Kekuasaan
yang Korup dan Disalahgunakan
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Universitas Pasundan
|
KORAN SINDO, 26 Desember
2016
Kekuasaan
bukan benda berwujud melainkan benda tidak berwujud. Bahkan sesuatu yang
tidak tampak nyata melainkan tampak dari perilaku ”pemiliknya”. Kepemilikan itu pun hanya dilekatkan oleh
undang-undang kepadanya, akan tetapi jelas bagi umat beragama, kekuasaan itu
amanah yang telah diberikan kepada pemiliknya atas kuasa Tuhan YME, bukan
pewarisan dari generasi ke generasi. Karena itulah, secara alamiah kekuasaan
hanya ada pada segelintir orang di antara 250 juta penduduk. Oleh karena itu,
sesungguhnya kekuasaan, baik yang ada di eksekutif, legislatif maupun
eksekutif, seharusnya disadari betul bahwa mereka adalah orang yang beruntung
lagi memperoleh hidayah dari Tuhan YME, selain karena latar belakang keilmuan
dan kompetensi dan suksesnya dalam bidang ilmu.
Kekuasaan
dalam makna yang paling netral dan jujur adalah tidak dihasilkan dari kolusi
dan nepotisme, apalagi karena gratifikasi atau suap. Kekuasaan yang diraih
dengan cara terakhir ini, dipastikan tidak berlangsung lama. Bahkan akan
mengalami kegalauan dan ambiguitas, serta akan selalu mencari celah hukum
untuk mengembalikan harta kekayaan yang telah ”ditukar” dengan kekuasaan yang
kini dimilikinya. Kekuasaan dengan cara tercela ini akan selalu berakhir
dengan kegagalan. Kekuasaan yang diperoleh bukan karena keilmuan, kompetensi
dan rida Allah SWT pasti hancur di tengah jalan. Namun jangan selalu
digeneralisasi, karena khususnya di Indonesia justru kekuasaan penuh
kontroversi.
Pemilik
kekuasaan yang amanah, jujur dan memiliki integritas, dan sudah banyak yang
terperosok ke dalam lumpur kehinaan hanya karena serbakebetulan alias apes,
bahkan karena ”dijerumuskan” oleh sistem kerja yang buruk di dalam lingkungan
kerjanya. Peristiwa apes juga sering terjadi disebabkan budaya koruptif yang
sudah melembaga dan menahun di dalam organisasi pemerintahan, baik dari pusat
maupundidaerah, mengapabisa melembaga dan menahun?
Budaya
koruptif bisa terjadi karena pewarisan perilaku ”abdi dalem” masa kerajaan
nusantara dahulu kala, atau upeti yang merupakan tanda loyalitas pada sang
raja (penguasa) dan belum berhenti sampai saat ini, terang-terangan atau
terselubung. Keadaan abad modern saat ini bahkan muncul istilah hukum,
pemerasan, yang biasa terjadi dari oleh atasan kepada bawahan atau penguasa
kepada yang memerlukan kekuasaanuntuktujuanmenguntungkan diri sendiri.
Sesungguhnya
budaya koruptif sampai pada pemerasan yang telah dan sedang terjadi sampai
saat ini. Tidak dapat dicegah dengan cara-cara hukum, semata-mata karena
hukum hanya menjangkau peristiwa ex ante dan mencari efektivitas, tetapi
tidak berorientasi pada akar masalah dan dampak dari suatu peristiwa. Hukum
hanya memenuhi target pencapaian khusus penegakan hukum yang berujung
memenuhi penjara. Tetapi bersamaan dengan itu, merugikan secara signifikan anggaran
negara semakin lama terpidana di dalam penjara, semakin tinggi biaya negara
untuk ”memelihara” terpidana.
Penegakan
hukum dengan kekuasaan hukum dalam pengamatan penulis, apalagi berujung di
penjara, dalam kenyataan tidak menimbulkan efek jera signifikan. Terbukti
siklus residivisme tetap saja terjadi, bahkan setiap minggu-minggu ini bebas
dari penjara, minggu yang akan datang masuk kembali ke penjara, bukan
pemandangan yang aneh dan ganjil dalam kehidupan penjara. Ibaratnya, proses
mencari dan menemukan keadilan yang dicita-citakan sejak zaman Yunani —oleh
Socrates dan muridnya Plato, kemudian dikembangkan oleh Aristoteles—
merupakan fatamorgana, terutama dan khususnya di dalam kehidupan hukum bangsa
Indonesia.
Sering
kita saksikan, mereka yang dikenal integritas, kejujuran dan usahawan yang
telah mempraktikkan prinsip ”good corporate governance” bisa terperosok ke
dalam sistem peradilan pidana. Sebaliknya aparatur hukum yang berperilaku
tercela dan melanggar hukum tetap saja dengan amannya melaksanakan tugas
selaku ”aparatur hukum”; ibaratnya penegakan hukum oleh penegak hukum tercela
untuk memenjarakan orang yang telah berbuat tercela dan melanggar hukum.
Bagaimana
merumuskan dan melafalkan keadaan yang tragis ini sulit dan tidak mudah,
tetapi kenyataan pengadilan terhadap DI, FS, SDA, dan masih banyak ”korban”
kekuasaan hukum merupakan bukti bahwa hukum tidak hanya tumpul ke bawah akan
tetapi bisa tajam samping kanan atau kiri kita. Kondisi penegakan hukum ini
telah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, bahkan
ketidakmanfaatan sebagaimana yang disampaikan dalam nota eksepsi DI di
pengadilan Surabaya: ”.. gaya (aparatur hukum) seperti itu, Yang Mulia, yang
membingungkan masyarakat.
Masyarakat
yang modal utamanya adalah hati nurani dan akal sehat dibuat bingung karena
disuguhi oleh ulah (aparatur hukum) yang seperti itu. Yakni bagaimana mengobjekkan
korupsi demi kerakusan politik, kerakusan jabatan maupun kekuasaan harta.
Dengan ulah (aparatur hukum) seperti itu, Yang Mulia, masyarakat bisa apatis.
Bahkan masyarakat akhirnya percaya pada istilah nasib-nasiban lagi salah
mongso atau lagi dimangsa. Atau hanya karena tidak mau menyogok, atau bahkan
karena tidak mampu menyogok”.
Curhat
gaya DI di hadapan majelis hakim PN Surabaya, juga curhat lebih banyak lagi
tersangka/terdakwa merupakan cermin kondisi penegakan hukum yang berorientasi
pada kekuasaan semata-mata tanpa nurani dan tanpa keadilan. Benar juga
pendapat Mochtar Kusumaatmadja, bahwa ”hukum tanpa kekuasaan, adalah
angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki”. Bahkan hukum
tanpa kekuasaan dan kekuasaan tanpa hukum adalah bencana ketidakadilan dan
kesengsaraan lahiriah dan batiniah.
Dalam
keadaan sedemikian itulah maka adagium yang tepat: power tends to corrupt and to abuse, and absolute power and abuse
tends to corrupt absolutely and abusively. Sifat kekuasaan ini berlaku
universal karena bersamaan dengan karakter manusia baik sebagai individu
maupun sebagai suatu kelompok; dari dan di dalam menjalankan kekuasaan itulah
tercermin karakter dan perilaku sebenarnya setiap individu atau kelompok
pemegang kekuasaan itu; bukan pada saat berkampanye untuk meraih kekuasaan.
Ada pendapat bahwa janji kampanye politik satu hal dan untuk mewujudkannya
lain hal.
Begitulah
pedoman kaum politisi sehingga tidak heran dan tidak perlu kecewa jika janji
politik kampanye hanya berhasil diwujudkan tidak mencapai 0,5% dari seluruh
janjinya, selebihnya tarik menarik kepentingan kelompok atau partai politik
saja. Contoh nyata janji politik untuk (kesejahteraan dalam arti luas) rakyat
kecil (wong cilik) di dalam kehidupan politik di Indonesia sejak Soekarno
sampai saat ini belum juga dapat diwujudkan. Ilmu pengetahuan juga merupakan
simbol kekuasaan negara contoh, negara dengan banyak ahli nuklir termasuk
”pemilik kekuasaan dunia” sampai saat ini.
Dalam
lingkup mikro domestik, para ahli ilmu pengetahuan adalah pemilik kekuasaan
sesuai dengan kompetensi keilmuannya, sekalipun ciri ilmu pengetahuan adalah
kebenaran baik secara teoritik maupun secara empiris. Dalam praktik hukum di
Indonesia, bisa terjadi kebenaran dijual demi uang dan kedudukan atau hanya
hendak dipandang populis. Dengan kata lain telah terjadi praktik ”pelacuran
ilmu” yang sangat tragis dan menampakkan masa depan yang kelam hitam di
tengah upaya sebagian terbesar rakyat mendambakan keadilan, kepastian dan
kemanfaatan bagi jalan hidupnya.
Kolaborasi
kekuasaan yang rakus (greedy) dalam
praktik penegakan hukum sudah sangat sempurna dan telah dilaksanakan secara
sistematis dan terorganisasi diperkuat oleh pelacuran ilmu dan kebenaran sehingga
kebulatan tekad kaum dajal berhasil niatnya menghancurkan bangsa ini bukan
saja dari aspek fisik tetapi juga aspek moralitas generasi bangsa. Jika
demikian tragisnya, apa lagi yang masih tersisa dari cita kehidupan duniawi
ini yang bermaslahat bagi bangunan bangsa yang disebut Indonesia ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar