Opini
dan Keadilan
Muhammad Farid ; Fellow
pada Lembaga Ketahanan Republik Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
29 Desember 2016
HAKIM Bismar Siregar saat menjadi Ketua Pengadilan
Tinggi Sumatra Utara membuat vonis kontroversial terhadap dua orang yang
dituduh memperdagangkan ganja seberat 161 kilogram. Sebelumnya, Pengadilan
Negeri Medan menjatuhkan vonis 10 bulan penjara bagi keduanya. Namun, oleh
Hakim Bismar Siregar, vonis itu lalu diubah menjadi 15 tahun dan 10 tahun
penjara. Hakim Bismar tidak sekali itu saja membuat kontroversi.
Ia pernah mengubah hukuman 7 bulan penjara yang
dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjungbalai terhadap seorang kepala sekolah di
Kisaran, Sumatra Utara, yang dituduh berbuat cabul dengan anak didiknya
menjadi 3 tahun penjara. Selain itu, Hakim Bismar juga mencabut status sang
kepala sekolah sebagai pegawai negeri. Bahkan, suatu ketika Bismar pernah
berkata bahwa kedudukan hakim di Indonesia ialah sebagai 'wakil Tuhan (Apa
& Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, Grafitipes, 1986, hlm
863-864).
Tulisan ini tentu bukan hendak membahas lebih lanjut
mengenai profil mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang wafat pada 19 April
2012, juga bukan untuk membahas mengenai keputusan kontroversial, apalagi
memperdebatkan apakah benar seorang hakim pada hakikatnya ialah wakil Tuhan
dalam ranah teologi? Akan tetapi, ada dua hal kunci yang bisa ditarik dari
kisah tersebut, yaitu 'wakil Tuhan' dan 'kontroversial'. Barangkali, yang
dimaksud Bismar Siregar sebagai 'wakil Tuhan' sudah terwakili Pasal 5 ayat 1
UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat 2 UU No 48/2009 menyebutkan
bahwa hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam konteks
inilah seorang hakim dengan pemahaman dan rasa keadilan menjatuhkan vonis. Di
sinilah seorang hakim terkadang akan menjadi kontroversial. Akan tetapi,
walau kontroversial, keputusan pengadilan sebagai bagian dari sistem hukum
harus diterima dengan lapang dada sebagai konsekuensi hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Konsekuensi ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 1
ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi: "Negara
Indonesia adalah negara hukum." Dengan demikian, warga negara harus
menghormati keputusan hukum yang dibuat hakim. Masyarakat pun tidak dapat
serta-merta menganggap seseorang bersalah tanpa adanya proses pengadilan.
Pasal 8 ayat 1 UU No 48/2009 menyebutkan bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Opini masyarakat
Terkadang, suatu vonis atau keputusan pengadilan
bertentangan dengan opini individu atau sebagian masyarakat. Akan tetapi,
sekali lagi, keputusan pengadilan ialah sebuah konsekuensi bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam bingkai UUD NRI 1945. Dalam kehidupan
demokrasi, kebebasan beropini ialah suatu keniscayaan. Kebebasan beropini
atau berpendapat ini secara jelas diatur dalam konstitusi kita atau UUD NRI
1945. Akan tetapi, opini tentu tidak dapat menjadi instrumen keadilan.
Seorang hakim harus memahami rasa keadilan masyarakat
dalam proses membuat vonis atau keputusan. Akan tetapi, masyarakat tentu
tidak dapat memaksakan opininya kepada hakim untuk dijadikan keputusan.
Beberapa waktu belakangan ini, tengah marak tuduhan mengenai penistaan agama
yang dilakukan seorang gubernur nonaktif yang juga sedang menjadi kandidat
petahana untuk pemilihan kepala daerah serentak pada Februari 2017. Kasus ini
bahkan telah memicu dua kali demonstrasi yang melibatkan publik dalam jumlah
yang sangat besar (ada yang menyebut jumlah massa yang hadir sekitar 500
ribu-2 juta orang) di Jakarta.
Demonstrasi ini menuntut kepala daerah nonaktif
tersebut untuk diadili atau dengan kata lain dijatuhkan hukuman yang
setimpal. Publik tentu menunggu keputusan hakim. Di sinilah publik juga harus
menyadari bahwa hakim harus diberi independensi dalam membuat dan menjatuhkan
vonis. Dengan kata lain, publik harus menghormati apa pun keputusan
pengadilan. Inilah perwujudan "Negara Indonesia adalah negara
hukum", seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik
Indonesia 1945.
Opini dan tekanan publik terhadap suatu kasus hukum
pernah beberapa kali terjadi di negeri Indonesia. Sebelumnya pernah dikenal
istilah 'trial by the press' atau suatu bentuk penulisan atau penyebaran
informasi secara bias dari satu sisi terhadap suatu kasus di media massa.
Dengan kemajuan teknologi, 'trial by the press kemudian bertransformasi
menjadi semacam 'pengadilan di media sosial' yang kebenarannya tentu tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Suatu kasus yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya tentu akan membawa masyarakat pada
ketidakpastian.
Di sinilah fungsi hukum, yakni memberi kepastian.
Kepastian inilah yang harus didukung dan dihormati seluruh warga negara.
Hukum dan wawasan kebangsaan Seperti sudah disebutkan di atas, Pasal 5 ayat 1
UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Ini tentu penting dalam memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Lantas, apakah panduan bagi pengadilan atau hakim dalam memahami
rasa keadilan masyarakat?
Pakar hukum JE Sahetapy dalam artikel berjudul Hukum
yang Bagaimana (Editor, 26 Desember 1987) menegaskan bahwa hakim wajib
menggali konteks nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural
masyarakat Indonesia. Pemahaman ini tidak hanya sebatas konteks istilah atau
bahasa, tetapi juga dalam konteks wawasan Pancasila. Dalam hal ini, JE
Sahetapy lebih lanjut mendorong para teoritisi dan para pendidik di bidang
hukum untuk mengkaji doktrin dan yurisprudensi yang sesuai dengan hukum
Indonesia yang tidak lain ialah semangat hukum Pancasila.
Apa yang disampaikan JE Sahetapy dalam konteks
Pancasila sebagai dasar acuan pemahaman hakim terhadap rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat sangat tepat sebab Pancasila digali oleh para bapak
bangsa atau founding fathers dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah
bangsa Indonesia. Pemenuhan rasa keadilan inilah yang ditunggu-tunggu
masyarakat dalam berbagai kasus hukum yang terjadi. Namun, harus diingat,
keadilan pun tidak serta-merta identik dengan opini publik. Dengan kata lain,
setiap individu harus menghormati suatu keputusan pengadilan walaupun itu
tidak sejalan dengan opini pribadinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar