Islam,
Kebangsaan, dan Indonesia Masa Depan
Khaerudin ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 20 Desember
2016
Islam dan semangat kebangsaan yang
menyertainya pada masa awal berdirinya Republik Indonesia menjadi modal
penting perekat keutuhan negara ini. Namun, dalam perjalanannya, dinamika
hubungan Islam dengan negara tak selalu mulus.
Sejarah mencatat, keikhlasan umat Islam
menerima bentuk republik bagi negara yang menaungi seluruh penduduk dengan
berbagai latar belakang agama, suku, dan golongan di Nusantara yang membuat
Indonesia kokoh berdiri hingga saat ini.
Di usia Indonesia yang sangat muda, hubungan
Islam dengan negara sempat menimbulkan gejolak yang dampaknya masih terasa
hingga kini. Keinginan sebagian umat Islam di Indonesia mendirikan negara
Islam (darul Islam) sempat mengobarkan pemberontakan.
Sejak itu dinamika hubungan Islam dengan
negara selalu diwarnai tarik ulur yang terkadang menciptakan ketegangan meski
tak jarang berakhir menyenangkan. NKRI menjadi harga mati dan Pancasila masih
tetap langgeng sebagai ideologi bersama.
Situasi paling mutakhir sempat memunculkan
ketegangan ketika terorisme global menjadi ancaman, termasuk di Indonesia.
Sebagian umat Islam memahami terorisme muncul akibat ketidakadilan yang
dialami umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk penjajahan Israel
terhadap rakyat Palestina. Meski persoalan Israel dengan Palestina tidak bisa
dipahami secara sederhana sebagai konflik agama semata.
Dinamika yang terjadi di Timur Tengah
sebenarnya terlalu rumit untuk diuraikan sebagai konflik yang mengakibatkan
umat Islam diperlakukan tak adil. Namun harus diakui, imbas konflik di Timur
Tengah juga terasa hingga ke Indonesia. Situasi seperti inilah yang
sebenarnya kini dikhawatirkan. Konflik di Timur Tengah dibawa ke Indonesia.
Umat Islam Indonesia saat ini menghadapi
tantangan besar. Salah satunya adalah perang melawan terorisme global dan
kesenjangan ekonomi.
Kesenjangan ekonomi di Indonesia, misalnya,
dapat menjadi sumbu konflik ketika bagian terbesar dari warga negara, yakni
umat Islam, merasa diperlakukan tidak adil. Terorisme yang muncul di
Indonesia pun dianggap sebagian kalangan timbul antara lain karena persoalan
ekonomi. Meski ide radikalisme juga muncul di kalangan kelas menengah muslim.
Persatuan dan keadilan
Mengapa sebagian kelas menengah Indonesia
justru terpapar radikalisme? Demokrasi Indonesia memiliki dua sayap yang
tergambar melalui dua sila dalam Pancasila, yakni sayap persatuan dan
keadilan.
Jika dua sayap ini bermasalah, keindonesiaan
terancam. Ini menjelaskan bahwa mengapa saat Indonesia memiliki bonus
demografi dengan jumlah kelas menengah yang lebih besar dari keseluruhan
penduduk, ide radikalisme juga di tumbuh di kalangan ini.
Di sisi lain, kelas menengah ini tumbuh di
wilayah-wilayah yang bukan menjadi enclave ormas Islam yang sejak awal ikut
mendirikan Indonesia dengan semangat kebangsaan, Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah.
Sebagian kelas menengah ini tumbuh di
perguruan tinggi umum yang tak masuk dalam enclave NU dan Muhammadiyah. Wilayah
bebas ini menjadi pemasok utama fundamentalis baru. Mereka tumbuh dan
mengenal Islam bukan lewat pesantren atau didikan kiai yang memiliki jenjang
keilmuan Islam dari khazanah klasik dan perdebatan intelektual.
Sebagian dari mereka inilah dikhawatirkan
telah masuk dalam mesin birokrasi. Dengan demikian, tak jarang promosi
radikalisme yang mengancam keutuhan bangsa dan demokrasi sebagai sistem hidup
bersama di Indonesia justru muncul dari tempat ibadah yang berada di instansi
pemerintah ataupun BUMN.
Kelas menengah muslim yang terpapar
radikalisme ini merupakan akibat dari transformasi demokrasi yang belum
berhasil di Indonesia. Indonesia baru berhasil melakukan transisi demokrasi.
Indonesia menyadari bahwa kemajemukan adalah keniscayaan, tetapi konsep
kemajemukan masih belum selesai bagi sejumlah kalangan.
Haluan negara tentang bagaimana mengelola
kemajemukan ini sangat bergantung pada siapa penguasanya. Akhirnya demokrasi
menjadi ajang untuk unjuk identitas diri. Ruang publik menjadi ajang pertarungan
identitas, sementara hukum yang seharusnya menjadi haluan tak kunjung
mewujud.
Ketiadaan nilai yang seharusnya bisa menjadi
acuan bersama terkait kemajemukan bangsa ini membuat demokrasi menjadi
pertunjukan identitas kelompok. Situasi ini menjadi ajang kemunculan
orang-orang yang bicara agama di ruang publik, tetapi tak jarang justru
menjadi ancaman bagi demokrasi dan kemajemukan Indonesia. Media yang
seharusnya menjadi pilar demokrasi malah ikut mempromosikan ancaman terhadap
demokrasi.
Indonesia sejak awal pendiriannya sebenarnya
lahir antara lain karena semangat kebangsaan umat Islam. Jauh sebelum BPUPKI
merumuskan dasar negara, Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936 misalnya,
merumuskan format ideal bagi Indonesia di masa depan sebagai darussalam, sebuah
negara bangsa. NKRI dianggap sebagai bentuk final bagi negara yang menaungi
semua warga negara, apa pun latar belakangnya.
Sayangnya, saat fondasi demokrasi terancam,
negara baru berpaling pada ormas Islam yang sejak awal mengusung semangat
kebangsaan ini. NU dan Muhammadiyah selalu menjadi pemadam kebakaran. Negara
malah abai terhadap kiai-kiai yang selama ini mempromosikan Islam yang ramah,
toleran, dan menghargai keberagaman. Mereka selama ini tak pernah
dipanggungkan oleh negara.
Negara juga belum memberlakukan kebijakan
afirmatif yang berpihak kepada mereka yang menjaga NKRI tetap utuh berdiri
ini. Jika ini terus dibiarkan, semangat kebangsaan umat Islam yang tersemai
sejak negara ini belum berdiri dikhawatirkan pupus, dan Indonesia, negara bangsa
yang menjadi tempat bernaung warga dengan berbagai latar bekang, hanya
menjadi cerita belaka di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar