Tanggung
Jawab Hakim
Sudjito ; Guru
Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 20 Desember
2016
Sidang pengadilan kasus penistaan agama oleh
Ahok sudah digelar sejak Selasa, 13 Desember 2016, dan akan dilanjutkan hari
ini. Sorotan publik secara tajam mencermati pola pikir, sikap, dan perilaku
majelis hakim yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus kasus tersebut. Pada dimensi kebangsaan, kasus ini
bukan persoalan individu seorang Ahok semata, tetapi telah menjadi kasus
nasional, bahkan internasional. Terkait dengan substansi kasusnya yakni
penistaan agama, kasus ini bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga urusan ukhrawi.
Diliputi harap-harap cemas, suasana hati
publik mempertanyakan, mampukah majelis hakim mewujudkan keadilan substantif
atas kasus ini? Kita paham bahwa hingga saat ini lembaga pengadilan– tempat
para hakim menjalankan profesinya–bukanlah institusi yang berwenang dan
berfungsi sebagai pencerah, pengarah, dan penuntun perkembangan masyarakat,
bangsa, dan negara menuju terwujudnya negara hukum substantif.
Wewenang dan fungsi konstitusional itu cenderung
didominasi oleh lembaga politik. Lembaga pengadilan cenderung terkooptasi
oleh lembaga politik. Sudah tentu banyak faktor bisa diajukan sebagai alasan
sehingga konfigurasi hukum dan politik berkembang menjadi seperti itu antara
lain pengaruh menguatnya liberalisasi politik di era reformasi; tergerusnya
ideologi hukum, karakter kekeluargaan, dan nuansa komunalistik- religius;
melemahnya konsistensi pengamalan Pancasila; kecenderungan taqlid kepada
hukum warisan kolonial Belanda, yakni KUHP.
Sehubungan dengan tempat dan kedudukan lembaga
pengadilan yang subordinated ”di bawah” lembaga politik, publik perlu
dipahamkan pentingnya menghormati lembaga pengadilan dan/atau para hakim
secara proporsional. Dalam situasi normal, tanpa ada kasus hukum, biasanya politisi
merasa lebih tinggi kedudukan, martabat, dan wewenangnya daripada semua
hakim.
Pada situasi demikian, politisi dapat
mengatur, membuat skenario, dan menentukan personalia lembaga pengadilan.
Siapakah dapat diangkat sebagai hakim agung, atau siapakah dapat diangkat
sebagai komisioner pada Komisi Yudisial, hingga saat ini masih didominasi
oleh peran lembaga politik. Dapat diduga, peran politik itu dimainkan
sedemikian rupa dalam rangka antisipasi bila saat tertentu para kader
politiknya tersangkut kasus hukum, lembaga pengadilan melalui para aparatnya
dapat direkayasa atau didayagunakan untuk membebaskannya dari jeratan hukum.
Dengan demikian, sebenarnya intervensi proses
hukum oleh politisi telah terjadi sejak berlangsungnya seleksi, penunjukan,
atau pengangkatan ”orang-orang penting” di dalam berbagai lembaga hukum: baik
kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan sebagainya.
Melalui ”orang-orang penting” itulah, lebih lanjut skenario peradilan dapat
dimainkan, baik pada ranah substansi, prosedur, ataupun personalia yang akan
mengoperasionalkan hukum.
Publik selalu berharap agar tidak ada
intervensi hukum oleh Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan majelis hakim
dalam penegakan hukum. Sudah tentu pengharapan demikian wajar, lumrah, dan
proporsional. Persoalannya, sejak kapan intervensi hukum itu ditabukan atau
dilarang? Apakah sebatas ketika sebuah kasus sudah dinyatakan sebagai kasus
hukum, diselidiki, dan disidik kepolisian, ditangani kejaksaan, diadili oleh
pengadilan saja? Dalam perspektif legal-positivistik, sebagaimana KUHP dan
KUHAP, memang pelarangan intervensi hukum hanya berada pada ranah penegakan
hukum seperti itu.
Intervensi hukum melalui aktivitas politik
yang sudah berlangsung jauh hari tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi
hukum. Persoalannya menjadi lain bila sosiolog hukum digunakan sebagai
perspektif. Persoalan subordinasi lembaga hukum terhadap lembaga politik dan
segala dinamikanya justru memunculkan pertanyaan, benarkah pengadilan dan
para hakimnya independen, netral, dan profesional? Perlu diingat bahwa secara
yuridis-normatif, hakim merupakan ”makhluk istimewa” karena dipandang steril,
lepas dari afiliasi, dan pengaruh lingkungan.
Namun, kajian sosiologi hukum menunjukkan
bahwa acapkali hakim-hakim di Indonesia menjadi ”tawanan” undang-undang.
Benar, ada sejumlah hakim kesohor yang mampu melepaskan diri dari ”tawanan”
undang-undang, tetapi sebagian besar justru merasa nyaman dan aman ketika
bekerja atas dasar undangundang semata; dan sebagian lainnya bekerja dalam
tekanan kekuasaan politik. Satjipto Rahardjo (1996) pernah membuat dua
golongan hakim di Indonesia.
Pertama, hakim yang apabila memeriksa,
terlebih dahulu menanyakan hati-nuraninya atau mendengarkan putusan
hati-nuraninya, dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk
mendukung putusan tersebut.
Kedua, hakim yang apabila memutus perkara,
terlebih dulu ”berkonsultasi” dengan kepentingan perutnya, dan kemudian
mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap ”putusan perutnya” itu.
Hakim tipe kedua ini umumnya suka melakukan
tindakan tidak terpuji untuk memperkaya diri sendiri. Tudingan ada kolusi,
kongkalikong, suap-menyuap, dagang perkara, mafia peradilan, dan kejahatan
peradilan lain senantiasa tertuju kepada hakim tipe kedua itu. Pada saat
”perut sudah kenyang”, tetapi iman sangat lemah, sementara tekanan kekuasaan
dan kekuatan politik sedemikian tinggi, kiranya layak dimasuk golongan hakim
ketiga, yakni hakim sebagai alat kekuasaan.
Hakim tipe ini telah kehilangan martabat dan
watak kemanusiaannya, serta-merta berubah menjadi alat, mesin, program, yang
berada dalam dominasi dan hegemoni kekuasaan politik. Dihadapkan pada
supremasi politik, ”anomali” kekuasaan kehakiman dan kuatnya arus
globalisasi, tanggung jawab hakim menjadi semakin berat. Kecenderungan untuk
terperangkap sebagai hakim tipe kedua atau ketiga sangat tinggi.
Karena itu, publik perlu
mengawal proses peradilan kasus penistaan agama oleh Ahok secara
sungguh-sungguh agar proses peradilan berjalan fair sampai akhirnya majelis
hakim mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar