Haruskah
Hakim Pejabat Negara?
Nasir Djamil ; Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS
|
KORAN SINDO, 27 Desember
2016
Judul
di atas sebenarnya mewakili sebuah kegelisahan besar tentang keberadaan hakim
di negeri ini. Sejak awal banyak undang-undang menyebutkan hakim merupakan
pejabat negara.
Namun
faktanya sepanjang 15 tahun terakhir hakim justru sebagai pegawai negeri sipil.
Kedudukan hakim sebagai pejabat negara pun menjadi pertanyaan besar. Keriuhan
status hakim sebagai pejabat negara belakangan ini mendesakkan kesadaran baru
akan esensi pejabat negara dalam ranah perbaikan penegakan hukum di
Indonesia.
Sepanjang
15 tahun terakhir, perdebatan status hakim tidak kunjung melahirkan perubahan
signifikan terhadap manajemen pengelolaan hakim sebagai pejabat negara.
Pemerintah seolah setengah hati di balik kekhawatiran pembebanan keuangan
negara. Akibatnya, hakim pun saat ini mengalami dilema.
Di
satu sisi dijadikan pejabat negara, di sisi yang lain terasa hanya sekadar
pegawai negeri sipil (PNS). Ketentuan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5/ 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara secara eksplisit menyatakan hakim sebagai
pejabat negara. Hal ini semakin menegaskan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 48/ 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun
demikian, pengaturan di kedua undang-undang ini dirasa tak cukup memberi
kepastian hukum bagi hakim sebagai pejabat negara. Proses kepangkatan hakim
masih mengacu pada kepangkatan PNS yang tak lazim lagi digunakan untuk hakim
sebagai profesi independen. Tak pelak, institusi peradilan akhir-akhir ini
masih mendapat sorotan tajam.
Label
pejabat negara dengan segala fasilitas dan hak keuangan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94/2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas
Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung, tak juga mengurangi isu mafia
peradilan yang masih gentayangan beroperasi di pengadilan.
Hakim
tak lagi independen ketika masih berurusan dengan sistem kepangkatan dan
rotasi ala PNS. Bagaimanapun di era Reformasi saat ini masyarakat mendambakan
kekuasaan kehakiman yang lebih independen. Hakim dituntut lebih peka pada
perkembangan zaman.
Predikat
peradilan sebagai ”benteng terakhir” (laatste toevlucht ) bagi para pencari
keadilan tentu semakin dipertanyakan ketika terjadi dualisme pengaturan
jabatan hakim. Sejatinya, hakim tak lagi merdeka dalam memegang kekuasaan
kehakiman, ketika ranah eksekutif masih mengikat persoalan manajemen
kelembagaan peradilan.
Ada
keinginan kuat untuk memperbaiki kekuasaan kehakiman agar lembaga yudikatif
bisa keluar dari cengkeraman kekuasaan dan pengaruh langsung pemerintah.
Pengaruh ini tidak hanya secara teknis yudisial, namun juga secara
administratif dan finansial. Mau tidak mau dibutuhkan kemauan politik hukum
tentang penyatuatapan kekuasaan kehakiman dengan penegasan bahwa hakim adalah
pejabat negara, bukan PNS yang bekerja di lingkungan lembaga eksekutif.
Lima Isu Pokok
Seperti
diketahui, ada lima isu pokok terkait kekuasaan kehakiman, yakni (1) konsep
kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, dan independensi kekuasaan kehakiman;
(2) kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, moralitas, integritas, dan
etika hakim; (3) kelembagaan, struktur organisasi, rekrutmen, kepegawaian,
pembinaan, penggajian, dan kesejahteraan; (4) hubungan antara lembagalembaga
negara dengan kekuasaan kehakiman; (5) peran dan fungsi lembaga kehakiman
dalam mewujudkan keadilan, negara hukum, dan pembangunan hukum di Indonesia.
Kelima
isu tersebut secara substansial dan fungsional saling mengait satu sama lain,
bahkan dapat disebut sebagai lima pilar utama dalam bangunan kekuasaan
kehakiman Indonesia, namun sekaligus pula sebagai masalah utama yang dihadapi
oleh kekuasaan kehakiman kita saat ini.
Di
sisi lain, independensi atau kemerdekaan pemegang kekuasaan kehakiman atau
badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu pilar utama untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of law.Hal ini
senada dengan pemikiran negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam
konferensi International Commission of Jurists di Bangkok tahun 1965.
Forum
ini menekankan pemahaman tentang apa yang disebut sebagai the dynamic aspects
of the rule of law in the modern age (aspekaspek dinamika penegakan hukum
dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada enam syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of law.
Satu
di antaranya adalah peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak
memihak. Berdasarkan syarat tersebut, jelaslah bahwa independensi kekuasaan
kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok. Apabila komponen ini tidak
ada, maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang negara hukum atau negara
berdasar atas hukum.
Hal
ini semakin dipertegas dengan ketentuan dalam konstitusi pasal 24
Undang-Undang Dasar 1945 dengan seluruh peraturan pelaksanaannya. Hal ini
memberi arti betapa pentingnya independensi atau kemerdekaan badan-badan
peradilan dan kekuasan kehakiman tersebut. Apalagi hal ini secara universal
telah diterima dan ditekankan dalam berbagai instrumen hukum internasional.
Ketentuan internasional ini menjamin soal independensi atau kemerdekaan
badan-badan peradilan.
Cek Kosong
Namun
demikian, independensi bukan cek kosong yang bisa semaunya dijalankan hakim.
Dalam membuat putusan, hakim bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan kata-kata dalam diktum putusannya. Hakim dapat diminta
pertanggungjawabannya secara hukum ketatanegaraan.
Artinya,
dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary), hal ini haruslah
diimbangi dengan pasangannya, yaitu akuntabilitas peradilan (judicial
accountability), political accountability/legal accountability of state, dan
personal accountability of the judge.
Kebebasan
hakim harus didasarkan pada asas-asas umum peradilan yang baik (the general
principles of good court)serta kemungkinan impeachment terhadap hakim. Agar
independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim mutlak harus
mempunyai kekuatan moral dan intelektual yang tangguh, sehingga memiliki
kendali nurani dan pikiran yang bisa memberikan arahan dalam bertindak
menjalankan aktivitas kehakimannya.
Maka
menjadi hakim berarti menjadi moralis, menjadi intelektual, menjadi
cendekiawan yang tidak pernah berhenti berpikir, menjaga kebersihan diri, dan
memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebagai ”nyawa” yang menggerakkan
syaraf-syaraf keadilan hakim, independensi juga terkait paradigma, sikap,
etos, dan etika.
Semua
ini adalah keseluruhan totalitas fisik dan nonfisik hakim sebagai wakil
Tuhan. Sebagai penegak keadilan di muka bumi, hakim harus memiliki legalitas
moral, intelektual, sosial dan spiritual yang kokoh. Sekalipun independensi
syarat mutlak terbangunnya pengadilan yang dapat dipercaya, tetapi prinsip
tersebut bukanlah kekebalan (imunitas). Penggunaannya harus dapat
dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan dengan baik dan benar.
Independensi
Independensi
hakim merupakan syarat mutlak (conditio sine quanon) tegaknya hukum dan
keadilan yang harus mendapat jaminan konstitusional yang kuat. Hakim harus
bebas dari pengaruh, bujukan, tekanan, ancaman atau gangguan secara langsung
atau tidak langsung.
Tentu,
independensi ini harus juga diawasi agar tidak terjadi manipulasi, menjadikan
hakim memiliki ”jaket kebal hukum” atau bungker kejahatan. Tentu, pemberian
status pejabat negara bagi hakim berbanding lurus dengan predikat ”yang
mulia” yang selama ini melekat pada diri hakim.
Ketentuan
sejumlah peraturan perundang- undangan sudah pula menampakkan komitmen,
tekad, dan politik hukum untuk memberikan jaminan kebebasan dan kemerdekaan
hakim. Beragam fasilitas dan tunjangan bukanlah semata-semata tujuan hakim
berstatus pejabat negara. Namun ada pertanggungjawaban yang melekat dalam
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.
Hakim
berdiri secara independen, tidak boleh dicampuri, dipengaruhi atau
diintervensi, sehingga menyebabkan hakim keluar atau menyimpang dari
keharusan normatif, moral, dan etika dalam menjalankan ruang kekuasaan
tersebut. Akhirnya, keinginan berbagai pihak dalam merumuskan pengelolaan
ruang jabatan hakim dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim yang
menjadi prioritas dalam program legislasi nasional pada 2017, harus dimaknai
sebagai upaya-upaya positif dalam mewujudkan pelaksanaan independensi hakim
yang akuntabel. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar