Teknologi
Memaksa Perbankan Beradaptasi
A Handoko ; Wartawan
KOMPAS
|
KOMPAS, 21 Desember
2016
Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang sangat cepat memaksa industri perbankan beradaptasi. Bank
yang terlambat menyesuaikan diri akan tertinggal.
Tahun ini, salah satu bank milik negara, PT
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, meluncurkan satelit (BRISat) untuk
mendukung layanan komunikasi dan digital. BRI adalah satu-satunya bank di
dunia yang memiliki satelit sendiri.
Pameran BRI Indocomtech beberapa waktu lalu
dan gerai BRI Digital di Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta sudah
didukung oleh layanan BRISat. Direncanakan pada semester I-2017, BRISat akan
mendukung penuh semua operasional BRI. Saat ini, peralihan layanan dari provider
akan dilakukan secara bertahap hingga akhirnya BRISat beroperasi penuh.
Sebelumnya, layanan komunikasi dan data BRI
itu diperoleh dari provider. Anggaran yang dikeluarkan BRI untuk membiayai
layanan komunikasi dan data itu sangat besar, sekitar Rp 600 miliar pada
2015. Biaya komunikasi itu biasanya meningkat hingga 10 persen per tahun.
Bergerak linear
Dengan pengoperasian satelit milik sendiri,
BRI tidak perlu mengeluarkan biaya sewa kepada pihak ketiga. Biaya investasi
untuk membeli satelit sekitar Rp 2,6 triliun dengan masa pakai hingga 15
tahun dan bisa diperpanjang menjadi 17 tahun. Pengoperasian BRISat jelas akan
mengefisiensi biaya.
BRI punya 128.000 pegawai yang tersebar di
10.500 unit kerja di sejumlah wilayah. Mereka secara berkala mendapatkan
pelatihan peningkatan kemampuan di Balai Pendidikan dan Latihan BRI di
Jakarta. Ongkos yang diperlukan untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM) itu sangatlah besar. Dengan mengoperasikan satelit sendiri, BRI
bisa mengurangi frekuensi tatap muka untuk peningkatan kualitas SDM, lalu
menggantinya dengan menggunakan fasilitas video streaming.
Respons BRI terhadap perkembangan teknologi
ini merupakan salah satu contoh menarik. Di tengah persaingan perbankan yang
mulai ketat, kecepatan dan ketepatan respons bank terhadap perubahan
sangatlah menentukan. Hanya bank-bank yang efisien yang akan terus bisa
memupuk laba dengan optimal, sementara bank-bank yang jalan di tempat akan
kehilangan momentum.
Tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan
juga semakin berat karena pemulihan ekonomi belum optimal. Pertumbuhan
ekonomi sepanjang tahun ini memang diperkirakan akan lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 4,79 persen. Namun, perkiraan
pertumbuhan ekonomi tahun ini di sekitar 5 persen tidak cukup kuat untuk
mendorong sektor riil.
Industri perbankan adalah bisnis yang follow
demand,bergerak linear dengan permintaan konsumen. Secara alamiah, bank tak
bisa mendorong ekspansi kredit kalau memang permintaan dari sektor riil tidak
ada. Risiko bagi bank terlalu besar jika harus mendorong kredit di atas
permintaan sektor riil. Kredit yang tak berkualitas justru akan menjadi
kredit bermasalah (NPL) di kemudian hari.
Sekalipun sudah melalui prosedur yang standar,
tak sedikit bank yang mengalami kenaikan NPL. Hal ini disebabkan oleh
terpuruknya sejumlah sektor akibat jatuhnya harga komoditas di pasar dunia.
Bank-bank yang memiliki portofolio besar di sektor komoditas rata-rata
mengalami hal yang sama.
Pertumbuhan kredit
Lemahnya permintaan sektor riil tak hanya
tecermin dari pertumbuhan kredit industri perbankan yang relatif rendah
sepanjang tahun ini, tetapi juga fasilitas kredit yang belum ditarik
(undisbursed loan) nasabah. Rilis Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pekan
lalu menunjukkan, pertumbuhan kredit industri perbankan pada Oktober 2016
tercatat sebesar 7,5 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan September 2016
sebesar 6,5 persen.
Adapun fasilitas kredit yang belum ditarik
nasabah pada September 2016 tercatat Rp 1.277,5 triliun, meningkat daripada
Agustus 2016 sebesar Rp 1.265,87 triliun dan Juli 2016 sebesar Rp 1.245,78
triliun.
Sejak awal tahun, tren profitabilitas industri
perbankan cenderung landai jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya. Pada Juli 2016, laba bersih industri perbankan setelah taksiran
pajak tercatat Rp 64,85 triliun, naik daripada Juli 2015 sebesar Rp 59
triliun. Pada Agustus 2016, keuntungan bersih menjadi Rp 74,6 triliun, naik
daripada Agustus 2015 sebesar Rp 69, 3 triliun. Pada September 2016,
keuntungan tercatat Rp 85,8 triliun, meningkat dari September 2015 sebesar Rp
78,2 triliun.
Tantangan yang akan dihadapi industri
perbankan pada 2017 tidak akan jauh berbeda: bersumber dari ketidakpastian
pasar global, masih relatif rendahnya harga berbagai jenis komoditas, dan
masih lemahnya permintaan. Kondisi normal baru memiliki ciri perubahan sangat
cepat dan bisa jadi tak terduga. Bahkan, banyak kalangan menyebutkan, kondisi
normal baru adalah kondisi yang serba tidak pasti.
Harga komoditas yang masih rendah akan
berdampak pada permintaan sektor riil yang lemah. Pelemahan daya beli tak
hanya terjadi di sentra komoditas seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi,
tetapi juga di pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas ekonomi di Jawa. Pelemahan
yang semula hanya ada di sentra komoditas kini mulai merembet ke industri
manufaktur yang sebagian besar berlokasi di Pulau Jawa.
Perubahan kondisi seperti ini menuntut
perubahan cara pandang bank terhadap perekonomian. Era pertumbuhan kredit dan
pertumbuhan laba yang sangat tinggi barangkali sudah berakhir. Kini saatnya
industri perbankan untuk mulai membiasakan diri menghadapi kenyataan
pertumbuhan kredit yang landai dan pertumbuhan keuntungan yang tidak
signifikan.
Walaupun pertumbuhan kredit dan laba tak lagi
setinggi ketika era kejayaan komoditas, pertumbuhan di sektor perbankan
justru makin berkualitas karena tidak bias dengan pemicu pertumbuhan yang tak
berkualitas. Justru dalam jangka panjang, pertumbuhan yang moderat itu yang
akan menghidupi bank. Namun, hal ini tentu harus didukung oleh praktik bisnis
yang efisien.
Apalagi, kebijakan moneter Bank Indonesia
cenderung lebih longgar sehingga sumber dana bisa makin murah. Dengan
demikian, bank bisa menurunkan suku bunga kredit ke arah yang lebih masuk
akal. Baru kredit usaha rakyat (KUR) yang sudah turun hingga 9 persen per
tahun dari beberapa tahun lalu sekitar 20 persen karena subsidi pemerintah.
Sementara suku bunga komersial masih di kisaran 13 persen per tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar