Ironi
Nirliterasi di Tengah Revolusi Media Sosial
Syamsul Arifin ; Guru
Besar dan Wakil Rektor I
Universitas Muhammadiyah Malang
|
KORAN SINDO, 21 Desember
2016
Hanya dalam hitungan detik, tiga gambar dan
narasi yang sama, masuk ke grup WhatsApp saya. Peristiwa seperti ini tidak
hanya terjadi sekali.
Karena saya memiliki banyak grup
WhatsApp—sebagian besar karena undangan menjadi anggota grup, hampir di
setiap waktu selalu ada notifikasi. Sekali tempo notifikasi itu
ditindaklanjuti dengan membuka pesan, terkadang dalam bentuk gambar dan
sebagiannya lagi berupa narasi atau tulisan. Tentu tidak semua pesan yang
masuk terutama via WhatsApp bisa diterima sebagai suatu fakta dan kebenaran
yang bisa menambah pengetahuan.
Sebagian di antara kita, atau bahkan setiap
dari kita, (mungkin) pernah menerima pesan dalam bentuk tulisan atau gambar
yang bernada provokatif, menyesatkan, dan sulit dipertanggung jawabkan
kebenarannya. Ketika menerima berita-berita palsu (hoax ) yang demikian itu,
rasa jengkel sudah pasti kita alami.
Sayangnya, banyak tulisan atau gambar berita
palsu seperti itu terus memenuhi jejaring sosial yang ada sekarang, dan
ironisnya banyak orang yang memberi komentar dan mempercayainya. Padahal,
sumber dan data informasi yang disajikan tak lebih dari sekadar bohong.
Mencermati fenomena yang demikian, satu pertanyaan yang patut kita ajukan,
yaitu kenapa banyak orang mudah percaya terhadap berbagai berita hoax, bahkan
ikut-ikutan menyebarkannya, padahal infrastruktur yang menjamin ketersediaan
informasi sudah cukup berlimpah di era teknologi informasi seperti saat ini?
Peran Media Sosial
Menurut riset Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet (APJII) 2015, terdapat 88,1 juta jiwa dari total penduduk Indonesia
yang berjumlah 255 juta jiwa yang hari ini terhubung dengan internet. Dari
88,1 juta netizen itu, saluran media sosial adalah yang paling banyak
dikunjungi. Setiap hari ada sekitar 76 juta (87,4%) netizen yang melakukan
perbincangan di jejaring sosial.
Dengan keberadaan 76 juta netizen itu, kita
bisa bayangkan bagaimana sesaknya perbincangan di jejaring sosial seperti
Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, dan YouTube. Dengan sekali klik,
tanpa berpikir panjang, tulisan atau gambargambar hoax itu diproduksi demi
menaikkan peringkat situs tertentu, atau sengaja dibuat untuk menjatuhkan
orang dan kelompok tertentu.
Ironisnya, setiap individu dengan mudahnya
memviralkan berbagai tulisan dan gambar tersebut sehingga seringkali memicu
kebencian. Dengan demikian, hampir tidak ada batasan moral, etika, sopan, dan
santun yang bisa diterapkan di dunia yang banyak digemari anak-anak muda
tersebut. Maka, tidak heran bila hari-hari ini dengan sangat mudahnya ujaran
kebencian dan kata permusuhan itu kita jumpai di berbagai saluran media
sosial.
Yang awalnya teman lama, karena berbeda
pilihan politik atau pandangan terhadap tafsir agama tertentu, kemudian
menjadi saling olok dan caci maki di media sosial. Jelas saja, penggunaan
media sosial yang penuh dengan potret kebencian ini jauh dari asas
kemanfaatan. Kehadiran media dalam jaringan yang mulanya bisa menjadi alat
bagi masifitas gerakan sosial baru, seperti yang sudah terjadi di sejumlah
negara di Timur Tengah, malah belum berperan sebagaimana mestinya di
Indonesia. Masih banyak kita temukan tulisan bodong yang menyudutkan
kelompok, agama, dan penganut keyakinan tertentu; serta ungkapan peyoratif yang
menjatuhkan harga diri sebuah pemerintahan di jejaring sosial.
Bersemainya tulisan-tulisan bodong (terutama
yang berbasiskan keagamaan) dan maraknya ujaran kebencian yang dengan mudah
kita jumpai di media sosial mengindikasikan satu hal, yakni rendahnya tingkat
literasi di negeri ini. Meski berbagai infrastruktur yang mendukung, seperti
perpustakaan, koran, toko buku, e -paper dan e-journal, telah banyak
tersedia, kenyataan hari ini menggambarkan masyarakat kita tetap enggan
membiasakan diri melakukan pembacaan secara berulang dan menyeluruh atas
setiap informasi yang diterima.
Kondisi ini sangat ironis, mengingat akses
internet di Indonesia relatif cepat dan setiap individu senantiasa terhubung
dengan mobilephone, sertaketersediaan komputer juga sangat mencukupi.
Kemudian, sebagaimana data APJII 2015 bahwa hamper setiap setengah jam sekali
orang memeriksa media sosial mereka. Jadi, bukan soal ketersediaan akses
mendapatkan bahan bacaan yang menjadi persoalan utama bangsa kita menjadi
illiterate, tapi lebih pada sikap malas yang merajalela dan membeludaknya
perilaku instan.
Tak pelak, data WorldWorlds Most Literate
Nation, yang disusun oleh Central Connecticut State University belum lama ini
membelalakkan mata kita semua. Laporan hasil riset tersebut menyebutkan bahwa
tingkat literasi masyarakat Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61
negara yang diteliti. Indonesia berada di urutan paling belakang nomor dua
setelah Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika.
Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa
bangsa yang masuk dalam kategori illiterate, masyarakatnya cenderung suka
mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar, berperilaku brutal dan suka merusak,
serta kerap melanggar hak asasi manusia. Miris karena perilaku-perilaku
tersebut dengan mudah kita jumpai di negeri ini sekarang, baik yang berada di
dunia nyata maupun maya.
Dengan berbagai infrastruktur yang tersedia,
baik jaringan internet maupun perpustakaan dan toko buku yang berjubel,
mestinya masyarakat Indonesia bisa bersanding dengan sejumlah negara yang
masuk pada peringkat atas sebagai negara yang sadar literasi seperti
Finlandia, Norwegia, Islandia, atau Denmark, kemudian bersikap kritis
terhadap berbagai pemberitaan atau berita palsu yang beredar di media sosial.
Untuk menyikapi fenomena yang elegis ini, ada
baiknya kita kembali mempelajari filsafat fenomenologi, yang mengajarkan
kepada kita supaya senantiasa bersikap kritis dan konfirmatif terhadap setiap
informasi, pandangan dan paradigma pemikiran yang kita terima.
Sebagaimana ungkapan Edmund Husserl yang
diterima secara luas oleh kalangan fenomenolog bahwa setiap pandangan pertama
yang kita terima mesti diikuti dengan pandangan kedua; setiap first look
harus diikuti dengan second look supaya kita dapat menyingkap hijab-hijab
kebenaran yang dimaksud. Sayangnya, kita tidak menggubris Edmund Husserl.
Akibat itu, alih-alih handphone, bahkan tanpa kita sadari, pikiran kita
berubah fungsi menjadi tong sampah beragam informasi yang tidak bermutu. ●
|
BalasHapusDo you need Personal Loan?
Business Cash Loan?
Unsecured Loan
Fast and Simple Loan?
Quick Application Process?
Approvals within 24-72 Hours?
No Hidden Fees Loan?
Funding in less than 1 Week?
Get unsecured working capital?
Contact Us At :oceancashcapital@gmail.com
Phone number :+16474864724 (Whatsapp Only)
LOAN SERVICES AVAILABLE INCLUDE:
================================
*Commercial Loans.
*Personal Loans.
*Business Loans.
*Investments Loans.
*Development Loans.
*Acquisition Loans .
*Construction loans.
*Credit Card Clearance Loan
*Debt Consolidation Loan
*Business Loans And many More:
LOAN APPLICATION FORM:
=================
Full Name:................
Loan Amount Needed:.
Purpose of loan:.......
Loan Duration:..
Gender:.............
Marital status:....
Location:..........
Home Address:..
City:............
Country:......
Phone:..........
Mobile / Cell:....
Occupation:......
Monthly Income:....
Contact Us At oceancashcapital@gmail.com
Phone number :+16474864724 (Whatsapp Only)
ternyata ada loh tempat magang di pekan baru yang sangat menyenangkan.
BalasHapusmunkin bisa jadi refrensi anda
terima kasih atas infonya : )