Fatwa
Kapolri dan Fatwa MUI
Moh Mahfud MD ; Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN);
Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 24 Desember
2016
Kamis, 22 Desember2016, dua hari yang lalu,
selama seharian saya berdiskusi melalui Twitter dengan sangat banyak netizen
tentang fatwa. Diskusi tersebut dipicu oleh pernyataan Kapolri Tito Karnavian
bahwa fatwa MUI bukan hukum positif.
Pekan lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memang mengeluarkan Fatwa No. 56 Tahun 2016 yang menyatakan ”haram” bagi kaum
muslimin memakai atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal.
Diberitakan, ada dua kapolres yang merespons dengan cepat dan bermaksud
memberlakukan Fatwa MUI tersebut di lapangan.
Namun, Kapolri Tito Karnavian menegur keduanya
dan menyatakan bahwa Polri tidak bisa menegakkan fatwa tersebut dalam
posisinya sebagai penegak hukum, karena fatwa bukanlah hukum positif. Atas
pertanyaan seorang netizen, saya mengatakan bahwa ”Kapolri benar, fatwa bukan
hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai
aparat penegak hukum”.
Ternyata banyak netizen yang belum paham arti
fatwa dan arti hukum, bahkan tidak paham perbedaan antara norma hukum dan norma
yang bukan hukum. Akun Twitter saya pun dibanjiri berbagai respons. Selain
yang sependapat dengan saya, ada juga netizen yang tidak setuju dan
menyatakan fatwa MUI adalah hukum Islam yang mengikat bagi umat Islam.
Bahkan ada juga yang mempertanyakan keislaman
saya dengan tudingan, saya anti-MUI atau antihukum Islam. Saya sendiri tak
terganggu sedikit pun dengan tudingan tersebut. Pendapat saya bahwa fatwa
bukan hukum positif dan tidak mengikat merupakan dalil yang tidak perlu
persetujuan dari siapa pun.
Kalau ada yang tidak setuju pun, dalil itu
tetap berlaku: fatwa tidak mengikat. Jangankan hanya fatwa MUI, fatwa
Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembaga yudikatif tertinggi pun tidak
mengikat, tidak harus diikuti. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu
sendiri.
Soal identitas keislaman, saya nyatakan bahwa
justru karena saya Islam maka saya berpendirian bahwa fatwa keagamaan tidak
mengikat dalam arti hukum, boleh diikuti dan boleh tidak. Saya juga sama
sekali tidak anti-MUI karena saya tidak termasuk orang ikut berteriak agar
MUI dibubarkan.
Bagi saya, MUI sangat penting keberadaannya
sebagai pembimbing umat yang sekaligus menjadi jembatan antara umat Islam dan
pemerintah. Saya menyatakan pendapat saya tentang fatwa sebagai pembelajar
hukum, termasuk hukum Islam. Oleh sebab itu, masalah kedudukan fatwa yang
tidak mengikat itu bisa saya jelaskan baik dari hukum nasional maupun dari
hukum Islam sendiri.
Dari sudut hukum nasional fatwa itu, meskipun
bersisi fatwa tentang hukum Islam, tetap tidak mengikat. Dalam hukum
nasional, yang mengikat adalah norma yang sudah dijadikan norma hukum, yakni
ditetapkan keberlakuannya oleh negara. Di dalam masyarakat, banyak sekali
norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku, tetapi tidak semua norma
menjadi hukum.
Pada hari pertama mahasiswa belajar di fakultas
hukum, misalnya, yang diajarkan adalah doktrin dan dalil utama bahwa di dalam
masyarakat ada empat macam norma atau kaidah, yaitu norma keagamaan, norma
kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum. Norma yang mengikat dan bisa
dipaksakan keberlakuannya melalui aparat negara adalah norma hukum, yakni
norma yang diberlakukan secara resmi oleh negara melalui pemberlakuan oleh
lembaga yang berwenang, misalnya, dijadikan UU atau perda oleh lembaga
legislatif.
Orang memerkosa, misalnya, harus diadili dan
dihukum karena yang bersangkutan melanggar norma yang sudah dijadikan UU,
bukan karena melanggar hukum agama. Namun, orang melanggar norma kesopanan
seperti hanya memakai kaus ketika menghadap rektor atau melanggar norma agama
seperti tidak mau berpuasa bulan Ramadan tidaklah dapat dihukum karena
hal-hal tersebut bukan norma hukum.
Kalau begitu, bisakah norma agama dijadikan
hukum? Tentu saja bisa, sepanjang disahkan sebagai hukum oleh lembaga yang
berwenang, misalnya dijadikan UU atau diberi bentuk peraturan perundang-undangan
lainnya dan bukan hanya berbentuk fatwa. Dalam bidang keperdataan, misalnya,
sudah ada norma agama Islam yang dijadikan hukum seperti di bidang perkawinan,
pewarisan, dan ekonomi syariah yang bisa ditegakkan melalui kekuatan negara.
Hukum pidana Islam (jinayat) yang mengenal qishas
(sanksi hukuman yang sama dengan pidana yang dilakukan) atau had (jenis hukuman tertentu seperti
cambuk dan potong tangan) sejatinya bukan hukum di Indonesia karena hal
tersebut tidak diberlakukan. Jadi, benarlah pendapat hukum atau fatwa Kapolri
bahwa fatwa MUI tentang atribut Natal tak bisa ditegakkan oleh negara karena
ia, dalam konteks Indonesia, bukanlah hukum positif.
Lebih dari itu, di kalangan internal umat
Islam sendiri sebenarnya fatwa itu juga tidak mengikat karena ia hanya
pendapat hukum dan belum tentu sama dengan hukum itu sendiri. Itulah sebabnya
setiap ulama bisa membuat fatwanya sendiri-sendiri.
Hasil penelitian dosen UIN Jakarta Rumadi yang
sudah diterbitkan dalam bentuk buku, ”Fatwa
Hubungan Antar Agama di Indonesia” menguraikan adanya beberapa fatwa yang
berbeda dalam isu yang sama antara tiga lembaga yakni MUI (Komisi Fatwa), NU
(Lembaga Bahtsul Masail), dan Muhammadiyah (Majelis Tarjih).
Dalam hal mengucapkan selamat Natal, pemimpin
perempuan, atau bunga bank, misalnya, ketiga lembaga tersebut mengeluarkan
fatwa yang berbeda-beda. Keberbedaan tersebut bisa saja terjadi karena fatwa
itu hanyalah pendapat hukum dan bukan hukum itu sendiri.
Makanya fatwa tidak mengikat, kita boleh ikut
salah satunya, boleh juga tidak diikuti ketiganya karena kita mengikuti fatwa
yang lain lagi. Kalau begitu, apakah fatwa itu penting? Tentu penting sebagai
rujukan karena fatwa itu hanya boleh dibuat oleh orang atau lembaga yang
berkompeten dalam bidang agama.
Apakah fatwa itu baik? Tentu pada umumnya
fatwa-fatwa itu baik karena bisa menjadi tuntunan bagi umat yang membutuhkan
bimbingan. Tetapi terlepas dari soal penting dan baik, fatwa bukanlah hukum
dan penegakannya tidak bisa menggunakan aparatur hukum negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar