Wajah
Perlindungan Anak 2016
Asrorun Niam Sholeh ; Ketua
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
29 Desember 2016
DERETAN kasus pelanggaran terhadap anak terus terjadi
dengan berbagai pola dan bentuknya sepanjang 2016. Meski demikian, ada
komitmen negara yang direpresentasi sikap tegas Presiden Jokowi untuk
menjadikan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa dan
diikuti penerbitan Perppu No 1/2016 yang disahkan DPR menjadi UU. Dari sisi
substansi, perppu itu telah menjawab kebutuhan faktual untuk pemberatan
hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Mengingat pelaku kejahatan seksual terhadap anak
merupakan tindakan yang tak bisa ditoleransi dan negara tidak boleh abai.
Tahun 2016, KPAI menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak
mencapai 3.581 kasus. Kasus tertinggi anak berhadapan dengan hukum (ABH)
mencapai 1.002, disusul kasus keluarga dan pengasuhan alternatif mencapai 702
kasus, kejahatan anak berbasis siber (cyber crime) 414 kasus, selanjutnya
kasus pelanggaran anak dalam pendidikan berjumlah 328 kasus.
Ada hal yang berbeda antara kasus anak tahun 2015
dengan tahun 2016 ini. Terjadi pergeseran dominasi kasus berdasarkan
pengelompokan jenis pelanggarannya. Tahun 2015 kasus anak di bidang
pendidikan menempati urusan ke-3 setelah kasus bidang ABH dan bidang keluarga
serta pengasuhan alternatif. Namun, tahun 2016, kasus kejahatan berbasis
siber (pornografi dan cyber crime) menempati urusan ketiga, disusul kasus
pendidikan. Kasus pelanggaran di bidang pendidikan mengalami penurunan dan
kejahatan berbasis siber mengalami kenaikan.
Adanya pergeseran ini menunjukkan bahwa advokasi secara
masif yang dilakukan oleh KPAI terhadap pemerintah, pemerintah daerah,
organisasi profesi pendidik, satuan pendidikan dan madrasah terkait urgensi
perwujudan sekolah ramah anak, menampakkan hasil positif. Faktanya, cukup
banyak sekolah menginisasi menjadi sekolah ramah anak, baik berbasis di kota
besar maupun di daerah.
KPAI secara khusus menerbitkan buku panduan sekolah dan
madrasah ramah anak dengan menggandeng peran masyarakat untuk sosialisasi.
Namun, di sisi lain, kejahatan berbasis siber (cyber crime) yang menjadikan
anak sebagai korban dan pelaku saat ini semakin serius sehingga memerlukan
komitmen negara untuk memberikan proteksi secara optimal.
Jenis kasus kejahatan berbasis siber juga beragam,
mulai dari bullying, prostitusi online, penculikan, penipuan, hate speech,
hingga terorisme. KPAI merekomendasikan peningkatan literasi pemanfaatan media
berbasis siber untuk mengoptimalkan perlindungan anak. KPAI juga
merekomendasi peningkatan kapasitas kelembagaan untuk mencegah dan menanganai
kasus ini. Unit Cyber Crime Mabes Polri perlu diperkuat.
Berdasarkan catatan, kasus pelanggaran hak anak tahun
2016 mencapai 3581 kasus. Hal ini penting dilihat dari berbagai sudut
pandang. Tingginya kasus anak berhadapan dengan hukum, kasus keluarga dan
pengasuhan alternatif, kasus pornografi dan cyber crime, serta kasus
pelanggaran di bidang pendidikan, jika ditilik ke belakang sejatinya tidak
disebabkan oleh faktor tunggal. Dari sisi proteksi negara, upaya perlindungan
anak di RI masih sangat lemah.
Sangat mudah anak mengakses konten pornografi,
permainan anak bermuatan judi, kekerasan, dan sadisme. Beragam informasi yang
memuat konten negatif seperti pornografi, game online yang sarat dengan
kekerasan, hate speech atau penyebaran kebencian, cyberbullying, dan
lain-lain tersebar bebas dan mudah diakses anak sehingga memungkinkan anak
terpapar konten negatif dan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak,
termasuk memengaruhi pembentukan karakter, value of life, dan perilaku anak
yang akan terbawa hingga dewasa.
Dunia siber, pun layaknya dunia offline, menjadi media
bagi para predator anak untuk membujuk rayu, menipu, bahkan mengancam
sehingga anak berpotensi menjadi korban kejahatan siber. Posisi anak yang
rentan menjadi korban di dunia siber inilah yang masih sering luput dari
perhatian pihak pemangku kepentingan perlindungan anak. Dari lingkup terkecil
seperti orangtua dan keluarga, hingga negara. Proteksi berbasis IT untuk
kepentingan perlindungan anak merupakan keniscayaan. Hal ini sebagai bentuk
pertanggungjawaban negara.
Kejahatan seksual dengan berbagai modusnya masih
terjadi di berbagai titik daerah rentan. Pengungkapan kasus prostitusi gay
yang menyasar anak-anak di Cisarua Bogor merupakan kerja bersama antara Mabes
Polri dan KPAI. Di pihak lain, penutupan Kalijodo yang berdasarkan temuan
KPAI menjadikan anak sebagai objek bisnis seksual juga merupakan rekomendasi
KPAI kepada Gubernur DKI Jakarta. Langkah ini tentu penting menjadi best
practice di berbagai daerah lain yang berdasarkan temuan masih memiliki
titik-titik rentan 'lokalisasi' yang menyasar anak-anak.
Di sisi lain, akibat proteksi yang lemah anak juga
mudah terindoktrinasi radikalisme dan terpapar paham ekstremisme. Kultur di
satuan pendidikan juga belum sepenuhnya responsif perlindungan anak. Masih
banyak ragam kekerasan di sekolah dan madrasah yang bukan mencerminkan napas
lingkungan pendidikan, tetapi justru mencerminkan perilaku primitif.
Senioritas, pendisiplinan dengan cara kekerasan, bahkan orientasi sekolah
bermuatan kekerasan, masih mudah ditemukan di sejumlah sekolah/madrasah.
Diperlukan optimalisasi proteksi negara, penguatan
sistem, perubahan perilaku pendidik, keluarga dan masyarakat serta kesadaran
bersama secara berkesinambungan. Dari sisi penegakan hukum, putusan vonis
bagi para pelaku dewasa yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak
sejatinya masih jauh dari rasa keadilan bagi korban. Padahal, dalam pasal
pidana UU No 35/ 2014 tentang Perlindungan Anak, pelaku kejahatan seksual
terhadap anak dapat di pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun
penjara. Apabila pelakunya orangtua dan tenaga pendidik/kependidikan di tambah
1/3 pidana.
Hasil pengawasan KPAI terhadap proses hukum terhadap
pelaku kejahatan seksual di 34 pengadilan negeri di ibu kota provinsi, dengan
sampel 112 kasus ditemukan bahwa pelaku dewasa rata-rata di vonis oleh
pengadilan 5-10 tahun, sebanyak 35% dan yang di vonis 10 -15 tahun sebanyak
44%.
Langkah advokasi kebijakan
Dalam rangka menekan tingginya kasus pelanggaran hak
anak, KPAI melakukan upaya advokasi secara intensif dengan pendekatan sistem
sebagai perwujudan menunaikan tugas sebagai pengawas penyelenggaraan
perlindungan anak. Pertama, KPAI melakukan advokasi kepada penyelenggara
negara akan pentingnya kebijakan yang berperspektif anak di berbagai bidang
dan sektor pembangunan, baik pusat maupun daerah.
Harapannya, perlindungan anak menjadi arus utama dalam
kebijakan nasional dan daerah. Namun, tantangan yang dihadapi di antaranya,
masih ditemukan sejumlah peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah
justru bertolak belakang dengan spirit perlindungan anak. Kedua, KPAI
melakukan advokasi agar paradigma perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
evaluasi pembangunan berbasis pada perspektif perlindungan anak. Hal ini
meminimalisasi proses pembangunan yang hanya fokus pada pembangunan fisik dan
berperspektif kepentingan orang dewasa, tetapi minus perlindungan anak.
Faktanya, hasil pantauan KPAI, politik kebijakan anak
masih lemah di berbagai sektor dan daerah, akibat lemahnya sensitivitas
perlindungan anak dari sebagian 'pelaku dan pegiat politik'. Ketiga, KPAI
secara intensif melakukan advokasi penguatan kelembagaan perlindungan anak
yang didukung oleh SDM, anggaran, dan struktur birokrasi yang responsif
terhadap perlindungan anak. Mengingat, hasil pantauan KPAI masih banyak
ditemukan, kelembagaan perlindungan anak dibentuk minus dukungan SDM.
Kelembagaan dibentuk tanpa dukungan anggaran dan
SDM-nya double tugas sehingga kinerja perlindungan anak tidak efektif. Ini
terjadi di sejumlah daerah dan perlu mendapat dukungan serius dari pemerintah
agar perlindungan anak tidak semata hanya 'kebaikan hati', tetapi menjadi
kebijakan yang bersifat mandatory. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar