia di hadapan Allah itu tidak perlu merebut otoritas Allah.
Manusia itu bukan penentu ibadahnya yang paling sah, perilakunya paling
mulia, dan menganggap yang lain semua salah. Itu semua adalah hak prerogratif
Allah.
Allah tidak perlu dan tidak bisa diintervensi
oleh siapa pun dalam menegakkan otoritasnya. Siapa tahu manusia-manusia yang
selalu diolok-olok, dipojokkan, dihina dan dituduh bidíah justru ibadah dan
hidupnya diterima oleh Allah. Allah menerima bukan karena ibadahnya benar
tetapi karena sifat welas asihnya kepada orang yang selalu dizalimi.
Sebaliknya menolak ibadahnya
orang-orang yang selalu merasa benar dan paling sah karena sikap dan merasa
diri seperti itu sudah mengintervensi hak prerogratif Allah. Jika terjadi
semacam itu, manusia mau apa? Lewat tulisan ini, penulis mengajak kepada semua
saudara-saudara se-iman se-agama, sebangsa dan setanah air, marilah kembali
kepada ruh Islam sebagai agama dakwah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar