Menguji
Konsistensi Birokrasi
Mukhamad Kurniawan ; Wartawan
KOMPAS
|
KOMPAS, 22 Desember
2016
Hasil survei sejumlah lembaga menunjukkan
bahwa publik puas atas kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
(nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Angka kepuasannya
rata-rata lebih dari 60 persen. Program Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta
Sehat, perizinan, perumahan, pengelolaan kebersihan, dan pembangunan
transportasi umum adalah sebagian yang dinilai telah berubah lebih baik.
Aparatur sipil negara dianggap lebih disiplin, bersikap melayani, dan relatif
bersih dari praktik korupsi. Namun, apakah perbaikan bakal konsisten,
termasuk ketika ganti pemimpin?
Hasil survei Charta Politika Indonesia
sepanjang 17-24 November 2016, melalui wawancara tatap muka dengan 733
responden, menunjukkan, masyarakat menyatakan puas atas kinerja Basuki-Djarot
dengan tingkat kepuasan 63,3 persen. Kepuasan didominasi program Kartu
Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS), serta berbagai reformasi
birokrasi, terutama kemudahan dalam pengurusan di kantor-kantor pemerintahan.
Pada survei lain, oleh Saiful Mujani Research
and Consulting (SMRC) pada 24-29 Juni 2016 menunjukkan, tingkat kepuasan
warga atas kinerja Basuki mencapai 69,7 persen. Angka itu naik dibandingkan
dengan survei oleh lembaga yang sama pada Agustus 2015, yakni 63 persen.
Sementara pada survei Litbang Kompas pada 1-6
Juni 2016, sebanyak 70,4 persen dari 600 responden menyatakan puas hingga
sangat puas atas kinerja Basuki-Djarot. Sementara survei Cyrus Network pada
akhir April 2016, sebanyak 76,2 persen dari 1.000 responden menilai Jakarta
berubah lebih baik pada era kepemimpinan Basuki.
Sejumlah program yang dinilai positif, seperti
KJP dan KJS, telah dimulai sejak masa pemerintahan Gubernur Joko Widodo,
akhir 2012. Sementara kebijakan terkait aparatur sipil negara (ASN), sebagian
besar terjadi pada era Basuki, sejak akhir tahun 2014. Lompatan penuh kejutan
terjadi. Bongkar pasang jabatan seolah tak pernah henti. Selama hampir
setahun sejak 2 Januari 2015, mutasi, rotasi, demosi, dan promosi adalah
"menu" yang biasa bagi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan
Pemprov DKI. Bongkar pasang jabatan secara kolosal terjadi sejak awal 2015.
Sejak itu, seleksi terbuka secara maraton oleh tim yang berganti-ganti
seperti tak pernah henti.
Basuki berulang mengungkap motifnya mengganti
pejabat, yakni mencari formasi paling pas untuk menggerakkan roda birokrasi
lebih cepat. Dia ingin mengoptimalkan sisa masa jabatannya. Setiap kali melantik
atau mengukuhkan jabatan, Basuki menegaskan sikapnya, tak ada toleransi bagi
PNS yang terbukti tidak berani menegakkan aturan, tidak jujur, dan korup.
Pada era Basuki pula, copot jabatan atau pecat
sebagai PNS adalah keniscayaan bagi pelanggar aturan. Selama 10 bulan hingga
Oktober 2015, misalnya, 120 PNS dipecat dan diberhentikan sebagai PNS. Sanksi
itu dijatuhkan antara lain karena korupsi, menerima suap, dan membolos tanpa
keterangan.
Kepada petugas di bagian depan, khususnya di
Badan dan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP/PTSP), Basuki berpesan
agar selalu berlaku sebagai pelayan. Layanan perbankan kepada nasabah jadi
standar minimal. Instansi ini jadi tulang punggung pelayanan publik di
Jakarta karena melayani 518 jenis izin.
Perizinan menjadi perhatian serius karena
sebelumnya merupakan sarang korupsi. Selain korup, sektor perizinan menjadi
hal yang banyak dikeluhkan warga karena serba tidak pasti tarif dan waktu
penyelesaiannya. Sebelum disatukan di BPTSP, ratusan jenis izin itu tersebar
di banyak instansi dengan standar pelayanan beragam.
Perombakan layanan di barisan depan itu
diharapkan mengubah citra birokrasi. Basuki-Djarot tak ingin PNS dianggap
lambat, penuh pungutan liar, bermuka masam, atau tak inovatif. Oleh karena
itu, sistem perekrutan, penempatan, pengisian jabatan, penjenjangan, sampai
dengan penggajian diperbaiki dengan standar dan memanfaatkan teknologi
informasi.
Struktur
Pada awalnya, perombakan struktur dan sistem
birokrasi di Ibu Kota Jakarta mendapat perlawanan. Namun, Basuki kukuh
menerapkan aturan. Sistem baru dianggap dapat mengubah perilaku dan kebiasaan
PNS. Pemberian tunjangan berbasis kinerja dengan indeks performa (KPI),
misalnya, memacu PNS bekerja lebih baik untuk mencapai target.
Menurut Djarot, penerapan KPI adil untuk
mengukur kinerja. Sebab, PNS yang malas gajinya sedikit, sementara aparatur
yang kreatif dan inovatif gajinya besar. "Dulu antara yang malas dan
rajin gajinya sama saja atau malah lebih besar yang malas karena sistem tak
jelas," ujarnya.
Sejalan dengan pengetatan pengawasan keuangan,
Pemprov DKI melipatgandakan standar gaji. Sesuai Pergub No 207/2014 tentang
Tunjangan Kinerja Daerah (TKD), gaji seorang kepala dinas, misalnya, mencapai
Rp 60,3 juta atau naik hampir 232 persen dibandingkan sebelumnya yang Rp 26
juta. Sementara gaji kepala suku dinas di tingkat kota naik dari Rp 11,5 juta
menjadi Rp 40,3 juta, kepala unit pelaksana teknis dari Rp 10,5 juta menjadi
Rp 39,8 juta, dan kepala seksi pada suku dinas dari Rp 6,2 juta menjadi Rp
26,4 juta atau naik 426 persen.
Akan tetapi, gaji sebesar itu hanya bisa
dicapai jika PNS yang bersangkutan bisa memenuhi target kinerja, baik yang
bersifat statis seperti kehadiran maupun dinamis seperti akumulasi poin
pekerjaan yang rampung. Hampir separuh dari besaran gaji itu merupakan TKD
dinamis. Jika semua target tercapai, PNS dengan golongan terendah di DKI bisa
membawa pulang gaji setidaknya Rp 12 juta per bulan.
Basuki mengibaratkan kebijakan melipatgandakan
gaji dengan istilah pemerataan hujan. Sebab, sebelumnya "hujan"
dianggap tidak merata karena praktik koruptif, terutama oleh PNS yang
menduduki jabatan atau posisi strategis. Korupsi dinilai terjadi di banyak
lini sehingga memboroskan keuangan daerah. Anggaran besar, tetapi hanya
sedikit yang bisa dinikmati warga.
Menurut pengamat perkotaan Universitas
Trisakti, Yayat Supriyatna, perubahan regulasi memengaruhi cara berpikir dan
bertindak birokrat DKI Jakarta. Perombakan struktur, perbaikan remunerasi,
serta pengetatan pengawasan melandasi perubahan kultur pegawai. "Orang
melihat, kenapa (PNS) sekarang berubah, jadi lebih disiplin, rajin, efisien?
Sebab, ada aturan dan nilai yang harus diikuti," ujarnya.
Kekuatan struktur mengubah birokrasi Jakarta.
Menurut Yayat, ketika nilai-nilai budaya tak efektif, uang adalah
satu-satunya cara memengaruhi perilaku orang. Pemberian tunjangan kinerja
melalui sistem yang ketat mengubah cara berpikir dan bertindak aparatur.
Dalam prosesnya, ada masyarakat sebagai
pengawas atas kerja birokrasi.
Ujian
Publik Jakarta, sebagaimana tergambar dari
serangkaian survei, bisa saja puas atas kinerja Basuki-Djarot. Namun, apakah
pembenahan birokrasi bakal langgeng dampaknya? Setidaknya, apakah aparatur
tetap disiplin, melayani, dan bersih ketika pucuk pimpinan berganti? Jawabnya
serba tak pasti karena konsistensinya belum teruji.
Fenomena Qlue bisa jadi sinyal untuk mengukur
kinerja birokrasi. Empat bulan terakhir, sesuai data yang terekam di sistem
menunjukkan, tingkat kepuasan pengguna aplikasi pelaporan warga itu terus
turun. Pelapor menilai penyelesaian cenderung seadanya.
Berdasarkan data dari PT Qlue Performa
Indonesia, pengembang aplikasi Qlue, ada 82.983 laporan selama kurun
Agustus-September 2016. Sebanyak 14,3 persen penyelesaian laporan di
antaranya mendapat nilai rendah, yakni 1-2 bintang dari skala maksimal 5
bintang. Sementara kurun Oktober-November 2016, ada 77.496 laporan dan 16,06
persen di antaranya mendapat penilaian rendah. Masalah yang mendapat umpan
balik yang buruk adalah soal parkir liar.
Setiap kelurahan bahkan pernah mendapat nilai
rendah dari pengguna. Dari 23.683 laporan tentang parkir liar selama
Agustus-November 2016, hampir 56 persen di antaranya mendapat nilai 1-2
bintang yang berarti tingkat kepuasannya rendah.
Bisa jadi, situasi itu tidak terkait langsung
dengan Basuki-Djarot yang harus cuti sejak 28 Oktober 2016 untuk menjalani
masa kampanye Pilkada 2017. Pelaksana Tugas Gubernur DKI Sumarsono juga
berpendapat, laporan Qlue tidak menunjukkan penurunan mutu layanan publik.
Sebab, tak semua keluhan dialamatkan ke aparatur Pemprov DKI. "Lokasi
yang dilaporkan kadang merupakan wilayah kerja (pemerintah) pusat,"
ujarnya.
Akan tetapi, data Qlue tak bisa diabaikan atau
menganggap roda birokrasi masih baik-baik saja. Sebab dengan jumlah pengunduh
lebih dari 100.000 dan pengguna aktif 8.000-9.000 orang per hari, laporan
warga melalui Qlue, antara lain soal parkir liar, pedagang kaki lima,
kemacetan, genangan, dan jalan rusak, adalah sebagian cermin untuk menguji
hasil kerja birokrasi.
Reformasi birokrasi di DKI Jakarta menjadi
bahan perdebatan yang panas pada dialog kandidat pemimpin Jakarta yang
diselenggarakan Kompas TV di Jakarta, Kamis (15/12).
Pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI
Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno mengkritik petahana yang dinilai lebih
mementingkan fisik ketimbang manusia. Anies juga mengkritik soal gaya Basuki
yang dinilainya one man show dalam mengelola birokrasi.
Menurut Anies, budaya organisasi harus
positif. "Menghukum tertutup, memuji terbuka, jangan dibalik. Jangan
bilang PNS semuanya koruptor. Itu namanya pemimpin tidak hadir. Pemimpin itu
mendorong agar berubah dari dalam diri dan organisasi," kritik Anies
kepada Basuki.
Basuki membantah dirinya tampil sendiri.
Menurut dia, sejumlah perbaikan di DKI merupakan hasil kerja tim, termasuk
partisipasi warga. Dia meyakinkan bahwa memperbaiki birokrasi Jakarta tak
bisa ditempuh secara tertutup. Apalagi terkait korupsi.
Hari-hari ini, kinerja birokrasi ibu kota
Jakarta tengah diuji warga. Akankah berhasil? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar