Teror
di Akhir Tahun
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 29 Desember
2016
Sampai
tahun 2005, Cherif Kouachi, salah satu pelaku serangan tabloid satire Charlie
Hebdo di Paris, Perancis, Januari 2015, adalah sangat moderat. Sampai suatu
waktu ia mengetahui kisah-kisah penyiksaan yang dialami tahanan di Penjara
Abu Ghraib, Irak. Semenjak itu, tumbuhlah benih-benih radikalisme. Teroris
baru bisa lahir sebagai reaksi terhadap ketidakadilan dan perlakuan
diskriminatif, sekalipun tidak dialami langsung. Apalagi di era digital,
ketika media sosial menjadi "kepercayaan baru". Informasi yang
belum jelas bahkan dipercaya sebagai "kebenaran". Dan, radikalisme
bisa tumbuh subur melalui internet, bahkan ketika sedang duduk sendirian di
dalam kamar.
Tiba-tiba
banyak yang terkaget-kaget, ternyata mereka bertetangga dengan terduga
teroris begitu polisi melakukan penggerebekan di tempat tinggal mereka.
Pengungkapan terorisme seakan menjadi "kado kelam" akhir tahun
2016. Dalam dua pekan pada Desember ini, sejak penggerebekan terduga teroris
di Bintara, Bekasi, tim Densus 88 Anti Teror terus menggulung terduga teroris
pada satu hari sama (Rabu, 21/12) di Babakan, Tangerang Selatan; Balai Nan
Duo, Payakumbuh; Ajibaho, Deli Serdang; dan Batam. Empat hari berikutnya,
Densus 88 menggerebek terduga teroris di Waduk Jatiluhur, Purwakarta.
Radikalisme
bisa subur di dalam agama-agama. Memang agama memiliki beberapa fungsi,
antara lain fungsi edukasi yang memberikan orientasi dan motivasi dalam
memahami sesuatu yang suci dan sakral; fungsi penyelamatan di mana agama
memberikan harapan ketika ada ketidakpastian, frustrasi, dan penderitaan;
serta fungsi kontrol di mana agama bertanggung jawab atas adanya norma-norma
religius di masyarakat (Choirul Yusuf, 2003).
Fungsi-fungsi
agama mendapat konteksnya pada realitas kehidupan. Ketika realitas dunia
terus menampakkan ketimpangan global dan kekuasaan Barat yang terus
hegemonik, bisa jadi fanatisme ideologi makin mengeras. Terorisme yang
berlatar agama (religious terrorism) paling mencolok sekarang ini
dibandingkan terorisme separatis (separatist or ethno-political terrorism),
terorisme negara (state terrorism), terorisme neofasis (right wing
terrorism), terorisme pembebasan rakyat (left wing terrorism), atau sindikat
narkoba (narco-terrorism).
Karena
itu, upaya untuk menyetop terorisme global terutama adalah membangun
konstelasi politik global yang lebih adil dan terbuka, tanpa prasangka dan
rasisme. Terkait radikalisme (terorisme) yang marak di negeri ini, amat
penting membangun sikap-sikap inklusif. Ada beberapa catatan penting.
Pertama, memperkuat pandangan toleran tentang masyarakat heterogen dan
multietnik. Kedua, menjalin komunikasi dan kultur dialog. Media sosial,
misalnya, seharusnya menjadi platform yang memediasi dialog, bukan justru
menjadi "potret penuh kebencian" seperti selama ini.
Ketiga,
mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi. Pembangunan infrastruktur semestinya
dapat mengurangi keteralienasian sosial. Keempat, pembangunan politik dapat
memperkuat demokrasi. Sesama anak bangsa jangan bermusuhan. Kegaduhan politik
hanya menimbulkan instabilitas yang sumpek. Korupsi yang merusak mental harus
diberantas sampai ke akar-akarnya. Kelima, penegakan hukum dan keadilan bukan
cuma di atas kertas. Jika hal-hal di atas dibenahi, dan jika terorisme masih
ada, negara tidak boleh kalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar