Ahok dan Perang Keramaian
Aris Setiawan ; Etnomusikolog
ISI Surakarta
|
TEMPO.CO, 20 Desember
2016
Aton Rustandi Muliana (2014) dalam studinya
secara spesifik menjelaskan bahwa keramaian, kegaduhan, dan kebisingan sering
kali dibentuk atas dasar kesengajaan. Keramaian itu adalah sebuah citra
sosial yang dibangun untuk memberi kesan mendalam terkait dengan dua hal,
yakni kekuatan dan peristiwa besar. Dalam konteks permasalahan yang dihadapi
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang dituduh menistakan agama, misalnya,
kemudian ada gerakan dari masyarakat—berbasis agama—turun ke jalan dengan
jumlah besar. Mereka ingin mengkonstruksi citra sebuah kekuatan massa
sekaligus hendak menunjukkan bahwa kasus itu besar dan penting. Setelahnya,
keramaian tidak hanya diwakili oleh tubuh-tubuh yang berkumpul, tapi juga
komentar-komentar di media sosial. Perang wacana dan pembelaan dari
masing-masing kubu menjadi kegaduhan—keramaian—tersendiri yang tak kalah
sengit.
Selama ini belum ada studi yang secara spesifik
mengamati fenomena "keramaian", terutama dalam konteks politik.
Keramaian yang dimaksudkan bukan tentang "apa yang diramaikan",
melainkan bagaimana keramaian itu dibentuk, dimaknai, dan implikasi apa yang
ditimbulkannya. Dalam konteks ini, apa yang diramaikan menjadi tidak lagi
penting untuk diulas. Kini kita memasuki "zaman keramaian"
(kegaduhan?) atau, meminjam istilah Guy Debord (1967), disebut sebagai
spectacle. Hal ini terjadi ketika kita menjadikan apa pun sebagai sebuah
masalah berjemaah, konsumsi publik, dan siapa pun dapat memberinya makna dan
nilai baru.
Michael Oriard (1993) dan Alan Tomlinson
(2006) meneliti bagaimana proses keramaian itu dibentuk. Ia mengambil kasus
dalam pertandingan olahraga, sepak bola. Pertandingan sepak bola dalam arti
sesungguhnya tidaklah penting. Yang penting justru bagaimana menjadikan
peristiwa itu bermakna dan bernilai. Hal ini dikonstruksi, misalnya, dengan
perang komentar-wacana antara klub dan pelatih, menggerakkan suporter,
mengangkat isu rasial, hingga membuat pertandingan tampak menarik dengan
adanya dentuman kembang api, tari-tarian, serta nyanyian (musik).
Peristiwa biasa kemudian menjadi luar biasa.
Seseorang kemudian menonton sepak bola tak hendak menyaksikan gelindingan
bola dari kaki ke kaki, melainkan pembelaan terhadap harga diri dan gengsi.
Mereka bisa sangat marah dan berbuat anarkistis saat klub yang dibelanya
kalah, dan menjadi sangat jemawa saat klub yang dibelanya menang. Secara
hierarkis, sebenarnya mereka tidak memiliki hubungan langsung terhadap
pertandingan dan pelaku permainan itu (pemain, pelatih, pengurus). Namun
kehadiran individu-individu itu seolah dibuat dekat dengan memunculkan
"ritual keramaian" tadi. Wacana, isu, dan gosip diembuskan untuk
meraih simpati, terutama lewat berbagai media. Orang-orang dalam radius
terjauh pun merasa memiliki kewajiban untuk terlibat langsung. Timbullah
kemudian fans club, suporter, sepak bola Eropa di Indonesia yang mati-matian
membela klubnya nan jauh di sana.
Jika teori itu dihadapkan dalam persoalan politik
mutakhir, orang-orang yang tak pernah bersentuhan langsung dengan Ahok merasa
memiliki kewajiban untuk terlibat, entah membela atau menghujat. Mereka
meluapkan dengan berbagai cara. Keramaian pun semakin membuncah sehingga
esensi persoalan yang sebenarnya menjadi bias alias kabur. Tidak lagi penting
tentang apa yang diucapkan Ahok, melainkan bagaimana keramaian itu terus
dipelihara lewat pemunculan atau produksi wacana, konflik, isu, dan gosip
baru. Sama seperti pertarungan di antara dua klub sepak bola, bukan lagi
persoalan kalah-menang, melainkan tentang citra-harga diri yang dibangun.
Pada zaman ini keramaian sengaja dibentuk
dengan berbagai kepentingan, sering kali bagi orang-orang yang paham dan
mampu mengolah justru menjadikannya senjata nan akurat dan berguna. Ia
mengolah kegaduhan itu dengan teliti, menggerakkan manusia-manusia dengan
hanya satu produksi wacana kecil. Kisah Ahok berkembang bukan lagi semata
penistaan agama, tapi juga menyangkut persoalan politik, suku, ras, hukum,
ekonomi, dan kultural. Setiap individu perang wacana.
Dalam dunia seni pertunjukan, Ngarot di
Indramayu dan pasar malam di Jawa adalah contoh yang ideal bagaimana
peristiwa kegaduhan bunyi diproduksi untuk meraih simpati publik agar datang
dan terlibat. Suara bising orkes dangdut dibenturkan dengan musik memekik
kesenian reog, suara gamelan tari topeng, dan bunyi mainan anak-anak secara
bersamaan. Kegaduhan itu adalah katalisator dalam meraih tujuan-tujuan
tertentu. Dalam keramaian ada eksistensi dan harga diri. Lewat keramaian
mereka menciptakan ruang yang gaduh dengan berbagai diskusi dan wacana.
Pertanyaannya kemudian, apa yang hendak mereka cari lewat keramaian itu? Jika
demikian, apabila setiap orang begitu ramai dan gaduh menanggapi kasus Ahok,
apa yang sudah dan akan mereka dapatkan? Bukankah hubungan pertemanan
seringkali harus berakhir, hidup menjadi tidak tenang dengan berbagai teror
keramaian baru?
Alangkah baiknya jika kita dapat mengolah
keramaian itu dengan bijak, dengan sedikit menahan untuk tidak menyampaikan
wacana yang dapat membuat kegaduhan baru. Bukankah terlalu ramai hingga
menyebabkan bising dan noise juga tidak baik untuk kesehatan? Karena itu,
dalam beberapa kasus, keramaian memang harus dihindari agar hidup menjadi
lebih tenang dan damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar