Darurat
Komunikasi Bangsa
Gun Gun Heryanto ; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
27 Desember 2016
BADAI
belum berlalu di penghujung 2016. Situasi penuh paradoks masih menghiasi
praktik komunikasi bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa yang menjunjung
keadaban publik. Melimpahnya informasi di beragam kanal komunikasi warga
menampakkan wajah janusnya. Di satu sisi, kian terfasilitasinya kebebasan
informasi sebagai hal hakiki negara demokrasi, di sisi lainnya rumor, gosip,
berita palsu, dan ujaran kebencian deras memancar dari banyak grup
perbincangan, media sosial, bahkan kanal berita 'jadi-jadian'.
Semakin
berisik dan mengusik tatkala ragam cara bercerita dan berbagi kata masuk di
lorong politik yang dibangun dengan atmosfer antagonistis. Luapan kemarahan
dan ketersinggungan menggelegak dalam uraian kata dan kalimat yang begitu
mudah terfasilitasi teknologi.
Homo Narran
Sejatinya
manusia memang homo narran alias makhluk pencerita. Istilah ini berasal dari
komunikolog teori naratif, Walter Fisher, sebagaimana dikutip dalam buku
Julia T Wood, Communication Theories in Action (2004). Pemikiran Fisher
sebenarnya dipengaruhi bacaan teori moral yang dikemukakan Alasdair MacIntyre
yang menyatakan manusia dalam tindakan, praktik, dan juga dalam fisiknya,
pada dasarnya ialah makhluk pencerita. Tentu, cara orang bercerita akan
sangat dipengaruhi konteks budaya, situasi, dan ragam cara yang
memfasilitasinya.
Cerita
tak hanya bersandar pada kekuatan kata, tetapi juga logika, alur berpikir,
dan tujuannya. Di situlah letak tanggung jawab sosial menjadi penting
dipertimbangkan sebagian bagian utuh dari cara menjaga kredibilitas sang pencerita.
Banyaknya aplikasi berbasis teknologi daring yang memudahkan orang terhubung
satu sama lainnya tanpa sekat teritorial, organisasi, dan bahkan ideologi
menyebabkan migrasi besar-besaran homo narran dari ruang fisik ke virtual.
Pada titik itu bisa kita tebak betapa mudahnya bangsa ini bersahut-sahutan,
bertukar cerita dan perasaan.
Bahkan,
banyak orang yang lupa daratan, dengan mudah saling memaki, menebar
kebencian, kata dan sikap tak toleran, yang berpotensi merobek kebinekaan,
bahkan keindonesiaan. Panggung pilkada DKI menjadi contoh, betapa banyak
sosial media, weblog interaktif, dan juga grup-grup perbincangan yang
memainkan isu SARA tanpa rasa bersalah. Betapa lama dan panjangnya sejarah
para pendiri Republik ini, para pejuang, pemikir, serta pengisi kemerdekaan
yang menenun nilai keindonesiaan.
Sulit,
pelik, dan membutuhkan kesabaran sehingga Indonesia raya bisa kita nikmati
hari ini sebagai negara yang menghormati keragaman. Namun, pragmatisme
politik terutama dalam kontestasi elektoral kerap merusaknya. Contohnya ialah
ucapan dan tindakan menuntut penegakan hukum atas seseorang, tetapi di saat
bersamaan si penuntut melanggar bahkan mengabaikan hukum itu sendiri.
Misalnya melakukan propaganda dengan teknik name calling atau memberi label buruk yang semestinya hanya baru
bisa dilabelkan setelah vonis pengadilan dijatuhkan. B
elum
lagi kalau kita tengok informasi yang dibagi di beragam kanal, umpatan,
makian, kata-kata kotor, dan sumpah serapah aktual menjadi menu harian.
Praktik semacam inilah yang kerap merusak nalar kritis warga dan
menggantikannya dengan gemuruh angkara murka. Pengguna media sosial yang
bertanggung jawab ialah mereka yang melakukan manajemen privasi komunikasi.
Meminjam
konstruksi berpikir teori manajemen privasi komunikasi dari Sandra Petronio
dalam bukunya, Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclousure (2002), bahwa
kita membuat pilihan dan peraturan mengenai apa yang harus dikatakan, dan apa
yang harus disimpan dari orang lain berdasarkan 'kalkulus mental' dengan
mempertimbangkan kriteria penting-tidaknya sesuatu yang mau kita sampaikan
itu. Kata-kata dan informasi yang berpotensi memecah belah dan memprovokasi
konflik horizontal wajib dihindari terlebih jika membalutnya dengan
kebohongan.
Industri kabar palsu
Satu
fenomena baru yang juga harus dikritisi saat ini ialah industri kabar palsu.
Itu merupakan gejala global yang menjadi tren buruk paradoks teknologi. Surat
kabar Financial Times beberapa waktu lalu mengangkat berita soal kemenangan
Donald Trump pada pemilu Amerika Serikat yang diduga terbantu karena
aliran-aliran berita palsu dan ujaran kebencian. Bukan lagi fenomena buzzer
yang biasanya dilakukan para relawan, melainkan sudah menjadi industri kabar
palsu yang setiap hari akan menyesaki lini masa warga.
Fenomena
itu sudah nyata adanya di Indonesia. Banyak orang yang bekerja di 'kegelapan'
berita 'jadi-jadian' yang disajikan mereka. Beberapa indikatornya bisa kita
perhatikan hampir setiap saat. Pertama, berita diproduksi, direproduksi, dan
didistribusikan lewat media-media daring yang sangat tidak populer bahkan
terkesan 'jadi-jadian' setiap ada event politik seperti pilkada atau
sejenisnya. Banyak juga nama laman mereka memakai model bayangan dari nama
web atau media yang sebelumnya sudah populer.
Biasanya
dipakai untuk mengecoh pembaca. Kedua, sangat terbiasa menggunakan judul yang
gampang memalingkan perhatian pembaca. Provokatif atau memilih diksi yang
mendorong efek domino pada perasaan pembaca meskipun isinya kerap tak seperti
yang ada di judul. Teknik itu dibuat untuk memancing pembaca dan
membagikannya tanpa verifikasi isi.
Ketiga,
secara keseluruhan tulisan yang dikemas seolah-olah berita tersebut tidak
memenuhi standar kerja jurnalistik seperti konfirmasi, verifikasi data, dan
keberimbangan sumber informasi. Tulisan mereka ialah propaganda, bukan fakta
jurnalistik. Keempat, memanfaatkan secara intensif media sosial untuk
diseminasi informasinya. Industri itu menyuntikkan kabar palsu seperti virus
lewat transfusi informasi setiap hari.
Jangan
heran jika kabar-kabar palsu itu berseliweran di media sosial dan
menjadikannya viral. Pengulangan dan peneguhan terus dilakukan sehingga warga
tak bisa lagi membedakan antara fakta dan fantasi, antara kenyataan dan
kepalsuan. Darurat komunikasi bangsa ini harus diatasi secara bersama-sama
dengan bertanggung jawab atas informasi yang dibuat, dikonsumsi, dan
didistribusikan. Setop jadi mata rantai industri kabar palsu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar