Ancaman
Akut Ketimpangan Sosial
Ahmad Iskandar ; Dosen
Fakultas Ekonomi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
|
KORAN SINDO, 28 Desember
2016
Kalau dicermati kebijakan pembangunan di Indonesia
selama hampir lima puluh tahun ini, khususnya sejak Orde Baru sampai sekarang
(1967-2016), sebenarnya relatif tidak berubah. Kebijakan itu pro terhadap utang luar
negeri, pro investor asing, pro lembaga internasional, pro pemodal, pro orang
kaya dan diwarnai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga kapitalisme
yang dikembangkan cenderung capitalisme crony. Sementara itu urusan nasib
orang miskin diserahkan ke mekanisme trickle down effect (efek menetes ke
bawah).
Kenyataan yang terjadi bukan menetes ke bawah tapi
manfaat pertumbuhan justru mengalir ke atas terus dan membuat orang kaya
semakin kaya dan yang miskin makin miskin. Tidak aneh bila muncul istilah
anggur lama botol baru: meski pemerintahannya barutipologi kebijakannya tetap
lama.
Presidennya boleh jadi ganti dan berubah tapi kebijakan
ekonominya tetap pro pasar. Kalau ada perubahan sifatnya parsial saja.
Misalnya pada jaman pemerintahan Habibie ada Adi Sasono yang jadi Menteri
koperasi dan sangat pro rakyat, atau Rizal Ramli jaman pemerintahan Gus Dur
jadi menteri keuangan dan Menko Maritim jaman Jokowi, aliran kebijakan ekonomi
keduanya cenderung antitesis dari mazhab mainstream.
Lantaran masih menggunakan rumus-rumus lama maka
pencapaian tiga indikator pembangunan Indonesia (kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan) masih jauh dari prestasi menggembirakan. Bahkan mengutip dari
situs pribadi Faisal Basri, tren ketimpangan jangka panjang Indonesia terus
memburuk meskipun tanggal 19 Agustus 2016 lalu Badan PusatStatistik(BPS)
merilisdata terbaru tentang ketimpangan, dengan menggunakan indeks rasio
gini.
Menurut BPS Indeks rasio gini pada Maret 2016 turun
menjadi 0,397. Ini sebagai pertanda tingkat ketimpangan di Indonesia kembali
dalam kategori rendah (0,5. Bandingkan dengan angka pada September 2014,
angka tertinggi, ada pada 0,414.
Namun demikian, tren jangka panjang yang merupakan
ukuran yang lebih bisa diterima ternyata memburuk dan menunjukkan konsentrasi
kekayaan pada segelintir orang. ”Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan
menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah. Indonesia menduduki
peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand.
Satu persen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3%
kekayaan nasional. Semakin parah jika melihat penguasaan 10% terkaya yang
menguasai 77% kekayaan nasional. Jadi 90% penduduk sisanya hanya menikmati
tidak sampai seperempat kekayaan nasional,” tulis Faisal Basri.
Di industri keuangan sesuai data OJK, 50 konglomerasi
keuangan menguasai 70% aset industri keuangan Indonesia atau Rp6.300 triliun
dari total aset Rp9.000 triliun. Bila melihat publikasi 10 orang terkaya di
Indonesia atau 50 orang terkaya di Indonesia aset orang-orang tersebut
meningkat terus jumlahnya tiap tahun.
Sementara kelompok masyarakat yang nyaris miskin
gampang sekali terhempas ke kelompok miskin hanya gara-gara kebijakan
pemerintah yang inflatoir. Nyata sekali gap antara kelompok kaya dan kelompok
miskin itu.
Kebijakan Timpang
Kita bisa bagi perkembangan Indonesia dalam tiga tahap
yaitu periode sebelum krisis 1997/1998, periode krisis dan periode sesudah
krisis. Meski dalam siklus ekonomi ada beberapa kali krisis ekonomi, namun
penulis sengaja mengambil krisis 1997/1998 sebagai patokan karena krisis
tersebut menjadi krisis terhebat dalam sejarah ekonomi Indonesia di masa orde
baru.
Krisis moneter, krisis ekonomi yang berkembang jadi
krisis politik telah meruntuhkan kekuasaan Soeharto saja selaku penguasa orde
baru. Salah satu kebijakan orde baru sebelum krisis adalah kebijakan yang
sangat pro konglomerat di pelbagai bidang baik kebijakan di bidang perbankan,
moneter, perdagangan, pasar modal dan lain-lain.
Sebuah sindiran terhadap prilaku diskriminatif
pemerintah yang lebih pro konglomerat ketimbang usaha kecil menengah (UKM)
adalah: ”ketika usaha konglomerat masih kecil disusui oleh bank-bank BUMN,
mulai besar dapat fasilitas memiliki bank lewat kebijakan BI mempermudah
kepemilikan bank dalam Pakto 88 sehingga bisa membiayai usahanya dari dana
perbankan milik sendiri, serta ketika usahanya makin membesar lagi lewat
pasar modal pemerintah memberi kesempatan para konglomerat meraup dana murah
melalui penawaran saham mereka ke masyarakat.”
Ciri lain pembangunan di era sebelum krisis adalah
Indonesia menerapkan prinsip Washington Consensus yang berwatak neoliberal
dan berupaya mengedepankan peranan mekanisme pasar serta menghilangkan peran
pemerintah.
Awal tahun 1970 dan 1980 gabungan utang luar negeri,
investasi asing,liberalisasi perbankan dan booming minyak bumi berhasil
membuat ekonomi tumbuh rata-rata 7% tiap tahun. Memasuki tahun 1990-an
seiring berkurangnya kontribusi ekonomi minyak terhadap APBN, gabungan utang
luar negeri, investasi asing dan liberalisasi perekonomian membawa
pertumbuhan tetap tinggi.
Yang liberalisasi perekonomian tanpa penguatan struktur
ekonomi domestik ini menciptakan bolong luar biasa dalam perekonomian
Indonesia. Lalu lintas devisa bebas, cadangan devisa rendah, defisit
transaksi berjalan yang tinggi dan melepas pergerakan rupiah sesuai mekanisme
pasar membuat nilai tukar rupiah sangat rapuh ketika dihantam gelombang
penularan krisis bath Thailand. Krisis rupiah tersebut menciptakan krisis
perbankan, krisis ekonomi dan krisis politik.
Liberalisasi Total
Apa sebenarnya yang terjadi saat Indonesia dilanda
krisis ekonomi 1997-1999? Sebagai lembaga konsultan dan donor Dana Moneter
Internasional (IMF) justru merekomendasikan sejumlah program Washington
Consensus yang bercirikan liberalisasi dari seluruh perekonomian Indonesia.
Kalau tadinya liberalisasi saat sebelum krisis masih
samar-samar dan terkesan malu-malu, maka di saat krisis semuanya
diliberalisasi total. Semua sektor perekonomian dibuka 100% sehingga siapa
pun bisa masuk ke perekonomian domestik, sehingga ekonomi Indonesia termasuk
ekonomi yang paling liberal di dunia.
Kebijakan yang terjadi di masa krisis ini memiliki
implikasi jangka panjang dalam perekonomian nasional. Di masa sesudah krisis,
seorang ekonom dari IPB pernah menulis, ratusan kebijakan Indonesia di
tahun-tahun awal 2000 bercirikan kebijakan neoliberal. Liberalisasi total di
masa krisis dan sesudah krisis menjadi bukti penjelas tingginya tingkat
ketimpangan di Indonesia di tahun-tahun 2010-2015.
Tidak heran, ekonomi Indonesia sulit sembuh dari
krisis. Bahkan anehnya, para konglomerat yang bangkrut akibat krisis
1997/1998 secara bergerilya mencoba bangkit sejak zaman Habibie, Gus Dur,
Megawati, SBY dan era Jokowi bahkan kini sudah lebih kaya dari pada jaman
sebelum krisis.
Problem utama Indonesia makanya urusan kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan belum memuaskan karena Indonesia mengadopsi dan
mengimplementasikan kebijakan yang salah sejak orde baru dan dilanjutkan di
era reformasi (meliputi enam presiden).
Lantaran ini pula pembangunan Indonesia jadi tidak
care, tidak share dan tidak fair. Ketidakadilan di mana-mana. Konglomerat
yang hadir dalam program reklamasi pantai Jakarta misalnya akan membawa
pelbagai problema di kawasan DKI Jakarta antara lain ancaman ketimpangan di
masa kini dan masa mendatang.
Ancaman ketimpangan tersebut sudah sedemikian akutnya
tinggal menunggu ledakan kerusuhan sosial dan rasial. Saya jadi ingat sebuah
buku yang ditulis David Ramson yang menyimpulkan Indonesia adalah berkah luar
biasa buat Amerika di abad ke-20 karena menunjukkan benefit sangat besar yang
diperoleh Amerika dari perekonomian Indonesia.
Dengan fenomena pemerintahan Jokowi yang berat sekali
ke China saya melihat bukan tidak mungkin ada sebuah buku lagi yang mengulas
Indonesia berkah luar biasa buat China di abad 21. Karena sepertinya setelah
mengadopsi Washington Consensus Indonesia akan mengadopsi Beijing atau China
Consensus.
Padahal Indonesia seharusnya berkah buat rakyat
Indonesia sendiri. Apalagi Indonesia sudah memiliki prinsipprinsip kebijakan
pembangunan yang benar yaitu ekonomi konstitusi sesuai dengan UUD 1945. Dan
kebijakan yang salah kita buang dan tinggalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar