Piknik
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
|
TEMPO.CO, 17 Desember
2016
Gemuruh sorak menggema di Stadion Pakansari
Cibinong menyambut kemenangan tim nasional sepak bola Indonesia melawan
Thailand. Banyak yang berteriak "hidup Indonesia". Di lapangan para
pemain ceria, ada Rizky Rizaldi Pora dari Ternate, ada Manahati Lestusen dari
Ambon, ada Boaz Solossa dari Sorong, ada Ferdinand Alfred Sinaga dari
Bengkulu. Ada lagi yang datang dari Palembang, Balikpapan, dan tentu ada yang
dari Jawa.
Indonesia begitu luas. Dengan mengeja
namanya saja, pemain tim nasional datang dari berbagai daerah, bahkan dari
beragam agama soal agama ini seharusnya tidak ditulis. Tiga puluh ribu
penonton di stadion dan puluhan ribu lagi yang tak bisa masuk stadion tapi
bisa mendapatkan roti, eh bukan, bakso gratis tak menghiraukan perbedaan itu.
Indonesia adalah kita, begitu slogan terbaca. Kicauan di media sosial
berhamburan memberi selamat, dari presiden, wakil presiden, menteri, pimpinan
parlemen, semua memuji tim yang anggotanya beragam ini.
Setelah stadion sepi? Tak ada lagi
kebanggaan yang sama. Kita terkotak-kotak kembali. Orang mudah mencela orang
lain, tak peduli itu kawan lamanya, kalau beda dukungan calon gubernur,
misalnya. Apalagi ditambah dengan beda agama. Kata-kata pun sangat tak sopan.
Kebencian dipelihara. Apa pun yang dilakukan orang lain selalu salah,
termasuk menyalahkan aparat. Polisi menangkap teroris yang belum meledakkan
bom disebut pengalihan isu. Bom meledak, polisi kecolongan.
Mungkin kita perlu banyak menggelar atau
terlibat dalam turnamen sepak bola internasional. Juga mengirim atlet-atlet
berprestasi lainnya, seperti bulu tangkis. Terbukti saat medali emas
Olimpiade diraih pemain bulu tangkis, kita pun sempat bangga sebagai bangsa
tanpa mempersoalkan dari mana asal pemain itu dan apa keyakinannya. Indonesia
adalah kita yang majemuk.
Lewat sepak bola atau bulu tangkis atau
mungkin prestasi anak bangsa yang lain, kita bisa bersatu dan menghargai
kebinekaan. Kita bisa melupakan hal-hal yang seharusnya tidak perlu
dipermasalahkan yang menyangkut perbedaan, baik dalam masalah budaya,
keyakinan atau apa pun. Apakah perlu kita ungkit kembali pemakaian atribut
Santa menjelang Natal, misalnya? Atribut itu banyak dipakai karyawan supermaket
untuk menarik pelanggan sambil menawarkan diskon Natal. Sepanjang tak ada
pemaksaan, apalagi karyawan pasar modern itu melakukan dengan senang hati,
dapat bonus pula kalau target penjualan tercapai, apa ada yang salah? Toh,
menjelang Lebaran, mereka juga memakai kerudung dan mal-mal dihias ketupat di
setiap sudut. Ketupat Lebaran yang cara menganyamnya warisan dari budaya
Hindu di era Majapahit. Apa yang salah kalau itu cuma atribut yang tidak
berkaitan erat dengan akidah? Toh, diskonnya diterima oleh siapa pun yang
berbelanja, tak diperiksa agamanya apa.
Mungkin kita perlu lebih banyak menonton
pertandingan olahraga, apalagi jika tim kita yang berlaga. Atau istilah anak
muda sekarang, kita perlu lebih banyak piknik. Selama ini kita terkurung di
kelompok yang sempit. Cobalah piknik mencari angin di semesta yang luas. Kita
punya berbagai budaya di Nusantara, tak bisa kita seragamkan dengan satu
budaya saja. Kita warisi budaya itu dari leluhur yang sangat menghormati
keberagaman. Wali Songo menyebarkan Islam dengan budaya wayang, kenapa patung
tokoh wayang harus kita robohkan sekarang? Sunan Kudus merawat candi Hindu
untuk dipakai menara masjid, kenapa sekarang kita tidak meneladani perbedaan
itu?
Mari kita lebih banyak piknik untuk
melapangkan hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar