Jeda
Asap Memberi Napas Lega
Ichwan Susanto ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 24 Desember
2016
Seperlima populasi Indonesia, khususnya di
sebagian Sumatera dan Kalimantan, tahun ini boleh bernapas lega. Sepanjang
tahun 2016, jumlah titik panas turun signifikan atau lebih dari 80 persen
dibandingkan tahun 2015.
Banyak yang nyinyir dan beranggapan capaian
itu anugerah Tuhan yang memberi musim kemarau basah akibat La Nina. Kondisi
iklim yang berkebalikan dari setahun lalu saat Indonesia dilanda iklim sangat
kering akibat El Nino.
Bencana asap tahun 2015, di mana lebih dari 43
juta warga di sebagian Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua bagian selatan
menghirup udara kotor berbulan- bulan, agaknya menjadi pelajaran berharga.
Dalam pidato resmi di Konferensi Perubahan Iklim Ke-21 di Paris, Perancis,
November 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan tekadnya menghentikan
langganan kebakaran hutan dan lahan.
Meski areal rawa gambut yang terbakar hanya
sepertiga dari total 2 juta hektar luas lahan dan hutan yang terbakar, dampak
kebakaran di areal gambut sangat serius. Kabut asap menyebabkan kerugian
ekonomi lebih dari Rp 200 triliun, belum termasuk kerugian lingkungan serta
biaya kesehatan dan gangguan hubungan politik dengan negara tetangga.
Melihat dampak kebakaran hutan dan lahan itu,
Istana membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden
Nomor 1 Tahun 2016. Pembentukan badan itu disambut baik sebagai bukti
keseriusan politik pemerintah menyudahi kabut asap dari emisi kebakaran di rawa
gambut yang dikeringkan.
Analisis pemodelan yang dipimpin Harvard
University, Shannon N Koplitz menyebut, kabut asap akibat kebakaran hutan dan
lahan (karhutla) 2015 menyebabkan kematian dini 91.600 orang Indonesia, 6.500
orang di Malaysia, dan 2.200 orang di Singapura. Angka mencengangkan itu dari
analisis kepekatan udara PM2,5 dari stasiun bumi di Singapura, citra satelit,
serta arah angin periode September-Oktober 2006-2015.
Selain partikel debu halus (PM2,5), riset Guru
Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo
bersama sejumlah universitas di Amerika Serikat didanai NASA menunjukkan,
asap gambut mengandung zat kimia berbahaya. Riset itu berpotensi merevisi
data emisi asap dari kabut asap yang tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai
pengemisi terbesar ketiga di dunia.
Upaya restorasi
Berbagai kajian alamiah yang muncul seakan
menguatkan langkah Presiden membentuk BRG. Meski di lapangan terjadi
perdebatan dan menyayangkan isi perpres yang hanya menjadikan BRG sebagai
"pelaksana" dan seolah berada di bawah menteri teknis-karena harus
melaporkan kepada Presiden melalui Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan-sejumlah pihak menaruh kepercayaan tinggi.
BRG yang memiliki empat deputi diisi sosok
akademisi dan pegiat lingkungan dipimpin Nazir Foead, yang pernah bekerja
untuk WWF Indonesia.
Iklim bersahabat tahun ini, tanpa mengabaikan
kabut asap di Kalteng dan Riau pada Agustus 2016, membuat BRG bergerak
leluasa. Bermodal peta awal Kawasan Hidrologis Gambut dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BRG dibantu tim pakar menyusun peta indikatif
restorasi pada September 2016.
Peta itu menempatkan 2,4 juta hektar areal
gambut sebagai prioritas restorasi di tujuh provinsi, yaitu Riau, Sumsel,
Jambi, Kalteng, Kalbar, Kalsel, dan Papua. Dari total itu, diketahui 684.000
hektar kawasan lindung, 1,4 juta hektar kawasan budidaya berizin, dan 396.000
hektar kawasan budidaya tak berizin. Itu terdiri dari areal restorasi pasca
kebakaran 2015, restorasi kubah gambut berkanal, restorasi kubah gambut tak
berkanal (utuh), dan restorasi gambut dangkal berkanal.
Dari sisi biaya, BRG diinstruksikan Wakil
Presiden Jusuf Kalla mendapatkan pembiayaan luar negeri. Meski demikian,
tahun 2017 negara masih menganggarkan Rp 865 miliar untuk operasional BRG.
Dengan restorasi berupa pembasahan kembali (di
luar revegetasi) yang membutuhkan rata-rata biaya Rp 12 juta per hektar,
sedikitnya dibutuhkan biaya Rp 12 triliun untuk pekerjaan restorasi 1 juta
hektar gambut di hutan lindung dan kawasan budidaya tak berizin. Itu dengan
catatan 1,4 juta hektar gambut yang telah berizin direstorasi sendiri
pengelolanya.
Tak cukup di situ, BRG yang jadi
"pelaksana" membutuhkan peta detail/teknis dengan skala tinggi.
Karena itu, sejak September 2016, mereka memetakan menggunakan sonar khusus
di sejumlah kabupaten prioritas: Kepulauan Meranti (Riau), Musi Banyuasin,
Ogan Komering Ilir (Sumsel), dan Pulang Pisau (Kalteng). Pemetaan dibantu
Pemerintah Norwegia.
Jika peta detail itu diperoleh, BRG bisa menjalankan
restorasi dengan kecepatan penuh. Namun, tak semudah bayangan. Kekuatan dan
konsistensi pemerintah untuk menjalankan restorasi harus berhadapan dengan
fakta 1,4 juta hektar telah dikuasai korporasi, baik kebun sawit maupun
akasia/eukaliptus (hutan tanaman industri). Belum lagi menyelesaikan konflik
sosial pada hampir 400.000 hektar areal gambut yang dikelola secara ilegal.
Permasalahan lebih teknis, bagaimana mencari
tanaman komoditas pengganti tanaman sawit dan akasia/eukaliptus yang tahan
tanah lembab/basah. Bagaimana menciptakan peluang investasi dan menjalankan
instruksi presiden agar restorasi membawa kesejahteraan masyarakat?
BRG yang didukung 19 pejabat eselon I serta
tujuh gubernur sebagai pengarah teknis mengemban tugas berat karena keberhasilan
restorasi-yang harapannya mencegah kebakaran-menjadi kunci sukses Indonesia
menurunkan emisi.
Dari 29 persen target penurunan emisi yang
dijanjikan Indonesia dalam Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-21 Konferensi
Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Paris, Perancis, 17
persen dibebankan ke sektor hutan dan lahan (termasuk karhutla), disusul
energi (11 persen), dan sampah/limbah (1 persen).
Berkaca pada COP-22 UNFCCC di Marrakesh,
Maroko, sangat disadari penurunan emisi yang hanya mengandalkan komitmen
(NDC) para peserta ratifikasi Perjanjian Paris tak cukup mengerem laju
penghangatan global. Negara-negara dunia menyerukan keterlibatan aktif pelaku
usaha dan masyarakat agar ikut bergerak menyelamatkan masa depan dunia,
termasuk menghindarkan gambut sebagai sumber emisi sangat besar.
Namun, hingga kini, ruang keikutsertaan
masyarakat-baik dalam restorasi maupun pengawasan-belum disediakan. Jangan
sampai pelaksanaan komitmen di lapangan sebatas proyek, sedangkan janji
restorasi meleset dari capaian.
Kini, pemerintah memiliki waktu sekitar
delapan bulan sebelum Indonesia kembali memasuki musim kemarau yang
diprediksi tidak sebasah tahun ini. Selain permasalahan teknis, masih ada
sederet konsistensi penegakan hukum dan kebijakan yang memberi solusi
penghidupan bagi masyarakat yang telanjur bergantung pada gambut.
Kabar baiknya, kini pengelolaan gambut
diharapkan lebih baik seiring kemunculan PP No 57/2016 awal November 2016.
Revisi dari PP No 71/2014 yang terbit dua tahun lalu itu memberi aturan main
lebih jelas soal sanksi bagi perusakan gambut.
Saatnya bersama-sama melangkah serius sebelum
tiba saat di mana cuaca ekstrem dengan El Nino muncul lagi. Jangan sampai
semua yang sudah direncanakan sia-sia dan ribuan atau jutaan orang, termasuk
anak-anak, dipaksa lagi menghirup kabut asap berbahaya.
Tahun 2017 adalah ujian, sejauh mana
pemerintah dan negara melindungi bangsa dan dunia dari praktik bermasalah
dalam mengelola lahan rawa gambut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar