Tol
Laut Dibenahi
M Clara Wresti ; Wartawan
KOMPAS
|
KOMPAS, 21 Desember
2016
Sejak masa kampanye pemilihan presiden,
Presiden Joko Widodo sudah menetapkan tidak akan lagi memunggungi laut.
Kemudian diputuskan, Program Tol Laut jadi program unggulan untuk mengurangi
disparitas harga di Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur.
Tol laut adalah distribusi kebutuhan pokok
melalui jalur laut dengan jadwal dan rute tertentu. Diharapkan dengan pasokan
bahan baku yang cukup dan reguler, harga-harga di Indonesia bagian timur akan
sama dengan harga- harga di Indonesia bagian barat.
Untuk tahap awal, PT Pelni (Persero) diminta
melaksanakan program itu dengan enam trayek, dari Indonesia bagian barat ke
Indonesia bagian timur. Semula pelabuhan keberangkatan adalah Tanjung Priok
(Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya) menuju Maluku, Papua, Sulawesi, dan
Natuna.
Tidak semua barang boleh diangkut oleh kapal
tol laut. Barang yang boleh dibawa hanya barang kebutuhan pokok hasil
pertanian, seperti beras, kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe, cabai,
dan bawang merah. Selain itu juga dibawa gula, minyak goreng, dan tepung
terigu.
Untuk produk peternakan dan perikanan, yang
dibawa adalah daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar,
seperti bandeng, kembung, tongkol/tuna/cakalang. Sementara barang penting
yang dapat diangkut oleh kapal tol laut adalah benih padi, benih jagung,
benih kedelai, pupuk, papan tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja
ringan.
Biaya pengiriman barang dengan tol laut sangat
murah. Untuk trayek Jakarta-Papua dengan peti kemas ukuran 6 meter hanya Rp 7
juta-Rp 8 juta per boks. Bandingkan dengan tarif normal mencapai Rp 17 juta
per boks.
Setelah hampir dua tahun berjalan, program ini
dievaluasi dan diketahui ada dua trayek yang tidak efisien, yakni trayek
Tanjung Priok-Makassar-Manokwari-Wasior-Nabire-Serui-Biak (PP), dan trayek
Tanjung Priok- Tarempa-Natuna. Kedua trayek ini dinilai tidak efisien karena
rute Tanjung Priok-Makassar sudah menjadi rute komersial, yaitu banyak kapal
swasta yang sudah melayani. Akibatnya, tol laut rute Tanjung Priok-Makassar
yang mendapat subsidi dari pemerintah menjadi pesaing bagi pelayaran swasta
yang harus berjuang dengan modal sendiri.
Akhirnya trayek itu diubah menjadi Makassar-Manokwari-
Wasior-Nabire-Serui-Biak. Adapun trayek Tanjung Priok-Tarempa-Natuna diubah
menjadi Pontianak-Natuna-Tarempa (PP) karena rute ini juga bersinggungan
dengan rute komersial Jakarta-Pontianak.
Praktik monopoli
Dari hasil evaluasi dan laporan daerah, juga
diketahui bahwa di Waingapu, Nusa Tenggara Timur, terjadi praktik monopoli
yang mengakibatkan harga barang di Kabupaten Sumba Timur tidak turun meskipun
sudah ada tol laut. Indikasinya, ada pihak yang memonopoli penggunaan jasa
angkutan barang lewat tol laut. Atau ada yang memborong semua barang sehingga
dia menguasai barang tersebut.
Adanya praktik monopoli ini tentu merugikan
negara karena subsidi yang diberikan ternyata hanya dinikmati pihak tertentu
sehingga harga barang di masyarakat tetap tinggi. Adanya praktik monopoli itu
tentu harus dilihat lebih jauh, harus diurai, di mana letak kelemahannya,
kemudian diperbaiki.
Di samping berupaya mencegah atau
menghilangkan praktik-praktik yang tidak baik, pemerintah juga terus membuka
tiga trayek baru dan dua trayek silang (crossing). Kali ini, trayek baru itu
tidak hanya diberikan kepada PT Pelni, tetapi juga kepada pelayaran swasta.
Pemenang tender akan mendapatkan kepastian pengangkutan hingga minimal tiga
tahun agar dia bisa melakukan investasi. Jika hanya satu tahun, pengusaha
akan takut berinvestasi sehingga kapal yang digunakan adalah kapal-kapal yang
sudah tidak andal lagi.
Diajaknya pelayaran swasta dalam tol laut ini
tentu saja membantu bisnis pelayaran yang sedang lesu. Ribuan kapal saat ini
menganggur setelah bisnis komoditas menurun drastis.
Program "Rumah
Kita"
Upaya lain mencegah praktik yang tidak sehat
adalah membangun "Rumah Kita", semacam gudang yang mengelola
barang-barang yang diangkut dengan kapal laut. Menurut rencana, Kementerian
Perhubungan akan bekerja sama dengan Kementerian badan usaha milik negara
untuk membangun 10 Rumah Kita di sejumlah tempat. Rumah Kita ini tidak hanya
menampung barang-barang yang datang dari Indonesia bagian barat, tetapi juga
menampung barang-barang dari Indonesia bagian timur yang akan diangkut ke
wilayah barat.
Misalnya ikan di daerah Indonesia timur. Di
sekeliling Rumah Kita bisa dibangun gudang berpendingin (cold storage) untuk menyimpan ikan tangkapan nelayan yang akan
dibawa ke Indonesia bagian barat. Dengan demikian, diharapkan Rumah Kita juga
menjadi pendorong bagi pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru. Rumah Kita
juga bisa menjadi gudang untuk menyimpan barang-barang kebutuhan pokok
cadangan sehingga harga tetap stabil dan inflasi terjaga.
Selain itu, Rumah Kita juga bisa menjadi
parameter pencapaian tol laut. Jika keberadaan tol laut dan Rumah Kita
ternyata berhasil meningkatkan konektivitas dan menurunkan biaya logistik,
sehingga disparitas harga menjadi rendah, maka program unggulan pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla ini berhasil.
Namun, program ini tidak akan berhasil jika
tidak didukung masyarakat. Hal ini karena masyarakat yang ingin terlibat
dalam program ini tidak tahu harus mencari informasi di mana. Hingga kini,
pemerintah masih menyosialisasikan program ini di kalangan pemerintah dan
media. Sementara masyarakat dan pelaku usaha swasta hingga sejauh ini mereka
masih belum banyak yang tahu: berapa biaya, kapan jadwal keberangkatan kapal,
berapa luas kapasitas muat kapal, dan lainnya.
Pemerintah harus lebih gencar
menyosialisasikan ke komunitas- komunitas terkait dengan tol laut dan Rumah
Kita. Sebutlah seperti perusahaan pelayaran, petani dan pemasok produk
pertanian, bahan hasil industri, serta bahan pokok hasil peternakan dan
perikanan. Dengan sosialisasi, niscaya masyarakat akan mendukung. Apalagi
ongkos angkutnya lebih murah dibandingkan dengan tarif normal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar