Fatwa
MUI dan Living Law Kita
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Tata Negara; Ketua MK-RI
2008-2013
|
MEDIA INDONESIA,
26 Desember 2016
SETELAH
melalui berbagai media, saya mengatakan bahwa dari sudut konstitusi dan
hukum, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)tidak mengikat dan tidak bisa
dipaksakan melalui penegak hukum, kemarin, dimunculkan satu statemen dari
pakar hukum Yusril Ihza Mahendra yang seakan-akan dipertentangkan dengan
pendapat saya.
Pernyataan
Yusril Ihza yang oleh media diberi judul ‘Yusril: Hukum Islam adalah the
Living Law’ sebenarnya tidak ada pertentangannya sama sekali dengan pendapat
saya bahwa ‘Fatwa MUI bukan Hukum Positif dan tidak Mengikat.’ Saya dan
Yusril Ihza sependapat bahwa hukum agama yang belum diformalkan negara,
apalagi hanya fatwa, adalah tidak mengikat dan tidak dapat dipaksakan
pemberlakuannya oleh aparatur hukum negara.
Tetapi,
di media sosial, statemen Yusril Ihza itu dikonfrontasikan dengan pendapat
saya, seakan-akan bertentangan. Akun Twitter @kawanabadi misalnya, menanyakan
bagaimana pendapat saya tentang pendapat Yusril Ihza terkait the living law
itu. Di beberapa grup WhatsApp (WA) pernyataan Yusril Ihza itu dijejer dengan
pernyataan saya disertai caption, “Sesama Ahli Hukum, Mana yang Benar?”
Tidak bertentangan
Saya
pastikan, pendapat yang saya kemukakan bahwa fatwa MUI tidak mengikat
tidaklah bertentangan dengan pendapat Yusril Ihza bahwa hukum Islam adalah
living law. Sebab living law pun, kalau belum diberlakukan secara resmi oleh
negara, keberlakuannya tidak bisa dipaksakan dengan sanksi heteronom atau
sanksi yang dipaksakan negara. Istilah living law itu sendiri,
sekurang-kurangnya, mempunyai dua arti.
Pertama,
norma yang hidup karena ditaati keberlakuannya oleh masyarakat meskipun tidak
diberlakukan secara resmi oleh negara. Kedua, hukum resmi yang bersifat
dinamis dan kenyal atau supel, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman dan
selalu aktual dalam keadaan apa pun. Untuk pengertian yang kedua tersebut di
dalam ilmu politik dan konstitusi ada juga istilah living constitution dan
living ideology. Mari kita runut secara singkat pandangan saya dan pandangan
Yusril Ihza.
Saya
menyatakan, jangankan fatwa MUI, fatwa Mahkamah Agung sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman tertinggi di negara Indonesia juga tidak mengikat. Di
dalam tata hukum kita yang mengikat dari Mahkamah Agung sebagai lembaga
peradilan hanyalah vonis yang sudah inkracht, bukan fatwa. Fatwa itu tak
lebih dari pendapat hukum (legal opinion) yang boleh diikuti dan boleh tidak diikuti.
Dari
sudut peraturan yang bersifat abstrak, fatwa baru bisa mengikat kalau sudah
diberi bentuk hukum tertentu oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan
undang-undang atau peraturan daerah sehingga menjadi hukum positif. Bahwa ada
orang Islam yang mau melaksanakan fatwa itu bisa saja sebagai kesadaran
beragama secara pribadi, bukan sebagai kewajiban hukum.
Kalau
pun, misalnya, orang bersalah karena tidak mengikuti fatwa keagamaan,
sanksinya adalah sanksi otonom atau sanksi yang datang dari dalam diri
sendiri berupa penyesalan atau rasa berdosa. Pernyataan Yusril Ihza bahwa
hukum Islam adalah living law tidak lantas bisa diartikan bahwa fatwa, bahkan
hukum Islam sendiri, adalah hukum yang mengikat dan bisa dipaksakan. Yusril
Ihza tidak mengatakan itu.
Hukum
Islam sebagai living law, seperti yang dipergunakan dalam pernyataan Yusril
Ihza, merupakan hukum yang hidup dan ditaati keberlakuannya oleh masyarakat
meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Living law seperti hukum Islam yang belum dijadikan isi
undang-undang tentu tidak bisa dipaksakan penegakannya oleh aparat penegak
hukum.
Mengapa?
Karena keberlakuannya bersifat sukarela berdasar kesadaran pribadi pihak yang
menerima sehingga sanksinya hanyalah dosa menurut agama atau sanksi otonom
berupa penyesalan. Itulah sebabnya Yusril Ihza juga menyertakan dalam
statemennya itu agar pemerintah memformalisasikan living law menjadi hukum
formal, sehingga bisa ditegakkan negara. Artinya, pada titik ini, saya dan
Yusril Ihza sama-sama berpendapat bahwa norma-norma yang menurut ilmu hukum
disebut hukum Islam, meskipun sudah menjadi living law, tidak bisa dipaksakan
keberlakuannya oleh negara, jika tidak atau belum dijadikan hukum positif
dulu melalui pengundangan dalam bentuk undang-undang, peraturan daerah, dan
sebagainya.
Norma
Pelajaran
yang paling awal diberikan kepada pembelajar hukum adalah bahwa hukum
merupakan kristalisasi norma di dalam masyarakat, yang diberlakukan secara
resmi oleh negara dengan disertai ancaman sanksi yang dapat ditegakkan
melalui aparatur penegak hukum negara. Di dalam kehidupan masyarakat ada
empat jenis norma yakni norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan,
dan norma hukum.
Norma
yang mengikat dan bisa dipaksakan berlakunya oleh negara dengan sanksi
heteronom adalah norma hukum. Hubungan norma hukum dengan norma-norma lainnya
bersifat gradual, artinya, norma-norma lain itu baru mengikat dan bisa
dipaksakan keberlakuannya kalau ditingkatkan menjadi norma hukum melalui,
misalnya, proses legislasi.
Dalam
konteks ini karena bukan merupakan norma hukum yang sudah diformalkan,
menurut tata hukum Indonesia, fatwa MUI tidak mengikat dan tidak dapat
dipaksakan keberlakuannya oleh aparatur negara. Bagaimana kedudukan fatwa MUI
di depan pengadilan? Fatwa MUI di depan pengadilan bisa dijadikan keterangan
dan atau pendapat ahli, bahkan doktrin, dalam rangka pembuktian kasus
konkret-individual (in concreto), bukan sebagai peraturan yang abstrak-umum (in abstracto). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar