Dunia
Menyoroti Pelanggaran HAM di Papua
Freddy Numberi ; Tokoh
Masyarakat Papua
|
KORAN SINDO, 27 Desember
2016
Beberapa
tahun lalu sebanyak 14 negara dari 74 negara yang hadir dalam sidang Working
Group Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB, menyoroti masalah
pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Negara
maju yang hadir dalam sidang pada tanggal 23 Mei 2012 dan menyoroti masalah
HAM tersebut adalah Amerika Serikat, Australia, Inggris, Italia, Jepang,
Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Norwegia, Perancis, Selandia Baru,
Spanyol, Swiss. Sidang digelar sebagai mekanisme laporan 4 tahunan
(2008-2012) di Swiss.
Ternyata
jumlah negara yang menyoroti masalah HAM meningkat cukup tajam dibandingkan
evaluasi yang dilakukan pada tahun 2008 di mana hanya lima negara (Jerman,
Prancis, Kanada, Belanda, Inggris) yang menyoroti masalah pelanggaran HAM di
Papua.
Pada
tahun 2014, tepatnya 26 Maret 2014 (2 minggu sebelum Pemilu Legislatif di
Indonesia, 9 April 2014), 16 anggota Parlemen Uni Eropa (Graham Watson,
Barbara Loch Bihler, Ana Games, Ivo Vajgl, Fiona Hall, Keith Taylor, Sarah
Ludford, Leonidas Donskis, Jelko Kacin, Susy de Martini, Vilja Savisaar-
Toomast, Ifiaki Irazabalbeitia, Jean Lamberry, Bart Staees,
Raul
Rameva I Rueda dan Catherine Bearder), menyurati High Representative of The
Union for Foreign Affairs and Security Policy, H.E.Baroness Catherine Ashton
untuk menindaklanjuti masalah Pelanggaran HAM di Papua sebagai kelanjutan
Rapat Dengar Pendapat anggota parlemen pada tanggal 23 Januari 2014.
Dalam
pandangan anggota parlemen Uni Eropa tersebut, kembali digaris bawahi bahwa
sejak integrasi Papua ke dalam Indonesia pada 1 Mei 1963, telah terjadi
banyak kekerasan. Banyak orang Papua dibunuh, akibat operasi-operasi militer
yang dilancarkan pada tahun 1960- 1980. Menurut pandangan mereka:
”Sementara
kejahatan massal yang terjadi tidak diakui oleh Indonesia, pemerintahnya
berupaya memperkenalkan adanya reformasi di Papua sejak tahun 1996. Militer
dan Polisi telah dipisahkan dan Papua Barat telah diberi Otonomi Khusus pada
tahun 2001. Namun reformasi yang sedang berlangsung tidak dapat menghasilkan
akuntabilitas pihak keamanan terhadap pelanggaran -pelanggaran Hak Asasi
Manusia”.
Anggota
parlemen UE dalam surat tersebut, juga mengemukakan laporan dari
gereja-gereja dan berbagai organisasi HAM di Papua tentang praktekpraktek
pembunuhan kilat, penganiayaan, penahanan paksa, pembantaian dan larangan
menyatakan pendapat secara bebas. Bahkan terjadi kepincangan dalam sektor
pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan.
Dilaporkan
juga bahwa sejak tahun 2014 terdapat 74 tahanan politik, bahkan sekitar 25
aktivis dan warga masyarakat terbunuh antara Oktober 2011 sampai Maret 2013.
Ekspresi pendapat secara damai, tentang aspirasi Papua merdeka, diredam dan
dilarang secara paksa tanpa proses hukum. Para aktivis ditahan dan dituntut
20 tahun dalam penjara.
Mereka
menilai bahwa dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM yang demikian, maka :
”Pengamat PBB, organisasi kemanusiaan dan organisasi hak asasi manusia serta
wartawan independen secara berkala ditolak atau berhadapan dengan pengaturan
yang ketat untuk masuk ke Papua Barat. Selanjutnya , NGOs lokal terus
melaporkan kejahatan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat sipil di
Papua.
Menyesalkan
penjualan senjata kepada Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa, karena tidak
mungkin dapat memonitor apakah senjata-senjata tersebut digunakan terhadap
masyarakat sipil, mengingat tidak ada akses untuk organisasi internasional
atau wartawan masuk ke wilayah itu.
Mereka
juga menggaris bawahi adanya permintaan rakyat Papua untuk membuka ”Dialog
Papua-Jakarta”. Para anggota Parlemen UE menyatakan bahwa hal ini sejalan
dengan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam beberapa
pernyataan beliau tentang dialog. Pada rapat kabinet tanggal 9 November 2011
Presiden SBY mengatakan:
”Dialog
antara pemerintah pusat dan saudara kita diPapua itu terbuka. Kita mesti
berdialog, dialog terbuka untuk mencari solusi dan opsi mencari langkah
paling baik selesaikan masalah Papua”. Hal ini sejalan dengan apa yang yang
ditegaskan oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo pada perayaan Natal Nasional di
Jayapura, 27 Desember 2014: ”Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak
bicara.
Kita
ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan”. Para anggota parlemen UE
meminta untuk Uni Eropa segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut;
Pertama, mendorong otoritas Indonesia untuk secara aktif berdialog dengan
rakyat Papua Barat sebagai suatu solusi damai, sesuai seruan para aktivis
damai baik di Papua maupun di Jakarta.
Kedua,
meminta Indonesia untuk membuka isolasi wilayah konflik agar ada akses bagi
pengamat independen termasuk pengamat Uni Eropa serta badan HAM PBB dan
melindungi kebebasan media lokal di Papua. Ketiga, Meminta Indonesia untuk
membebaskan para tahanan politik dan mengakhiri praktik penahanan
mereka-mereka yang terlibat dalam aksi politik damai dengan tuduhan tindakan
kejahatan.
Keempat,
mendukung reformasi di Indonesia, agar para personel pihak keamanan yang
melanggar HAM masyarakat sipil dapat diadili secara bertanggung jawab oleh
pengadilan militer yang telah di reformasi dan penyiksaan yang dilakukan
harus di proses sesuai ketentuan-ketentuan PBB.
Kelima,
meyakinkan bahwa senjata yang diberikan kepada Indonesia oleh negara-negara
Uni Eropa tidak digunakan terhadap masyarakat sipil. Dengan meningkatnya
sorotan internasional selama 53 tahun (1 Mei 1963 - 1 Mei 2016) Papua
integrasi dengan Indonesia, menunjukkan bahwa perhatian internasional akan
terus meningkat di masa mendatang terutama terhadap kasus-kasus pelanggaran
HAM maupun inkonsistensi pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua oleh Pemerintah.
Kita
selama ini memandang penyelesaian Papua dapat dilakukan melalui pendekatan
ekonomi. Padahal kita mengetahui bersama bahwa permasalahan di Papua sangat
kompleks dan rumit, sehingga tidak dapat disederhanakan dengan hanya
pendekatan ekonomi belaka. Suara hati orang asli Papua harus didengar.
Rakyat
Papua harus diajak berdialog untuk menyelesaikan akar permasalahan di Papua
secara tuntas dan bermartabat. Dalam kunjungan kedua pada tanggal 9 Mei 2015,
dimana Presiden mencanangkan beberapa proyek pembangunan di Papua, dan juga
memberikan grasi kepada lima narapidana politik, Presiden Jokowi menyatakan;
”Kita ingin menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai,
adil, dan sejahtera.
Kalau
ada masalah di provinsi ini segera diguyur air dan jangan dipanas-panasi lagi
sehingga persoalan tersebut menjadi masalah nasional, bahkan internasional.”
Indonesia sebagai negara demokrasi nomor 3 di dunia perlu introspeksi diri
manakala ada kekhawatiran yang berlebihan dengan memberi stigma separatis
terhadap saudara-saudaranya orang Papua yang berbeda pendapat.
Pandangan
tersebut tentunya sangat disayangkan dalam alam demokrasi dewasa ini . Menlu
RI Marty Natalegawa setelah menghadiri sidang UPR Dewan HAM PBB di Swiss, 23
Mei 2012 mengatakan, bahwa isu hak-hak asasi manusia merupakan isu yang masih
efektif sebagai pintu masuk internasionalisasi masalah Papua.
Secara
implisit Menlu Marty ingin menegaskan bahwa masalah pelanggaran HAM di dalam
negeri, terutama di Papua, belum ditangani dengan baik, dan menjadi alat
efektif untuk internasionalisasi masalah Papua. Secara politik hak-hak
konstitusional masyarakat asli Papua untuk hidup di alam kemerdekaan yang
demokratis sebagai anak Indonesia masih jauh dari harapan.
Kita
sangat meyakini bahwa tatanan sosial, ekonomi, politik maupun budaya yang
selama 53 tahun diwarnai kekerasan di Tanah Papua bukan merupakan pilihan
ideal bagi siapa pun di bumi Nusantara tercinta ini. Harapan rakyat Papua di
bawah Presiden Jokowi,
mereka
dapat dibebaskan dari rasa ketakutan selama ini dan dapat bangkit kembali
untuk membangun diri dan lingkungan mereka dalam keberagaman jati diri
Indonesia yang adil, damai, demokratis dan sejahtera. Semoga 53 tahun
integrasi dengan Indonesia, ada banyak ”Lessons learned ” perihal Papua demi
meraih Papua Tanah Damai dalam bingkai NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar