Vokasi
Bukan Lagi "Kelas Dua"
Ester Lince Napitupulu ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 26 Desember
2016
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ingin
meniru negara-negara maju untuk mempersiapkan tenaga kerja berdaya saing
tinggi di era global. Penguatan pendidikan kejuruan kini menjadi salah satu
prioritas. Targetnya tak hanya mencetak tenaga kerja terdidik dan terampil,
tetapi juga mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Ini relevan dengan
perekonomian Indonesia yang diprediksi menempati posisi ketujuh terbesar di
dunia pada 2030.
Saat ini, tenaga kerja Indonesia, sesuai data
Badan Pusat Statistik pada Agustus 2016, sekitar 60,24 persen berpendidikan
SMP ke bawah. Yang pendidikannya menengah sekitar 27,12 persen dan yang
lulusan perguruan tinggi sebanyak 12,24 persen. Salah satu harapan untuk
memperkuat daya saing bangsa dengan memacu mutu sumber daya manusia di level
pendidikan menengah, bertumpu pada SMK dan perguruan tinggi vokasi. Dengan
sendirinya, SMK tak lagi dipandang sebagai sekolah "kelas dua" atau
dipandang sebelah mata.
Presiden Joko Widodo menginstruksikan supaya
pendidikan vokasi dari SMK hingga politeknik direvitalisasi untuk memperkuat
daya saing bangsa. Demikian pula pelatihan-pelatihan di balai latihan kerja.
Koordinasi dari berbagai kementerian dan lembaga hingga pemerintah daerah pun
mulai dirajut agar pendidikan vokasi dapat menjadi andalan.
Peta jalan pendidikan vokasi disiapkan.
Semangatnya bukan berangkat dari apa yang disediakan institusi pendidikan
(supply). Namun, apa yang dibutuhkan dunia usaha dan industri (DUDI). Hal ini
untuk memastikan agar lulusan vokasi jangan menjadi penyumbang angka
pengangguran.
Karena itu, revitalisasi yang dijalankan harus
mengedepankan kualitas. Sebab, peningkatan mutu pendidikan vokasi bermutu
bertujuan membuat kaum muda memiliki peluang kerja yang luas di dalam dan
luar negeri, seiring berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN dan pasar global.
Selain itu, mereka juga dapat berperan lebih baik dalam pembangunan sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki.
Kemitraan dengan
industri
Isu kualitas pendidikan vokasi tak melulu
berkutat pada masalah klasik seperti layanan pendidikan seperti kurikulum,
guru, serta sarana dan prasarana. Terkait dengan kemitraan pendidikan vokasi
dengan DUDI, juga ada standar yang harus dipenuhi.
Pendidikan vokasi yang menekankan keterampilan
dengan porsi praktik kerja yang lebih besar, sekitar 60-70 persen
dibandingkan teori, harus menjadi standar di semua SMK dan politeknik. Namun,
dalam realitasnya banyak SMK dan politeknik yang tidak mampu memenuhi standar
karena keterbatasan biaya.
Tudingan bahwa lembaga pendidikan menghasilkan
sumber daya manusia alias tenaga kerja yang tidak sesuai kebutuhan, yang
kompetensinya belum sesuai dengan standar DUDI, masih kental mengemuka. Hal
ini karena konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan) belum
sepenuhnya dipahami oleh institusi pendidikan dan industri.
Berkaca pada pengalaman Jerman, dual system
pendidikan vokasi yang merupakan jalinan erat sekolah-DUDI membuat lulusan
terserap dan terstandar. Indonesia dapat mengembangkan sistemnya sendiri yang
tepat, tetapi memastikan keterkaitan pendidikan dengan kebutuhan pembangunan
dan DUDI berjalan beriringan.
Guna menyambungkan pendidikan vokasi ke DUDI,
Kementerian Perindustrian juga dilibatkan. Demikian pula peran Kementerian
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mendorong perusahaan BUMN untuk
menyediakan peluang magang dan perekrutan lulusan SMK.
Tak ketinggalan Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia untuk menyumbangkan pemikiran. Bagi Kadin, pengembangan SDM
dari sistem pendidikan harus didesain untuk mengisi kebutuhan industri yang
saat ini ada dan industri yang tumbuh di masa depan. Tujuannya membuat
kebutuhan tenaga kerja dalam rantai suplai industri bisa dipenuhi dan mudah
didapatkan. Kesenjangan antara lulusan dan pekerjaan pun dapat diminimalkan.
"Ketidaknyambungan" hasil pendidikan
vokasi dengan kebutuhan tenaga kerja terjadi akibat ketiadaan sumber
informasi pasar kerja formal yang baik, yang menggambarkan industri yang
tumbuh dan keahlian yang dibutuhkan, yang seharusnya disediakan Kementerian
Ketenagakerjaan. Hal itu menjadi persoalan serius. Penyediaan tenaga kerja
oleh lembaga pendidikan tidak nyambung dengan perkembangan dunia usaha dan
pembangunan ekonomi bangsa.
Ketersediaan informasi kebutuhan tenaga kerja
secara nasional ini untuk mendukung penguatan pendidikan vokasi diserahkan
kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Tanpa acuan ini, sulit untuk bisa
memastikan kebutuhan pekerja apakah berpendidikan vokasi atau sarjana.
Apalagi, gelar sarjana akademik dipandang
lebih bergengsi daripada diploma. Padahal, diploma IV diakui setara sarjana.
Dan, perguruan tinggi vokasi pun bisa membuka program magister dan doktor
terapan.
Paradigma soal lulusan vokasi yang dianggap
sekadar tukang sehingga dipandang kelas dua harus berubah. Pihak industri
juga perlu dididik untuk memahami kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan
sehingga tidak selalu merekrut sarjana ketika yang dibutuhkan cukup SMK
ataupun politeknik.
Kompetensi yang berstandar industri kini
menjadi fokus SMK dan PT vokasi. Sertifikasi kompetensi hingga standar
internasional pun dikejar demi membuka peluang kerja berskala global.
Tidak terarah
Selain soal kualitas, kejelasan arah
pendidikan vokasi juga menjadi persoalan. Pembangunan bangsa saat ini,
misalnya, tidak lagi memunggungi laut dan memperkuat kemandirian bangsa
dengan tidak mengandalkan impor hasil-hasil pertanian. Namun, bidang ilmu dan
kompetensi keahlian belum sinkron dengan arah pembangunan.
Ke depan, industri manufaktur di dalam negeri
akan berkembang. Pertumbuhan ekonomi utamanya dari sektor industri dan jasa.
Hal ini berarti kebutuhan tenaga kerja bidang sains dan teknologi meningkat.
Namun, ini belum tecermin dalam peningkatan program keahlian di SMK ataupun
politeknik.
Perkembangan SMK dengan membalikkan rasionya
menjadi lebih besar daripada jumlah SMA selama lebih dari satu dekade (sejak
2005) ini berjalan tanpa arah. Kebijakan ini malah menyumbang angka
pengangguran tertinggi dari hasil pendidikan di SMK. Dunia pendidikan yang
menyediakan lulusan siap kerja berjalan sendiri dalam memperkirakan bidang
keahlian yang dibutuhkan oleh pembangunan dan masyarakat.
Jika mengacu pada potensi ekonomi Indonesia
untuk sejahtera, misalnya, bidang pertanian yang butuh tenaga kerja level SMK
445.792 orang, tampak bahwa lulusan SMK saat ini mencapai 52.319 orang.
Permintaan dunia pariwisata dari 707.600 orang bisa dipenuhi oleh lulusan SMK
sebanyak 82.171 orang. Yang paling jomplang tampak pada bidang maritim atau
perikanan dan kelautan yang memiliki peluang kerja sekitar 3,3 juta orang,
tetapi SMK hanya mempunyai sekitar 17.000 lulusan.
Sebaliknya, bidang bisnis dan manajemen
berpeluang menciptakan jumlah penganggur dua kali lipat daripada peluang
kerja yang ada. Peluang kerja yang hanya tersedia untuk 119.295 orang,
sementara jumlah lulusan SMK mencapai 348.954 orang.
Meskipun masih terbuka peluang kerja di bidang
teknologi informasi dan komunikasi (TIK), jika tidak terkendali, nasibnya
bisa seperti bidang bisnis dan manajemen. Sebab, SMK hingga di daerah pelosok
pun berlomba-lomba membuka bidang keahlian TIK. Arah pengembangan kompetensi
keahlian yang jelas dapat menyelamatkan lulusan vokasi dari ancaman status
pengangguran. Jangan sampai mereka bekerja tak sesuai bidangnya. Tiap tahun
ada sekitar 1,3 juta lulusan SMK dan politeknik. Jumlahnya meningkat tiap
tahun.
Di jenjang pendidikan tinggi, data dari
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti)
menunjukkan dalam waktu lebih kurang 22 tahun, sejak politeknik pertama
berdiri pada 1995, dari 43 politeknik, hanya 12 yang memiliki program studi
terarah atau spesifik. Politeknik itu antara lain Politeknik Manufaktur
Negeri Bandung (Jawa Barat), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (Jawa
Timur), Politeknik Maritim Negeri Indonesia di Semarang (Jawa Tengah), dan
Politeknik Pertanian Negeri Pangkep (Sulawesi Selatan).
Mulai tahun 2017, Kemenristek dan Dikti fokus
untuk merevitalisasi 12 politeknik. Pilihan ini mengacu pada pengalaman
banyak negara maju yang memiliki pendidikan vokasi yang baik. Bagi Indonesia,
penguatan politeknik bertujuan menjamin tersedianya tenaga kerja berkualitas
dan mendorong inovasi.
Politeknik yang memiliki keunggulan khusus
misalnya bidang pertanian, perkapalan, dan manufaktur dapat melengkapi diri
program studi nonteknik bersifat pendukung, seperti program studi manajemen.
Politeknik diimbau memiliki program studi spesifik dengan skema pembelajaran
70 persen praktik dan 30 persen teori. Secara bertahap, 50 persen pengajar di
setiap politeknik harus berasal dari kalangan industri.
Demi menjamin lulusan vokasi yang tidak
sekadar "tukang", perlu penjaminan mutu yang disepakati bersama
agar sekolah mampu menyelenggarakan pembelajaran yang baik. Dengan demikian,
peserta didik program vokasi menguasai ilmu pengetahuan dasar, seperti
matematika, sains, teknologi informasi, dan komunikasi, serta bahasa. Selain
itu, juga perlu peningkatan kecerdasan kognitif dan kemampuan berpikir
kritis. Demikian pula dengan kompetensi sosial, mulai dari komunikasi,
negosiasi, kerja tim, kepemimpinan, pemecahan masalah, etos kerja, karakter,
hingga kewirausahaan.
Jika komitmen itu dijalankan secara fokus,
Indonesia diyakini mampu menyiapkan tenaga kerja berdaya saing. Keterbukaan
pasar kerja global pun tak lagi menjadi ancaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar