Menebarkan
Optimisme
DKA/RAM/PRA/JUM/JAN ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 23 Desember
2016
Setelah terpuruk cukup lama, Desember ini
harga batubara acuan melonjak lagi menjadi 110,69 dollar AS per metrik ton.
Kenaikan tersebut seolah menjadi hadiah penutup tahun 2016, sekaligus sebagai
modal bagi pelaku usaha penambangan batubara untuk memulai tahun 2017 dengan
penuh optimisme.
Keterpurukan harga bahan tambang ini hingga
mencapai 40 dollar AS per metrik ton telah membuat perekonomian goyah. Sentra
produksi, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan,
terpukul. Saham sejumlah perusahaan tambang batubara merosot tajam. Pemutusan
hubungan kerja (PHK) karyawan, ribuan usaha kecil ditutup, jutaan orang
menganggur. Implikasinya adalah kriminalitas pun meningkat.
Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara,
misalnya, sejak harga batubara terguncang tahun 2013, hampir 600 perusahaan
dari total sekitar 1.100 perusahaan tambang gulung tikar dan mati suri.
Sekitar 25.000 orang kehilangan pekerjaan.
"Hampir semua pengusaha tambang skala
kecil dan menengah yang usahanya sempat terhenti, berat untuk bangkit. Banyak
alat berat telanjur ditarik pihak leasing (pemberi pinjaman)," ujar
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo.
Kondisi itu semakin berat karena perbankan pun
meragukan kemampuan pengusaha batubara mengangsur pinjaman. Menurut Bendahara
Apindo Kaltim Herjon Song Hadinata, sejak pertengahan 2016, tidak ada bank,
juga pemberi pinjaman, yang berani mengabulkan permohonan kredit pengusaha
tambang. "Itu pukulan berat bagi pelaku usaha tambang batubara,"
katanya.
Dampak dari harga jatuh membuat volume
produksi batubara di Sumatera Selatan pun turun. Jika tahun 2015 mencapai
32.808.867,97 ton, selama Januari-Oktober 2016, produksi hanya 24.151.147, 88
ton. Pada tahun 2016, dari 40 perusahaan yang memperoleh izin produksi di
Sumatera Selatan, ternyata hanya 30 perusahaan yang berproduksi.
Dampak lain adalah jumlah pengangkut batubara
semakin berkurang. Tahun 2014, beroperasi 3.000 angkutan batubara di Sumsel,
tahun 2016 berkurang menjadi 1.500 angkutan karena mereka merugi.
Secara nasional pun produksi merosot. Data
Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam menyebutkan, potensi batubara
nasional yang bisa ditambang mencapai 8 miliar ton atau 1,2 persen dari total
cadangan dunia. Produksi tahun 2014, misalnya, 435 juta ton atau turun 39
juta ton dibandingkan produksi tahun 2013 mencapai 474 juta ton. Penyerapan
dalam negeri berkisar 17-20 persen, selebihnya diekspor.
Geliat baru
Peningkatan harga batubara saat ini mencapai
110,69 dollar AS per metrik ton atau mendekati harga tahun 2011 sebesar 118,4
dollar AS menjadi pemicu bagi kebangkitan usaha tambang batubara. Apalagi
diyakini perkembangan ini bukan bersifat temporer. Sebab, faktor pemicu
kenaikan harga itu antara lain Tiongkok mengurangi produksi batubara dalam
negeri karena biaya pengangkutannya lebih tinggi daripada biaya impor.
Bahkan, India pun membutuhkan pasokan batubara dalam jumlah besar untuk
kebutuhan pembangkit listrik skala besar yang baru selesai dibangun. Kedua
negara tersebut selama ini merupakan tujuan utama ekspor batubara.
Bagi Indonesia, membaiknya harga menjadi angin
segar bagi pelaku usaha di sektor pertambangan batubara untuk menggeliatkan
bisnisnya. Termasuk berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah,
seperti Kalimantan Selatan, yang selama ini sangat ditopang oleh sektor
pertambangan batubara.
Sejumlah perusahaan pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) mulai hidup kembali. Karyawan yang sebelumnya dirumahkan
dipanggil kembali untuk bekerja. Sektor usaha pendukung, seperti sewa
kendaraan dan alat berat, juga beroperasi lagi. "Ini selanjutnya juga
berdampak pada berbagai sektor UMKM, seperti usaha rumah makan, indekos, dan tambal
ban," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemegang Izin dan Kontraktor
Tambang (Aspektam) Kalsel Muhammad Solikin.
Kondisi itu diakui Sekretaris Perusahaan PT
Bukit Asam (PTBA) Adib Ubaidillah. Bagi dia, kenaikan ini tidak bisa menambah
produksi batubara karena ada regulasi dan keterbatasan moda transportasi.
"Sebenarnya, kami bisa mendorong produksi sampai 50 juta ton per tahun,
tetapi kami tak bisa menyalurkannya karena keterbatasan moda
transportasi," katanya.
Persoalan lain yang serius adalah meningkatnya
kesadaran global untuk mengurangi emisi karbon akan berpengaruh pada
permintaan batubara di masa depan. Pada Konferensi Perubahan Iklim (Conference of the Parties/COP) di
Paris pada akhir tahun 2015 mendorong negara-negara peserta untuk mengurangi
suhu global di bawah 2 derajat celsius. Salah satunya dengan mengurangi
konsumsi energi berbasis fosil. Salah satunya adalah batubara. Selain itu,
mulai mengoptimalkan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Saat ini dunia masih memiliki cadangan
batubara sekitar 890 miliar ton. Volume sebanyak itu bisa digunakan selama 65
tahun. Akan tetapi, jika kesepakatan Paris tersebut dilaksanakan, kurang
lebih 50 persen cadangan batubara itu takkan terpakai.
Tiongkok pun terus menekan konsumsi batubara
akibat polusi yang kian mengancam negeri itu. Sebuah studi yang dilakukan
beberapa tahun lalu menyimpulkan setiap tahun sekitar 1,6 juta orang
meninggal di Tiongkok akibat penyakit jantung, paru, dan stroke yang dipicu
polusi udara, terutama asap partikel kecil. Bahkan, emisi dari pembakaran
batubara yang digunakan sebagai sumber pembangkit listrik dan pemanas rumah
sebagai faktor terbesar dari polusi udara.
Inilah yang menjadi tantangan Indonesia tahun
2017. Itu sebabnya pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Lambung Mangkurat, Kalsel, Arief Budiman, mengingatkan pemerintah daerah
jangan sampai terlena dengan kenaikan harga batubara karena bisa saja itu
hanya sesaat. Apalagi, batubara merupakan sumber daya alam yang tidak bisa
diperbarui. "Untuk meningkatkan perekonomian daerah, pemda tetap harus
mencari alternatif lain dari sumber daya yang bisa diperbarui, misalnya
pariwisata. Pengembangan sektor alternatif itu harus mulai
dioptimalkan," ujarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar