Membangun
Bangsa dengan Tekno-Sains-Ekonomi
Emil Salim ; Ketua
Dewan Pertimbangan Presiden, merangkap anggota Bidang Ekonomi dan Lingkungan
Hidup (2010-2014)
|
MEDIA INDONESIA,
21 Desember 2016
TIGA bencana alam nasional yang berdampak besar
pada kehidupan alam seantero bumi ialah, pertama, letusan Gunung Tambora
(1815), Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang mengeluarkan 1,7 juta ton abu dan
material vulkanis ke udara sehingga bumi tidak menerima cukup sinar panas
yang menghasilkan gelombang hawa dingin dan menjadikan 1816 ‘tahun tanpa
musim panas’ dengan dampak gagal panen dan kelaparan meluas di banyak negara.
Kedua, erupsi Gunung Krakatau (1883), Selat Sunda, Banten, Jawa Barat,
berkekuatan setara dengan 13 ribu kali ledakan bom atom yang menghancurkan
Hiroshima pada 1945. Ketiga, gempa bumi dasar laut dekat Pulau Simeuleu,
Aceh, Sumatra (2004), yang memicu gelombang tsunami dan memakan korban 225
ribu jiwa di 11 negara kawasan lautan Hindia.
Di samping bencana alam berdampak global itu, masih
banyak bencana alam skala daerah seperti dampak letusan Gunung Merapi dengan
banjir lava besar ke bagian besar Daerah Istimewa Yogyakarta dan menelan
korban jiwa dan harta besar. Bencana alam itu akan berlanjut karena Indonesia
terletak dalam rangkaian pulau ‘Cincin Api’, the Ring of Fire, yang berpotensi bencana alam di sekeliling
Samudra Pasifik. Bencana alam merupakan bagian dari dinamika perkembangan
alam planet bumi yang tak bisa kita cegah. Namun, itu bisa dipahami dengan
ilmu teknologi, sains, dan sosial-ekonomi dengan sikap dan orientasi
pembangunan digeser dari ‘menundukkan dan mengeksploitasi alam’ menjadi
‘memperkaya alam (enrich) dalam
memanfaatkan alam’.
Indonesia ialah negara kepulauan terbesar di
khatulistiwa diapit dua samudra, Pasisik dan Hindia, serta dua benua, Asia
dan Australia. Indonesia ditopang lempeng tektonis Eurasia di ‘kerak bumi’
yang bergerak dan berbenturan dengan lempeng tektonis Indo-Australia dari
arah selatan dan lempeng tektonis Pasifik dari arah timur.
Struktur bumi terdiri dari kerak terluar bumi
terbagi atas lempeng tektonis yang mengapung pada bebatuan merah membara yang
bergerak mengelilingi permukaan bumi.
Bila struktur benua di peta bumi diteliti,
bisa disimpulkan bahwa Benua Amerika Selatan pernah menyatu dengan Benua
Afrika. Kepulauan Sumatra-Jawa-Kalimantan pernah menyatu dengan Benua Asia,
Sulawesi dengan kepulauan Filipina, dan Papua dengan Benua Australia. Namun,
gerak benua yang ditopang lempeng tektonis menghasilkan peta bumi sekarang.
Dalam ilmu ekologi ada ‘garis Wallace’ sepanjang Selat Makassar dan Selat
Lombok memisahkan ekosistem Indonesia Timur dengan Barat. Fauna dan flora
Indonesia bagian Barat (Jawa, Sumatra, Kalimantan) mengikuti ekosistem Asia,
sedangkan fauna-flora kawasan Sulawesi-Maluku-Papua mengikuti ekosistem
Australia.
Pergerakan ketiga-tiga lempeng tektonis
Indo-Australia berkonvergensi saling mendekat dan berbenturan dengan lempeng
tektonis Eurasia dan lempeng tektonis Pasifik. Perbenturan di antara
ketiga-tiga lempeng itulah yang menjadikan Indonesia kawasan rawan gempa.
Para ilmuwan menemukan semacam garis perbenturan di kawasan barat pantai
Sumatra yang melengkung ke kawasan selatan Jawa ke bawah Nusa Tenggara Timur
melewati kepulauan Maluku Selatan ke bagian utara Papua dan kemudian menyatu
dengan ‘Cincin Api’ yang melingkari Samudra Pasifik.
Bila lempeng Indo-Australia berbenturan dan
masuk ke bawah lempeng Eurasia, dasar laut berubah sehingga gempa tektonis
disertai dengan gelombang tsunami besar, seperti terjadi di Aceh 2004 lalu.
Proses pergerakan Indo-Australia berbenturan ke bawah lempeng Eurasia masih
berlanjut sehingga para ahli meramalkan pantai barat Pulau Sumatra rawan
ancaman gempa tektonis dan gelombang tsunami. Ilmu seismologi mempelajari
gempa bumi melalui perilaku gelombang seismik, yang bisa diukur pada skala
Richter, dan meneliti struktur planet bumi. Belum ada ilmu yang bisa
‘mencegah’ gempa. Yang baru bisa dilakukan ialah ‘memperkirakan intensitas
gempa’ agar bisa diambil langkah-langkah preventif, mitigasi, dan adaptasi
bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), umpamanya, sedang
merencanakan pembangunan di landasan Tabing, Padang ‘Tsunami Evacuation
Park’, yang bisa dipakai untuk medan rekreasi dan kesenian serta dijadikan
tempat penampungan evakuasi bila ada tsunami.
Pada perbatasan di antara lempeng-lempeng
kerak bumi itu bisa mencuat semburan tempat magma, debu, gas, dan potongan
bebatuan mendesak ke atas dan melahirkan letusan vulkanis yang membentuk
gunung berapi. Pertumbukan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia yang
lalu meluncur ke bawah sehingga mengangkat daratan Asia menghasilkan
pegunungan Himalaya dan pegunungan Bukit Barisan di Sumatra serta gugusan
pegunungan di Jawa. Bila gunung api meletus keluar magma berupa cairan bebatuan
di bawah kerak bumi dan mengandung cairan silikat, kristal, dan gas. Ada pula
magma memuat zat karbon, fosfat, oksida sufida, dan cairan sulfur. Magma yang
mengalir di permukaan bumi disebut lava yang permukaannya mulus atau kasar
berbungkah, bergantung pada cepat-lambatnya proses pendinginan.
Bencana gempa tektonis dan vulkanis melepaskan
energi dan sumber alam dari perut bumi yang berpotensi nilai tambah tinggi.
Untuk pemanfaatannya, diperlukan tekno-sains, geologi (ilmu tentang bumi)
dengan berbagai derivatifnya seperti geomorfologi (ilmu tentang bentuk
permukaan bumi), dan geofisika (ilmu fisika yang diterapkan mempelajari
bumi). Indonesia diapit Samudra Pasifik di timur dan Samudra Hindia di barat.
Dengan 80 ribu km panjang pantai dan 17.508 pulau tersebar di khatulistiwa,
terumbu karang di perairan hangat ini merupakan habitat yang kaya akan
organisme laut. Rotasi bumi dengan massa daratan menggerakkan permukaan dan
dalam laut. Suhu tropis Indonesia menghangatkan arus laut yang mengalir ke
arah barat sampai ke pusaran Atlantik Utara sehingga memengaruhi musim di
daratan Eropa. Dari arah timur, wilayah Indonesia menerima arus pusaran
Pasifik Utara.
Ancaman perubahan
iklim
Dalam kondisi normal, angin meniup sepanjang
pantai barat Amerika Selatan mendekati khatulistiwa melingkar ke barat menuju
Asia. Permukaan air lautan Pasifik Barat menaik di atas rata-rata, sedangkan
air lautan Pasifik Timur di bawah rata-rata. Keadaan itu mendorong air
dingin dari samudra sepanjang pantai Peru naik ke atas mengisi permukaan laut
‘di bawah rata-rata’ sekaligus membawa nutrisi makanan bagi ikan.
Proses gerak angin kebalikannya juga terjadi
dan air permukaan laut Pasifik Barat mengalir ke arah Pasifik Timur sehingga
permukaan laut di Pasifik Barat turun dan di Timur naik. Perubahan gerak arus
angin yang memengaruhi perubahan suhu permukaan laut di kawasan tropis lautan
Pasifik disebut ‘El Nino Southern Oscillation (ENSO)’. Di samping perubahan
musim yang sudah dikenal, ENSO ialah fenomena iklim yang paling besar pengaruhnya
pada kehidupan manusia. Itu bisa membawa kelimpahan ikan, tetapi bisa juga
membawa kekeringan dan kehangatan yang rawan kebakaran hutan. Untuk
Indonesia, El Nino lebih banyak mengakibatkan kekeringan yang merugikan
penduduk. Pengalaman tentang El Nino memberi kita pelajaran tentang
pentingnya peranan iklim bagi kehidupan manusia, terutama bagi Indonesia
dengan makanan pokok beras sehingga sangat bergantung pada musim hujan yang
teratur bagi pola pertanian beririgasi.
Di forum internasional, para pemimpin dunia
sudah mencapai kesepakatan di Paris, Desember 2015, untuk mengendalikan emisi
gas-rumah-kaca dalam usaha bersama mencegah perubahan iklim global.
Kesepakatan ini diperinci lebih lanjut dalam Kesepakatan Marrakesh, Maroko,
November 2016. Sementara itu, perkembangan ini menggembirakan, dari
Washington DC, Amerika Serikat, diperoleh sinyal bahwa Presiden Donald Trump
menolak gagasan pengendalian perubahan iklim yang tidak diyakininya dan
mengangkat Kepala US Environemtal Protection Agency seorang yang menolak
gagasan perubahan iklim. Sementara para pemimpin dunia sedang merundingkan
ada-tidaknya ancaman perubahan iklim, kita di Indonesia sudah mengalaminya
berupa musim hujan yang tak menentu, angin kencang yang mengurangi masa
nelayan menangkap ikan dari rata-rata 240-300 hari setahun menjadi 180 hari
(2010). BNPB melaporkan banjir besar di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka
Belitung, dan di Jalan Pasteur belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2016
mencatat 2.151 kejadian angka tertinggi dalam dekade ini. Jenis bencana
terbanyak ialah banjir, tanah longsor, dan puting beliung.
Lingkungan hidup Indonesia telah berubah
akibat gempa pertumbukan lempeng tektonis, gempa letusan gunung berapi,
gelombang pasang tinggi di lautan, perobahan musim akibat ENSO, dan banjir
dengan segala dampaknya pada perikehidupan anak bangsa kita. Sebagai negara
di khatulistiwa dengan sinar matahari dan curah hujan yang cukup, tanah air
Indonesia menduduki posisi nomor kedua dari negara pemilik keanekaragaman
hayati seluruh dunia dengan Brasil sebagai negara terkaya pertama dan Konggo,
Afrika, sebagai negara terkaya di dunia.
Keanekaragaman ekosistem pulau-pulau Indonesia
yang ribuan jumlahnya melahirkan suku, ras, dan agama penduduk yang juga
berbinekaragam dan menghasilkan daya kreativitas seni dan budaya penduduk
yang kaya raya sehingga lahirlah potensi sosial sebagai kekuatan kreatif
bangsa Indonesia.
Apabila keunggulan Indonesia terletak pada
kekhasan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, seyogianyalah pola pembangunan
secara eksplisit mempertimbangkan keanekaragamnan eko dan sosial sistem dalam
menggariskan pola pembangunan dengan sifat berkelanjutan, sustainable, dan
‘prolingkungan’.
Pandangan pola pembangunan berkelanjutan
bertolak dari paradigma bahwa pembangunan berlangsung dalam jejaring
(network) keterkaitan pelaku ekonomi, pelaku sosial, dan pelaku lingkungan.
Interaksi dan interkoneksi di antara ketiga-tiga pelaku dalam saling
keterkaitan antarjejaring ekonomi-sosial-lingkungan.
Ciri menonjol masa abad ke-21 ialah ‘perubahan
yang multijurus dan kompleks-dinamis’. Kerangka pola pembangunan masyarakat
yang berubah dinamis ini perlu ditanggapi dengan ilmu tekno-sains-ekonomi.
Revolusi teknologi dipicu perkembangan sains yang melahirkan teori-teori ilmu
pengetahuan baru, seperti ilmu pengembangan stem-cell, nano-science,
genetika, artificial intelligence, dan design thinking, membuka wawasan ilmu
baru. Yang menarik, semakin banyak perhatian ilmuwan ditujukan pada usaha
memahami lingkungan alam sehingga tumbuh bio-science yang bergerak ‘meniru’
alam mengembangkan pola bio-mimicry. Ilmuwan bangunan arsitektur apartemen
mulai berpaling belajar dari sifat pengembangan sarang lebah. Ilmuwan
sosiologi mulai tertarik pada pola kerja komunitas semut. Ilmuwan gempa tertarik
pada perilaku hewan merasakan secara naluriah ancaman bencana. Begitulah
seterusnya. Ada ‘cross fertilization’, fertilitas silang saling
hidup-menghidupi, sokong-menyokong antara ilmu teknologi, sains, dan sosial
ekonomi.
Dengan begitu, berkembanglah sekarang ini
konvergensi ilmu teknologi, sains, dan sosial ekonomi menuju titik pertemuan
yang bermuara pada konsep-konsep pengembangan pembangunan berkelanjutan.
Berdimensi ekonomi-sosial-lingkungan dalam tatanan kehidupan yang
kait-mengkait. Kita perlu gabungkan pendekatan cendekiawan teknologi, sains,
dan sosial-ekonomi untuk bahu-membahu menanggapi berbagai ancaman bencana
alam, konflik sosial, dan keguncangan ekonomi secara bersama dengan menyusun
peta jalan (road-map) integrasi
pola pikir ilmu teknologi-sains dan sosial-ekonomi untuk menanggapi tantangan
masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar