Menguji
Ketahanan Nasional
Bambang Soesatyo ; Ketua
Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
SUARA MERDEKA, 24
Desember 2016
KETAHANAN nasional akan menghadapi ujian
mahaberat jika rencana ISIS membangun basis di Asia Tenggara tidak segera
ditangkal. Beberapa indikasi sudah terlihat di permukaan. Untuk memperkecil
atau melumpuhkan potensi ancaman itu, perlakuan hukum terhadap para terduga
dan tersangka teroris harus ekstra tegas.
Menjelang Sabtu (10/12) sore pekan lalu,
publik dikejutkan oleh pemberitaan tentang keberhasilan Detesemen Khusus
(Densus) 88 Anti-teror Mabes Polri mengamankan tiga orang yang berencana
melancarkan serangan dengan bom berdayaledak tinggi. Ketiga orang itu — salah
satunya wanita — ditangkap di sebuah rumah di Jalan Bintara Jaya VIII Bekasi,
Jawa Barat, tepatnya di kamar kos 104.
Menyusul penangkapan tiga orang itu, polisi
juga menyergap seorang terduga teroris lainnya di Solo, serta mengamankan
sebuah rumah di Cirebon milik keluarga wanita yang ditangkap di Bintara. Bom
yang diamankan di Bintara berbobot 3 kilogram.
Jika diaktifkan, kecepatannya mencapai 4.000
km per jam dan bisa menghancurkan segala sesuatu dalam radius 300 meter.
Rencananya, bom itu akan diledakkan Minggu (11/12) pagi di Istana Negara,
dengan sang ”pengantin” adalah wanita yang ditangkap itu.
”Pengantin adalah orang yang akan meledakkan
diri dengan bom di tubuhnya. Serangan bom bunuh ini bukan sekadar rencana,
melainkan sudah mendekati tahap pelaksanaan. Sebab, wanita yang menjadi
”pengantin” itu sudah mengirimkan surat wasiat lewat kantor pos ke
keluarganya. Mungkin, kasus ini bisa dilihat sebagai indikasi pertama.
Kasus ini menjadi bukti bahwa sel-sel
terorisme di dalam negeri masih sangat aktif, dan terus mencari ruang untuk
merusak ketahanan nasional. Luar biasa karena mereka sudah berani mengincar
Istana Negara sebagai target serangan. Indikasi kedua adalah pernyataan
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Berbicara di forum seminar Preventive Justice
dalam Antisipasi Perkembangan Ancaman Terorisme pada Selasa (6/12) lalu,
Jenderal Gatot Nurmantyo mengingatkan bahaya terorisme yang jaraknya semakin
dekat ke Indonesia, karena kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)
telah memilih dan membangun kawasan Filipina Selatan sebagai home base di
Asia Tenggara.
Adapun Presiden Duterte mengemukakan bahwa
ISIS akan mendirikan kekhalifahan baru di empat negara Asia Tenggara, yakni
Filipina, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Dalam sebuah pidatonya
pada pekan kedua Desember 2016, Duterte mengingatkan warganya bahwa ISIS akan
menjadi masalah bagi negara itu.
Jika ISIS tidak mampu bertahan di Aleppo
(Suriah) dan Mosul (Irak) mereka akan melarikan diri dan berangan-angan bisa
mendirikan kekhalifahan yang akan meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia dan
Brunei. Duterte kemudian mendorong rakyatnya untuk bersiap menghadapi ancaman
terorisme.
Sikap dan respons masyarakat serta kelompok
radikal di Filipina Selatan bisa dilihat sebagai indikasi ketiga. Masyarakat
Filipina Selatan terkesan siap membantu ISIS merealisasikan wilayah itu
sebagai basis. Kesiapan warga Filipina Selatan itu terindikasi dari banyaknya
kegiatan penyanderaan atau pembajakan di perairan Filipina Selatan.
Tingginya intensitas pembajakan kapal itu —
yang berujung pada permintaan uang tebusan bagi pembebasan para sandera —
mengindikasikan bahwa masyarakat setempat, khususnya kelompok Abu Sayyaf,
sedang mencari atau menggalang dana untuk menyiapkan ragam infrastruktur yang
diperlukan ISIS. Indikasi keempat adalah kembalinya puluhan simpatisan ISIS
warga negara Indonesia (WNI) ke tanah air.
Jelang akhir Oktober 2016, Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengemukakan bahwa
sebanyak 53 WNI yang pendukung jaringan terorisme ISIS di Suriah dan Irak
telah kembali ke Indonesia. Masalah ini pun telah dilaporkan oleh Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, ke Presiden
Joko Widodo (Jokowi). Namun, menurut Suhardi, masih ada ratusan WNI yang
berada di markas ISIS.
Simpatisan ISIS
Pertanyaannya adalah mereka kembali untuk apa?
Kembali untuk menjalani kehidupan normal? Atau, kembali untuk mewujudkan
rencana ISIS membangun kekhalifahan di Asia Tenggara? Pemerintah memang
memberi kesempatan bagi untuk mengikuti program deradikalisasi.
Apakah mereka tulus mengikuiti program seperti
itu, atau hanya dijadikan semacam kamuflase untuk menutup-nutupi kegiatan
mereka sebagai pendukung ISIS? Ada semacam gelagat bahwa sel-sel terorisme di
Indonesia juga memberi respons positif terhadap rencana ISIS membangun
basisnya di Asia Tenggara. Kelompok-kelompok teroris itu sudah
terang-terangan melampiaskan kebencian pada segenap jajaran Polri. Sejumlah prajurit
Polri telah menjadi target serangan.
Kelompok-kelompok itu yang diduga mendalangi
ricuh pascaaksi damai 411. Mereka menunggu polisi lengah untuk bisa merampas
senjata. Apalagi, ada WNI yang sangat dipercaya pimpinan ISIS. Sosok WNI itu
diduga mendalangi bom Sarinah. Bukan tidak mungkin, kelompok yang
merencanakan ledakan bom di Istana Negara itu juga memiliki keterkaitan
dengan WNI yang menjadi pentolan ISIS. Indikasi terbaru tentu saja yang
berkait dengan rencana makar.
Seperti diketahui, polisi telah menjadikan
tersangka terhadap sejumlah orang yang diduga merencanakan makar.
Penyelidikan polisi bahkan sudah cukup jauh, karena bisa mengidentifikasi
penyandang dana makar, termasuk pihak yang mengirim dan menerima dana itu.
Semua indikasi itu memang belum tentu saling berkait. Katakanlah satu sama
lainnya terpisah.
Namun, bisa saja semua indikasi yang
merongrong ketahanan nasional itu memang dirancang oleh sebuah kekuatan besar
yang tidak pernah diketahui oleh para perencana makar maupun kelompok-kelompok
teroris di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan anti-pemerintah atau
anti-Indonesia itu tentu sudah menyusun skenario untuk memperlemah ketahanan
nasional sambil merongrong keutuhan NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar