Mendorong
Efisiensi Ekonomi
A Prasetyantoko ; Ekonom
di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS, 26 Desember
2016
Sudah
lebih dari delapan tahun sejak krisis merebak, perekonomian global terus
mengalami stagnasi akut. Akhir tahun ini, suasana perekonomian, baik global
maupun domestik, sama-sama tak menggairahkan. Bahkan, pada 2017, proyeksinya
semakin tak menentu. Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The
Fed, beberapa waktu lalu, meskipun sudah diantisipasi sebelumnya, tetap saja
memunculkan risiko, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam
suasana global yang lesu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik pun melemah.
Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,1-5,5 persen
menjadi 5-5,4 persen. Bahkan, pemerintah pada Agustus lalu sudah terlebih
dulu menurunkan asumsi pertumbuhan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen.
Kita
masih beruntung karena hanya mengalami fase moderasi, bukan stagnasi seperti
negara maju. Bahkan, lembaga pemeringkat ternama, Fitch Ratings (Fitch),
beberapa hari lalu telah menaikkan proyeksi surat utang pemerintah dari
stabil menjadi positif. Dampaknya, bunga penerbitan surat utang pemerintah mulai
turun, baik di pasar sekunder maupun primer.
Meski
demikian, bukan berarti tantangannya lebih ringan. Di negara maju sekarang
ini tengah dilakukan berbagai upaya restrukturisasi secara masif, khususnya
inovasi berbasis digital. Maka, kita pun tak boleh membuang waktu dengan
mengarahkan kebijakan ekonomi 2017 lebih fokus pada upaya restrukturisasi.
Pelambatan
ekonomi global bagaimanapun mempersempit ruang gerak aktivitas ekonomi
sehingga tensi persaingan dipastikan meningkat. Di dalam negeri, menyempitnya
ruang persaingan masih ditambah dengan inefisiensi di segala lini dan sektor,
yang ditandai ekonomi biaya tinggi.
Laporan
Daya Saing Global 2016-2017 menyoroti penurunan tingkat keterbukaan ekonomi.
Hal ini diyakini akan merugikan persaingan serta mengakibatkan pertumbuhan
inklusif dan berkelanjutan sulit diciptakan. Dalam laporan tersebut,
Indonesia menempati peringkat ke-41 atau turun dari tahun sebelumnya, yakni
di peringkat ke-37. Kendati berbagai upaya transformasi terus dilakukan,
khususnya di bidang infrastruktur, bidang lain masih menyimpan potensi
inefisiensi serius.
Jika
pada tahun sebelumnya masalah infrastruktur menempati peringkat pertama
sebagai faktor yang menghambat bisnis, survei tahun ini menempatkan korupsi
dan inefisiensi pemerintah sebagai dua masalah pokok. Dengan demikian, agenda
ke depan cukup jelas, yaitu mempercepat transformasi birokrasi dan fokus pada
faktor penopang produktivitas ekonomi, seperti kesehatan masyarakat dan
pendidikan.
Kesiapan
teknologi justru melorot 6 peringkat menjadi posisi ke-91, karena penetrasi
teknologi informasi dan komunikasi yang masih rendah. Hanya seperlima
populasi yang sudah memiliki akses internet dan hanya 1 koneksi pita lebar
untuk setiap 100 penduduk. Ruang perbaikan bisa dilakukan dengan menggabungkan
pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi untuk
memperbaiki kinerja pemerintah dan dunia usaha.
Paket
kebijakan ekonomi XIV mengenai perdagangan elektronik atau e-dagang bisa
menjadi momentum untuk menata struktur ekonomi agar lebih efisien. Inovasi
membutuhkan ekosistem yang baik, mulai dari aspek pendanaan, regulasi, hingga
kapasitas manusianya. Untuk itu, perlu langkah lanjutan agar inovasi terus
dilanjutkan, seperti insentif pajak bagi perusahaan yang mengalokasikan dana
untuk penelitian dan pengembangan.
Transformasi
memang menjadi salah satu kunci pemerintahan Presiden Joko Widodo. Majalah The
Economist (edisi
10-16/12, 2016) menyoroti kembalinya menteri reformis. Pada level daerah, ada
beberapa kisah sukses yang menjanjikan. Kabupaten Banyuwangi di Jawa Timur
yang dulunya terpencil dan tak diperhitungkan kini memainkan peran sangat
penting karena kemampuan menggabungkan aspek kewirausahaan dan teknologi
digital. Tidak hanya memfasilitasi dunia bisnis, tetapi juga memaksa
pelayanan birokrasi menjadi lebih efisien dan transparan.
Elemen
penting dari kesuksesan tersebut adalah kepemimpinan pemerintah dan kebiasaan
yang berubah dari berbagai lapisan masyarakat. Teknologi hanyalah faktor
pendukung. Semangat birokrasi yang membuka diri pada prinsip kewirausahaan
penting direplikasi, baik untuk daerah lain maupun pada level nasional.
Mengawali
tahun 2017 perlu diupayakan semangat kewirausahaan dari kalangan birokrat
dengan bantuan teknologi digital. Arahnya, membuat proses bisnis menjadi
lebih efisien, baik pada level pemerintah maupun swasta. Jika transformasi
dilakukan pada semakin banyak kalangan di berbagai tingkatan, niscaya
perekonomian kita akan berjalan lebih baik meskipun di bawah tekanan yang
lebih berat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar