Memastikan
Pembaruan Hukum
Saldi Isra ; Profesor
Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA INDONESIA,
23 Desember 2016
BAGI masyarakat yang terus bergerak maju, pergantian
tahun merupakan momentum melakukan evaluasi tentang apa saja yang telah
dilakukan dalam satu tahun berjalan. Tak sebatas evaluasi, pergantian tahun
sekaligus merupakan kesempatan untuk menegaskan komitmen pada tahun
mendatang. Dalam batas penalaran yang wajar, kedua momentum tersebut
dilakukan agar tahun mendatang menjadi lebih baik daripada tahun yang segera
berlalu.
Di antara himpunan masalah bernegara,
persoalan hukum dan penegakan hukum menjadi salah satu yang selalu menjadi
bidikan evaluasi akhir tahun. Tidak terbantahkan, bidikan tersebut tidak
terlepas dari posisi sentral hukum dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan
negara. Apalagi pada 2016, persoalan hukum menjadi salah satu topik sentral
yang didorong untuk mendapat perhatian lebih dari pemerintahan Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebagaimana diketahui, sejak awal
memerintah hingga penghujung 2015, pemerintah lebih fokus melakukan
konsolidasi politik dan percepatan agenda ekonomi. Karena itu, agenda hukum
berjalan tertatih-tatih dan tertinggal jauh. Padahal, publik membaca dengan
jelas betapa eksplisit janji Jokowi-JK dalam Nawa Cita. Ihwal agenda hukum,
dijanjikan akan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi hukum
dan penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
Dalam Nawa Cita, agenda hukum diuraikan berupa
membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada
pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia (HAM), dan reformasi
lembaga penegak hukum. Khusus prioritas pemberantasan korupsi dilaksanakan
secara konsisten dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, Jokowi-JK berjanji untuk memberantas mafia peradilan yang
telah sejak lama menjadi penyakit kronis penegakan hukum.
Beruntung di tengah kondisi tersebut, sejak
medio 2016, pemerintahan Jokowi mulai menoleh kepada agenda hukum. Tidak
tanggung-tanggung, pemerintah tengah mempersiapkan peta jalan reformasi
hukum. Intinya, pembenahan akan difokuskan pada wilayah substansi hukum dan reformasi
aparat penegak hukum. Pilihan wilayah substansi dan penegak hukum tersebut
diharapkan mampu menyelesaikan kesengkarutan wajah hukum yang telah sejak
lama melilit. Bahkan secara vertikal, dalam hubungan pusat dan daerah,
Kementerian Dalam Negeri mulai menggebrak dengan serangkaian agenda yang
berujung pada koreksi atas substansi produk hukum daerah.
Substansi hukum
Sekalipun di dalam Nawa Cita dijanjikan untuk
membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada
pemberantasan korupsi, penegakan HAM, dan reformasi lembaga penegak hukum,
sepanjang 2016 tak banyak perubahan substansi hukum. Padahal sudah sejak lama
diketahui, di antara penyebab kesengkarutan wajah hukum dan wajah penegakan
hukum disebabkan banyak aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi,
tidak harmonis, dan bertentangan antara satu dan yang lainnya.
Khusus wilayah pemberantasan koruspsi, jamak
diketahui, banyak substansi hukum yang memberi kontribusi besar atas
kegagalan menghentikan gurita praktik koruptif. Sejumlah aturan hukum seperi
memberi peluang untuk melakukan praktik korupsi. Sebagaimana sering saya
kemukakan, dalam praktik, substansi hukum yang lemah bertaut dengan lemahnya
komitmen sebagian penegak hukum kepada agenda pemberantasan korupsi. Tidak
hanya itu, substansi hukum di antara sesama penegak hukum banyak yang tidak
harmonis. Akibatnya, agenda pemberantasan korupsi acap kali menimbulkan
praktik korupsi baru di lingkungan penegak hukum. Tak mungkin dibantah,
banyaknya penegak hukum yang terjerat kasus korupsi, di antaranya dipicu
kelemahan substansi hukum.
Melihat kondisi tersebut, banyak kalangan
berharap proses legislasi bergerak cepat menutup kelemahan substansi di
wilayah penegakan hukum termasuk di dalam agenda pemberantasan korupsi. Namun,
harapan banyak pihak tak ubahnya seperti si pungguk rindukan bulan. Jamak
diketahui, proses legislasi selama tiga tahun terakhir berjalan lamban.
Akibatnya, agenda hukum dan penegakan hukum benar-benar jalan di tempat.
Padahal, merujuk konstitusi, proses legislasi tidak mungkin terjadi jikalau
DPR dan presiden tidak memiliki pandangan yang sama.
Berkaca dari pengalaman beberapa tahun
terakhir, disadari bahwa tak semua kegagalan fungsi legislasi harus disesali.
Paling tidak, batalnya rencana revisi Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK
menjadi sesuatu yang harus disambut baik dan sekaligus disyukuri. Sulit
dibayangkan, sekiranya Presiden Jokowi juga memiliki cara pandang dan
keinginan yang tak berbeda dengan sejumlah partai politik di DPR, KPK pasti
telah mengalami proses pembonsaian secara serius. Untungnya, komitmen
memberantas korupsi dilaksanakan secara konsisten dengan tetap memperkuat KPK
dalam Nawa Cita membentengi Presiden Jokowi.
Penegak hukum
Institusi penegak hukum merupakan unsur
penting yang turut menentukan tercapai tidaknya tujuan hukum. Bahkan, unsur
ini menempati posisi yang paling dominan jika dibandingkan dengan subsistem
hukum lainnya. Dikatakan demikian karena sebaik apa pun aturan dirumuskan, ia
tidak akan terlaksana bila tidak ditopang penegak hukum yang tidak
profesional dan tidak amanah. Sebaliknya, meski substansi hukum mengandung
banyak kelemahan, bila didukung penegak hukum yang profesional dan amanah,
hukum akan menjadi solusi bagi berbagai persoalan yang ada.
Dominannya peran penegak hukum dalam mencapai
tujuan penegakan hukum juga terkonfirmasi dari sejumlah ruang subjektif dalm
penegakan hukum. Mekanisme penegakan hukum memang telah diatur sedemikian
rupa agar kepastian hukum bagi siapa pun yang berhadapan dengan proses penegakan
hukum dapat dijamin. Namun, tetap saja terbuka ruang yang tidak mampu
dijangkau secara detail sehingga ruang subjektivitas menjadi sulit
dihindarkan. Dalam batas-batas tertentu, ruang subjektivitas yang seharusnya
dapat digunakan untuk mewujudkan keadilan substantif acap kali bergerak liar
di luar tujuan penegakan hukum.
Berdasarkan penjelasan tersebut, ruang
subjektivitas bagaikan pisau bermata dua. Pada satu sisi ia dapat digerakkan
ke arah mewujudkan keadilan substanstif di dalam penegakan hukum, tetapi di
sisi lain membuka kesempatan untuk terjadinya penyimpangan. Ihwal ini, ruang
subjektif untuk mewujudkan keadilan hanya dapat dilakukan penegak hukum yang
profesional dan amanah. Sebaliknya, ruang itu akan disalahgunakan jika
penegak hukum diisi kalangan yang tidak profesional dan tidak menjaga
integritas. Artinya, profesionalitas dan integritas penegak hukum menjadi
kata kunci untuk tegak dan tercapainya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
sebagai tujuan hukum.
Sayangnya, masalah profesionalitas dan
integritas penegak hukum masih saja persoalan pelik yang belum mampu
terpecahkan dengan baik. Menilik bentangan yang tersaji selama ini, penegak
hukum yang seharusnya menjaga muruah penegakan hukum malah turut serta
merubuhkan kepercayaan terhadap hukum. Tertangkapnya sejumlah jaksa dan
polisi dalam kasus korupsi serta sejumlah aparat di lingkungan pengadilan
sepanjang 2016 merupakan bukti nyata bahwa institusi dan aparat penegak hukum
sarat masalah. Semua itu diyakini hanyalah puncak gunung es dari praktik
tidak profesional dan penyalahgunaan wewenang di institusi penegak hukum.
Apabila diletakkan dalam konteks yang lebih
luas, kondisi yang digambarkan di atas akan menyebabkan kepercayaan publik
terhadap hukum pudar. Hukum tidak lagi dipercaya sebagai jalan keluar atas
masalah yang dihadapi. Dalam hal masyarakat memiliki persepsi buruk terhadap
hukum dan proses penegakannnya, tindakan main hakim sendiri (street justice)
menjadi ancaman serius. Proses penegakan hukum akan diintervensi masyarakat
dalam berbagai bentuk tindakan yang mereka lakukan. Pada gilirannya,
penegakan hukum dengan mudah terperosok sekadar memenuhi desakan atau
tekanan, bukan lagi didasarkan atas proses pembuktian yang memang
mengharuskan seseorang mesti diajukan ke hadapan persidangan.
Memastikan pembaruan
hukum
Semua cacatan kritis terhadap substansi hukum
dan penegak hukum di atas dengan mudah dapat ditambah. Agar tidak terlalu
meratapi masalah akut tersebut, momen pergantian tahun harusnya dijadikan
sebagai modal untuk mendorong mewujudkan komitmen pembaruan hukum. Secara
sistematis, langkah ke arah itu dimulai dengan cara merevisi substansi hukum
yang tidak mampu mendukung perbaikan wajah hukum dan sekaligus wajah
penegakan hukum. Ihwal ini, komitmen Presiden Jokowi berupa perbaikan politik
legislasi segera diwujudkan di 2017.
Tidak cukup substansi hukum, langkah konkret
bergerak dengan percepatan reformasi total lembaga/aparat penegak hukum.
Reformasi total tersebut diarahkan pada upaya membangun mentalitas aparatur
penegak hukum. Bagi Presiden Jokowi, langkah paling sederhana, 2017 harus
dijadikan tahun memastikan perubahan total di institusi kepolisian dan
kejaksaan. Banyak kalangan percaya, jikalau di dua lembaga yang berada di
bawah kuasa Presiden ini terjadi perubahan total, wajah hukum dan wajah
penegakan hukum akan lebih baik.
Tanpa itu, kepercayaan masyarakat sulit diraih
jika lembaga penegak hukum masih dihuni apara bermental korup. Artinya,
pembenahan total mesti menjadi skala prioritas pemerintahan Jokowi-JK pada
tahun mendatang. Bilamana itu terjadi, pengadilan akan dipaksa melakukan
perbaikan dengan sendirinya. Percayalah, apabila kita gagal mengembalikan
kepercyaan terhadap hukum dan penegakan hukum, gagasan negara hukum segera
menjadi bangkai. Karena itu, di 2017 harus dipastikan terjadinya pembaruan
hukum secara mendasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar