Memberantas
Terorisme
Azyumardi Azra ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat
Kemitraan/Partnership (untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia)
|
KOMPAS, 27 Desember
2016
"Terrorism will spill
over if you don't speak up."
(Malala Yousafzai, Peraih Nobel Perdamaian
2014)
Indonesia
tampaknya masih jauh dari bebas ancaman terorisme. Meskipun Indonesia disebut
kalangan internasional sebagai salah satu negara paling berhasil memberantas
terorisme, jelas mereka yang siap melakukan aksi terorisme masih
bergentayangan di berbagai penjuru negeri ini.
Gejala
ini terlihat jelas dari sejumlah peristiwa terkait terorisme sepanjang
Desember 2016. Beberapa rencana teror dapat digagalkan Detasemen Khusus 88
Antiteror Polri. Keberhasilan Densus 88 menggagalkan aksi terorisme mencegah
jatuhnya korban sia-sia sekaligus menyelamatkan negara dari dampak terorisme
yang sangat merugikan.
Penggagalan
rencana aksi terorisme terakhir terjadi pada 25 Desember ketika Densus 88
menggerebek rumah apung di Waduk Jatiluhur yang berisi terduga teroris.
Densus 88 juga melakukan penggerebekan di beberapa tempat lain di Jawa Barat.
Jaringan sel teroris ini berencana meledakkan bom menjelang pergantian tahun.
Dua terduga teroris tewas karena melakukan perlawanan.
Rabu
(21/12), Densus 88 melakukan operasi di rumah kontrakan terduga teroris di
Kampung Curug, Setu, Tangerang Selatan. Dua dari tiga teroris tewas dalam
baku tembak. Hari yang sama, Densus 88 juga menangkap terduga teroris di tiga
lokasi: Payakumbuh, Sumatera Barat; Deli Serdang, Sumatera Utara; dan Batam,
Kepulauan Riau. Sepuluh hari sebelumnya, Sabtu (10/12), Densus 88 juga
menggerebek rumah kontrakan terduga teroris di Bintara, Bekasi. Terkait
terduga teroris itu, aparat kepolisian juga melakukan penangkapan di Solo.
Ketiga
peristiwa ini menambah panjang daftar aksi dan rencana aksi teror sepanjang
2016. Aksi terorisme 2016 dimulai dengan bom bunuh diri di sekitar Plaza
Sarinah, Jakarta, 14 Januari, yang menewaskan 4 pelaku dan 4 warga sipil.
Setelah itu terjadi beberapa aksi teror relatif kecil.
Meskipun
sepanjang 2016 tidak terjadi aksi teror yang menewaskan korban dalam jumlah
besar, jelas rencana aksi teror untuk menewaskan warga dalam jumlah besar
tetap ada. Hal itu terungkap dari 40 terduga teroris yang ditangkap Densus 88
di beberapa tempat.
Lagi-lagi,
walau tidak terjadi aksi teror berskala besar, penting dicermati gejala baru
yang berkembang. Pertama, adanya calon pengebom bunuh diri perempuan, Dian
Yulia Novi, yang tertangkap dalam kasus Bintara. Kedua, semakin banyak di
antara terduga teroris yang berusia di bawah usia 18 tahun (Kompas, 24/12).
Gejala
ini mengindikasikan bahwa perekrutan calon teroris kian meluas; mencakup
perempuan dan anak-anak. Kedua kelompok ini jelas merupakan bagian masyarakat
paling rawan terkontaminasi paham dan praksis ekstrem, radikal, dan
teroristik.
Kenapa
terorisme bertahan di Tanah Air? Tak ada penjelasan tunggal yang memadai
menjelaskannya. Terorisme merupakan amalgamasi dan kombinasi berbagai faktor
yang bekerja menjerumuskan orang tertentu -termasuk ke dalam "kelompok
rawan"-ke dalam paham dan praksis teroristik. Meskipun demikian,
beberapa faktor utama dapat diidentifikasi. Selama faktor-faktor utama ini
tidak atau belum bisa diatasi, bisa diduga bakal selalu ada orang yang
terjerumus ke dalam paham dan praksis terorisme.
Faktor
utama adalah berlanjutnya kekerasan dan perang di dunia Arab, terutama
terkait Islamic State/IS (atau DaulahIslamiyah/DaIs yang sebelumnya dikenal
ISIS/Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS).
Sejak NIIS muncul pada 2013, cukup banyak kalangan Muslim di berbagai penjuru
dunia-tak hanya di dunia Muslim, termasuk di Indonesia, juga di dunia Barat-
yang berbaiat kepada pemimpin NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, yang mengklaim
sebagai pendiri khilafah atau daulah Islamiyah.
Kekalahan
atau kemunduran gerak IS di sejumlah tempat bukan membuat surut keinginan
kalangan Muslim tertentu, melainkan masih banyak yang ingin bergabung dengan
IS. Gejala ini terlihat dari intersepsi yang dilakukan aparat keamanan, baik
di Turki, Indonesia, maupun negara lain.
Di
Indonesia, mereka yang ingin bantu IS membangun jaringan kelompok yang mereka
sebut Jamaah Ansharut Daulah (Kelompok Pembela Daulah). Banyak terduga
teroris yang digerebek Densus 88 berafiliasi dengan JAD. Jelas, JAD bukan
satu-satunya kelompok radikal dan teroristik di Tanah Air.
Mengingat
IS, konflik dan perang lain yang terus membara di dunia Arab menjadi sumber
motivasi dan inspirasi bagi segelintir orang melakukan "jihad"
teroristik, tidak ada jalan lain kecuali mengakhiri pertumpahan darah di
kawasan itu. Upaya menciptakan perdamaian-yang tampaknya mesti lewat
pendekatan militer-menjadi keharusan.
Terkait
faktor utama ini adalah berkembang atau bertahannya teologi atau ideologi
kekerasan yang mencakup takfiri, hijrah, dan jihad. Teologi ini menjadi
justifikasi keagamaan untuk melakukan aksi teror.
Dalam
konteks itu, Indonesia sepatutnya bisa memainkan peran lebih besar dalam
membangun kembali perdamaian di dunia Arab atau kawasan Muslim lain-seperti
Afganistan-yang menjadi sumber ilham atau motif bagi orang tertentu untuk
jihad te- roristik. Indonesia tidak perlu terlibat dalam aksi militer, tetapi
melakukan diplomasi total dengan penggunaan soft power.
Pada
saat sama, kaum Muslim arus utama, pemimpin, dan politisi perlu bersuara
lantang melawan terorisme. Bukan sebaliknya mengeluarkan pernyataan bernada
merestui (condoning) terorisme semisal bahwa pemberantasan terorisme sekadar
"pengalihan isu" atau "konspirasi Barat".
Pemberantasan
terorisme bukan hanya tanggung jawab Densus 88, melainkan juga pemimpin dan
warga pencinta damai secara keseluruhan. Jika tidak, seperti ditegaskan
Malala Yousafzai, Muslimah muda asal Pakistan, peraih Nobel Perdamaian 2014,
terorisme dapat meluber ke mana-mana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar