Fatwa
MUI, Hukum Positif, dan Hukum Aspiratif
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM; Visiting
Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of
Melbourne
|
KOMPAS.COM, 22 Desember
2016
Catatan Kamisan saya kali ini kembali
didedikasikan untuk merespons isu hukum yang sedang aktual di Tanah Air.
Dalam beberapa waktu terakhir, politik hukum kita diwarnai dengan diskusi
soal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Di antara banyak fatwa yang sudah diterbitkan,
dua Fatwa MUI yang lebih menyita perhatian akhir-akhir ini adalah terkait
“Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama” tanggal 11 Oktober 2016 tentang videonya
di Kepulauan Seribu; dan “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim”
tanggal 14 Desember 2016.
Catatan ini dibuat berdasar kajian hukum tata
negara, yang hingga kini masih terus saya pelajari. Agar jelas, perlu
ditegaskan, bahwa catatan ini tidak bermaksud untuk memberikan penilaian
benar ataupun salah terkait isi fatwa itu sendiri.
Karena, untuk menilai isi fatwa itu, tentulah
para alim ulama lebih punya kompetensi dan ilmu untuk melakukannya.
Sekaligus, saya meminta maaf jika tulisan kali ini dirasa sangat teknis dan
mendasar dari sisi ilmu hukum, suatu hal yang saya sengaja, dan memang tidak
terhindarkan.
Sebagai pendapat hukum tata negara, mungkin
saja kajian ini menguntungkan salah satu kelompok. Yang pasti saya
menuliskannya dengan bekal pengetahuan yang saya miliki, dan tidak bermaksud
kajian ini menjadi instrumen partisan ataupun alat politik bagi beberapa
pihak yang sedang memperdebatkan keberadaan Fatwa MUI tersebut.
Salah satu isu yang mengemuka dengan Fatwa MUI
adalah kaitannya dengan hukum positif. Saya memahami hukum positif sebagai
hukum yang berlaku saat ini.
Maka, hukum positif Indonesia artinya adalah
hukum yang saat ini berlaku di Indonesia. Hukum positif di sini mencakup
aturan perundangan yang berlaku umum (regelling), ataupun keputusan yang
berlaku khusus (beschikking), yang pelaksanaannya dikawal oleh aparatur
negara dan dunia peradilan.
Meski saya berbeda pandangan, ada yang
menganggap bahwa makna hukum positif juga mencakup aturan yang pernah
berlaku—dan sekarang tidak lagi. Yang pasti, hukum positif bukanlah aturan
hukum yang belum berlaku, atau diinginkan berlaku pada masa yang akan datang.
Dalam bahasa Latin hukum positif disebut
sebagai ius constitutum yang membedakannya dengan hukum yang dicita-citakan,
hukum yang belum berlaku, hukum yang masih diangankan berlaku, atau disebut
ius constituendum. Untuk membedakannya dengan hukum positif, saya menyebut
hukum yang masih dicita-citakan tersebut sebagai hukum aspiratif.
Sebagai hukum yang berlaku di suatu negara,
yang pelaksanaannya dikawal oleh aparatur negara dan dunia peradilan, maka
tidak sembarang lembaga dapat menghasilkan hukum positif. Singkatnya, hukum
positif hanya dapat dihasilkan oleh organ negara yang memang diberikan
kewenangan untuk itu.
Tentang pembentukan peraturan perundangan,
hukum positif yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Pasal 7 UU tersebut mengatur jenis dan hirarki peraturan perundangan adalah:
UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Udang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Perpres,
Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Di luar itu, peraturan perundangan yang
berlaku adalah yang ditetapkan oleh organ negara (contohnya: MPR hingga Bank
Indonesia). UU itu juga mengakui regulasi yang diterbitkan oleh anggota
kabinet seperti Peraturan Menteri.
Sedangkan untuk badan, lembaga, dan komisi
negara lainnya, hanya diakui berwenang membuat hukum positif jika
keberadaannya “dibentuk dengan undang-undang, atau Pemerintah atas perintah
undang-undang” (Pasal 8 Ayat (1) UU No 12/2011).
Atau dengan pemaknaan terbalik alias a
contrario, maka badan, lembaga dan komisi negara yang tidak dibentuk dengan
undang-undang, ataupun dibentuk pemerintah bukan atas perintah undang-undang,
tidak punya kewenangan untuk menetapkan hukum positif.
Lalu bagaimana dengan Fatwa MUI? Ada dua hal
yang harus dijawab sebelum menentukan apakah Fatwa MUI itu merupakan hukum
positif atau bukan.
Pertama, bagaimanakah status kelembagaan MUI
sendiri? Lalu, kedua, apakah MUI adalah lembaga yang bisa menghasilkan hukum
positif?
Pertanyaan pertama lebih sulit untuk dijawab:
Apakah status hukum dari MUI?
Dibentuk pada tahun 1975, dalam diri MUI ada
berbagai sifat badan hukum, seperti ciri lembaga negara, organisasi
masyarakat, bahkan ada pula yang berpandangan berciri lembaga swadaya
masyarakat.
Misalnya, Profesor Tim Lindsey, Direktur CILIS
(Center for Indonesian Law, Islam and Society) pada Melbourne University Law
School berpendapat bahwa MUI adalah LSM yang juga mempunyai bersifat organ
publik negara atau Quasi-Autonomous Non-Governmental Organization (QuANGO).
Sifat MUI sebagai lembaga negara paling kuat
terasa pada kewenangannya menerbitkan sertifikasi halal serta menerima dana
sertifikasi halal, peran mana akan beralih kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal.
Namun, ciri organ negara itu gugur salah satunya
karena uang publik yang dikumpulkan tersebut tidak diizinkan diperiksa oleh
komisi audit negara, utamanya BPK dan BPKP.
Apapun bentuk badan hukum MUI, pertanyaan
kedua lebih mudah untuk dijawab. MUI bukanlah badan, lembaga, komisi negara
yang “dibentuk dengan undang-undang, atau Pemerintah atas perintah
undang-undang” sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.
Memang, MUI disebutkan dalam beberapa Pasal UU
No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, namun itu bukan berarti MUI
dibentuk ataupun diperintahkan pembentukannya dengan undang-undang. Karena
itu, MUI tidak berwenang mengeluarkan produk yang bisa menjadi hukum positif
di Tanah Air.
Konsekuensinya, Fatwa MUI bukanlah hukum
positif di Indonesia. Fatwa MUI hanya bisa menjadi hukum positif jika substansinya
ditetapkan oleh organ negara yang berwenang untuk menjadi peraturan
perundangan sebagaimana diatur jenis dan hirarki dalam UU No 12 Tahun 2011 di
atas.
Selama belum ditetapkan sebagai hukum positif,
maka Fatwa MUI adalah hukum aspiratif dalam konteks hukum nasional. Karena
bukan sebagai hukum positif itu pula, maka secara teori, Fatwa MUI tidak
dapat menjadi objek uji materi perundangan di hadapan meja hijau Mahkamah
Agung.
Oleh karena itu, dalam kasus Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, misalnya, kedudukan Fatwa MUI adalah sama dengan pendapat
ahli lainnya.
Posisi MUI dengan fatwanya adalah sama dengan
dengan posisi pendapat ahli hukum, bahasa, dan agama yang diundang Bareskrim
Polri dalam gelar perkara kala itu.
Tegasnya, Fatwa MUI dalam gelar perkara itu
adalah salah satu pendapat, dari banyak pendapat yang didengarkan oleh Polri,
dan bukan hukum positif yang kedudukannya mengikat untuk dilaksanakan aparat
penegak hukum.
Lebih jauh, karena Fatwa MUI itu hanya
pendapat, maka posisinya di hadapan majelis hakim persidangan kasus Ahok
adalah salah satu alat bukti surat, yang sama dengan alat bukti lainnya,
sekali lagi, bukan hukum positif yang sifatnya mengikat majelis.
Karena bukan hukum positif dan tidak mengikat
itu, maka sifat Fatwa MUI tidaklah mempunyai kekuatan hukum memaksa
sebagaimana hukum positif pada umumnya. Lebih jauh, apabila dikaitkan dengan
hukum pidana, maka Fatwa MUI tidak bisa menjadi instrumen hukum yang menjadi
dasar dilakukannya upaya hukum memaksa (seperti sweeping) ataupun menjadi
dasar dijatuhkannya sanksi pidana.
Apalagi berdasarkan Pasal 15 UU No 12 Tahun
2011, peraturan perundangan yang dapat mengatur sanksi pidana dibatasi hanya
pada dua jenis peraturan, yaitu Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Jadi, jika materi Fatwa MUI itu tidak diadopsi
ke dalam bentuk UU ataupun Perda, maka isi fatwa itu merupakan pendapat, yang
tidak mengikat secara hukum, tidak dapat diterapkan secara memaksa, apalagi
menjadi satu-satunya dasar dijatuhkannya sanksi pidana, misalnya dalam kasus
penodaan agama.
Namun, saya tetap ingin memberikan satu
catatan, terkait posisi Fatwa MUI sebagai sumber hukum, meskipun sekali lagi
bukan hukum positif. Teori dasar pengantar ilmu hukum, selalu memasukkan
pendapat (doktrin), termasuk dalam hal ini fatwa para alim ulama di MUI,
sebagai salah satu sumber hukum di samping sumber hukum lain seperti
peraturan perundangan, putusan peradilan, maupun perjanjian internasional.
Namun, sekali lagi, posisi Fatwa MUI sebagai
salah satu sumber hukum, bukan berarti Fatwa MUI adalah hukum positif.
Sebagai sumber hukum, kedudukan Fatwa MUI barulah hukum aspiratif yang dapat
menjelma menjadi hukum positif jika diundangkan dalam aturan perundangan
ataupun diputuskan dalam putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap, dan
akhirnya menjadi yurisprudensi.
Satu poin terakhir, sebelum saya mengakhir
Catatan Kamisan ini, karena Fatwa MUI bukan hukum positif, dan tidak
mempunyai kekuatan hukum memaksa, maka penegakannya tidak boleh menggunakan
aparatur negara seperti kepolisian, serta tidak diperkenankan dengan
cara-cara yang memaksa seperti sweeping
di pusat perbelanjaan dan sejenisnya.
Dalam sistem hukum tata negara Indonesia,
posisi Fatwa MUI adalah sebagai hukum aspiratif yang mempunyai kekuatan moral
bagi kelompok yang mempunyai aspirasi untuk melaksanakannya, tetapi tidak
dapat dijadikan alat paksa bagi kelompok lain yang berbeda pendapat atasnya,
karena Fatwa MUI bukan hukum positif negara.
Keep on fighting for
the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar