Merespons
Ketidakpastian Global 2017
Bambang Soesatyo ; Ketua
Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN SINDO, 29 Desember
2016
Jelang
berakhir 2016, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China sudah terperangkap
dalam benih-benih konflik. Eskalasi ketidakpastian global pun tak terelakan
sepanjang 2017.
Sudah
barang tentu ketidakpastian global yang tereskalasi itu akan berdampak ke Indonesia.
Namun, jika mampu mewujudkan kepastian politik dan tertib hukum, Indonesia
niscaya bisa menarik manfaat dari ketidakpastian global itu. Eskalasi
ketidakpastian global bersumbu pada faktor Amerika Serikat yang terbelah
pascapemilihan presiden November 2016, yang dimenangkan kandidat Partai
Republik, Donald Trump.
Faktor
lain adalah perilaku kepemimpinan Trump sendiri. Kemenangan Trump yang
mengejutkan itu tak hanya membelah AS, tetapi juga menghadirkan sejumlah
persoalan baru, baik di dalam negeri AS maupunbagi dunia pada umumnya.
Periode transisi pemerintahan dari Presiden Barack Obama ke rezim Trump
diwarnai suasana tidak kondusif di AS.
Trump
harus memetik buah dari tema-tema rasis yang digaungkannya selama periode
kampanye. Kemenangannya membangkitkan sentimen supremasi kulit putih,
kemarahan warga kulit hitam, ujaran kebencian kepada komunitas Yahudi,
muslim, dan warga imigran, hingga ancaman sejumlah perusahaan terkemuka AS
untuk hengkang dari negeri itu.
Rangkaian
persoalan ini bagaikan api dalam sekam karena belum tuntas penyelesaiannya.
Persoalan lain yang cukup sensitif dimunculkan komunitas intelijen. Sensitif
karena mengarah pada upaya mereduksi legitimasi kemenangan Trump. CIA (dinas
intelijen AS) sudah mengungkap sepak terjang Rusia mengintervensi pemilu 2016
guna membantu kemenangan Trump.
Persoalan
ini menjadi makin sensitif karena para pembantu Obama di Gedung Putih dan CIA
yakin Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi otak di balik aksi meretas ribuan
e-mail Komite Nasional Partai Demokrat dan Partai Republik. Hanya e-mail
petinggi Partai Demokrat yang diungkap ke publik oleh WikiLeaks, termasuk
e-mail ketua tim kampanye Hillary Clinton.
Komunitas
intelijen menuduh Donald Trump tahu betul tentang aksi peretasan e-mail oleh
intelijen Rusia. Maka, Trump pun mengecam Gedung Putih dan CIA. Namun,
masalahnya adalah tuduhan kepada Rusia dan Putin diduga sudah menjadi
keputusan bulat CIA sebagai institusi, bukan orang per orang atau sekelompok
intelijen.
Hasil
temuan CIA itu bahkan sudah dipresentasikan secara tertutup kepada sejumlah
anggota senat AS. Seorang pejabat AS pun sudah mengeluarkan ancaman bahwa
pada waktunya nanti Rusia akan menerima balasan. Tentu saja isu ini tidak
hanya membuat Trump tidak nyaman, tetapi juga berpotensi merusak hubunganAS-Rusia.
Sebesar apa skala kerusakan hubungan dua negara superpower itu akan terlihat
pada 2017.
Coba
mengalihkan perhatian dari isu di dalam negeri, Trump mengusik para pemimpin
China di Beijing. China melancarkan protes keras karena Trump melakukan
pembicaraan via telepon dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Tidak terima
dengan protes Beijing, Trump membuat pernyataan tentang kemungkinan AS
mengakhiri Kebijakan Satu China.
Jika
rezim Trump akhirnya benar-benar mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara
terpisah dari China daratan, Beijing sudah pasti tidak akan tinggal diam.
Masyarakat internasional juga masih harus menunggu kejelasan sikap Trump
terhadap progres pengembangan senjata nuklir milik Iran dan Korea Utara.
Sikap rezim Trump terhadap dua negara itu sedikit-banyak akan berkontribusi
pada ketidakpastian global sepanjang 2017. Sesuai jadwal, Trump akan diambil
sumpahnya sebagai presiden AS pada 20 Januari 2017.
Itulah
faktor-faktor utama yang diperkirakan akan mengeskalasi ketidakpastian global
sepanjang 2017. Karena perilaku Trump sudah memerangkap AS, Rusia, dan China
dalam benih konflik, Indonesia tentu harus mengamati dengan seksama progres
dari persoalan- persoalan yang menyelimuti tiga negara kekuatan utama itu.
Tertib Hukum
Sebab,
entah besar atau kecil, dampaknya sudah pasti akan dirasakan oleh Indonesia
juga. Memang, untuk Indonesia dan banyak negara lain, dampak langsung
ketidakpastian global bukan sesuatu yang baru. Biasanya ditandai dengan
fluktuasi nilai tukar valuta, tinggi-rendah suku bunga, arus keluar-masuk
dana asing, fluktuasi harga energi, khususnya minyak, hingga arus investasi
langsung.
Untuk
mereduksi dampak ketidakpastian global itu, Pemerintah Indonesia hendaknya
tetap menjaga hubungan baik dengan tiga negara itu. Sudah ada landasan untuk
menjaga hubungan baik itu karena Indonesia bersama AS, China, dan Rusia sudah
terikat oleh sejumlah program kerja sama di sejumlah bidang.
Khusus
dengan China, Indonesia harus mempertahankan sikap dan pendirian terkait
potensi konflik di Laut China Selatan. Tegas mempertahankan perairan
kepulauan Natuna sebagai bagian tak terpisah dari kedaulatan NKRI, sambil
tetap menjaga hubungan baik dengan Beijing.
Dampak
ekonomis ketidakpastian global itu, sebagaimana lazimnya, akan ditangani
dengan pendekatan atau penyesuaian kebijakan ekonomi. Improvisasi
kebijakan-kebijakan seperti itu tentu menuntut suasana dalam negeri yang
kondusif. Dengan begitu, untuk mengantisipasi ekses dari eskalasi
ketidakpastian global sepanjang 2017 itu, tantangan dan beban persoalan yang
akan dihadapi sudah cukup jelas.
Persoalan-persoalan
ekonomi akan direspons oleh para menteri ekonomi di Kabinet Kerja bersama
Bank Indonesia (BI). Dan, untuk menjaga kondusivitas dalam negeri, menjadi
kewajiban Polri dan institusi penegak hukum lainnya menjaga dan memelihara
ketertiban umum.
Harus
dipastikan bahwa agenda nasional seperti pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak di lebih dari 100 daerah pemilihan pada Februari 2017 berjalan
tertib dan damai. Perhatian khusus memang harus diberikan pada agenda
Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.
Proses
menuju Pilgub Jakarta menjadi agak panas karena ada kasus dugaan penistaan
agama yang dilakukan kandidat petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Apa pun
reaksi publik atas putusan majelis hakim yang menyidangkan kasus ini harus
diantisipasi dan dikelola dengan bijaksana oleh Polri.
Aksi
pengerahan massa untuk merespons vonis majelis hakim kasus Ahok sebaiknya
tidak lagi dilakukan. Karena, pengerahan massa ke pusat pemerintahan dan
jantung bisnis Jakarta tidak hanya menimbulkan rasa takut, tetapi juga
membuat ibu kota negara menjadi tidak produktif sebab masyarakat enggan
melaksanakan kegiatan produktif mereka.
Tidak
kalah pentingnya adalah terus mengamati pergerakan terbaru dari kelompok
militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pascakekalahan di Aleppo
Timur, Suriah. Jika pasukan Suriah dan Rusia terus menggempur, tidak tertutup
kemungkinan pasukan ISIS akankeluardari kawasanitu.
Dengan
begitu, pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Presiden
Filipina Rodrigo Duterte menjadi relevan untuk digarisbawahi, sekaligus
faktor pendorong meningkatkan kewaspadaan. Panglima TNI dan Presiden Filipina
sudah mengungkap rencana ISIS membangun basis di Filipina Selatan untuk
mewujudkan kekhalifahan baru di Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Brunei
Darussalam.
Rencana
ISIS itu relevan untuk dikaitkan dengan kembalinya puluhan simpatisan ISIS
warga negara Indonesia (WNI) ke Tanah Air. Pertanyaannya, mereka kembali
untuk apa? Kembali untuk menjalani kehidupan normal? Atau, kembali untuk
mewujudkan rencana ISIS membangun kekhalifahan di Asia Tenggara?
Maka,
belajar dari kegagalan Pemerintah Irak dan Suriah melumpuhkan ISIS,
Pemerintah Indonesia patut memberi wewenang penuh dan keleluasaan kepada TNI
dan Polri untuk mempersempit ruang gerak para simpatisan ISIS di Indonesia.
Apalagi, ada semacam gelagat bahwa sel-sel terorisme di Indonesia juga
memberi respons positif terhadap rencana ISIS membangun basisnya di Asia
Tenggara.
Kelompok-kelompok
teroris itu sudah terang-terangan melampiaskan kebencian pada segenap jajaran
Polri. Sejumlah prajurit Polri telah menjadi target serangan. Untuk
memperkecil atau melumpuhkan potensi ancaman itu, perlakuan hukum terhadap
para terduga dan tersangka teroris harus ekstrategas.
Termasuk
pada mereka yang diduga sebagai simpatisan ISIS di dalam negeri. Para
simpatisan ISIS harus dilumpuhkan agar mereka tidak memiliki peluang
mewujudkan pembangunan basis ISIS di Asia Tenggara. Faktor lain yang juga
akan meningkatkan kondusivitas di dalam negeri adalah melihat progres dari
program pemerintah memberangus pungutan liar (pungli).
Presiden
Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87/2016
sebagai payung hukum bagi Satuan Tugas Sapu Bersih (Satgas Saber) Pungli
melaksanakan tugasnya. Kerja memberangus pungli tidak boleh terhenti, bahkan
harus berkesinambungan. Kerja ini jangan sampai berujung sia-sia seperti
sebelumnya. Pemberantasan pungli harus berhasil dan menghadirkan manfaat
sebesar- besarnya bagi rakyat di semua pelosok negeri.
Semua
elemen masyarakat mendukung dan mengapresiasi kesungguhan pemerintah
memberantas pungli. Bagi masyarakat sebagai pelanggan ragam jasa dari
pemerintah pusat dan daerah, keberhasilan Satgas Saber Pungli hanya diukur
dari dua indikator. Pertama, berkurangnya praktik pungli pada semua lini
layanan publik.
Kedua,
tumbuhnya efek jera dari pegawai negeri sipil dan pegawai daerah melakukan
pungli. Upaya mengurangi praktik pungli tentu saja bergantung pada dua hal,
yakni efektivitas kerja Satgas Saber Pungi, dan kesungguhan pengawas internal
pada setiap institusi (inspektorat jenderal) meningkatkan efektivitas
pengawasan.
Dan,
jangan lupa bahwa praktik pungli nyaris sudah menjadi kebiasaan tak tertulis.
Karena itu, tidak realistis jika diasumsikan pungli bisa diberantas dalam
waktu singkat. Bisa diprediksi bahwa Satgas Saber Pungli memerlukan kerja
tahunan untuk mewujudkan keberhasilan yang maksimal.
Lebih
dari itu, kerja memberantas pungli tidak akan bisa mencapai hasil yang
diharapkan jika dilakoni dengan sekadar menangkap dan menjatuhkan sanksi ala
kadarnya kepada oknum pelaku pungli. Maka, pelaku pungli yang terbukti harus
diganjar dengan sanksi keras sebab hasil maksimal dari pemberantasan pungli
ditentukan oleh efek jera.
Para
petugas pelayan publik harus dibuat takut atau jera untuk melakukan pungli.
Dan, efek jera ditentukanolehberapaberatsanksi yang dijatuhkan terhadap oknum
yang terbukti melakukan pungli. Kalau ukuran sanksi terbilang ringan, pungli
akan sulit dihilangkan, seperti korupsi. Keberhasilan mereduksi praktik
pungli akan menampilkan wajah birokrasi Indonesia yang ramah dan produktif.
Pada
gilirannya, investor asing dan lokal akan merasa nyaman dan berani
merealisasikan investasi. Presiden sudah berhasil mempromosikan potensi
investasi di berbagai negara dan meraih begitu banyak komitmen investasi
asing di dalam negeri. Jika bisa menjaga stabilitas politik dan tertib hukum,
bukan tidak mungkin Indonesia justru bisa mendapatkan manfaat berupa arus
masuk investasi langsung di tengah ketidakpastian global sepanjang 2017.
Selamat Tahun Baru 2017. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar