Makna
Kembalinya Aleppo
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 21 Desember
2016
Pembunuhan Duta Besar Rusia untuk Turki,
Andrei Karlov, Senin (19/ 12), sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa proses
evakuasi yang tengah berlangsung di Aleppo Timur, Suriah akan terganggu.
Rusia dan Turki dengan segera mengambil sikap
yang konstruktif bahwa pembunuhan tersebut adalah tindakan teroris dan
mencoba mengganggu kerja sama yang dibangun antara Turki-Rusia- Iran dalam
menyelesaikan krisis di Aleppo Timur. Pembunuhan tersebut tampaknya justru
akan semakin menguatkan kerja sama antara negara-negara yang selama ini
dikenal saling bertolak belakang dalam kebijakan luar negeri terkait dengan
Suriah.
Minggu-minggu ke depan terutama saat masa lame
duck di Amerika Serikat hingga pelantikan Donald Trump sebagai presiden di
Januari 2017, adalah masa yang kritis bagi penyelesaian masalah di Suriah dan
wilayah lain yang saat ini sedang mengalami konflik. Apabila para pihak di
lapangan yang bertikai secara langsung dapat melakukan negosiasi dan
menghasilkan keputusan yang dapat diterima semua pihak, kita bisa berharap
masalah di Suriah dapat selesai sebelum presiden baru Amerika Serikat
memiliki pertimbangan lain yang dapat menimbulkan ketidakpastian baru di
Suriah.
Masa lame
duck di Amerika Serikat adalah masa ketika presiden yang berkuasa saat
ini, Barack Obama, sudah tidak dapat mengeluarkan keputusan yang bersifat
strategis karena presiden terpilih hasil pemilu, Donald Trump, belum
mendapatkan mandat sampai nanti disumpah sebagai presiden Januari nanti.
Artinya Presiden Obama tidak dapat mengeluarkan kebijakan terkait perkara
politik luar negeri, kecuali bila hal itu benar-benar mengganggu kepentingan
keamanan dan pertahanan dalam negeri Amerika Serikat.
Dalam masa itu, tampak terlihat Amerika
Serikat dan sekutunya dijauhkan dalam perundingan yang melibatkan Rusia,
Turki, dan Iran. Bertemunya tiga negara ini adalah sebuah kejutan yang tak
pernah dibayangkan, khususnya karena Iran dan Turki, sebagai dua negara yang
mendukung langsung para pihak yang berperang di lapangan dan selalu saling
menghujat di panggung diplomasi internasional.
Buah dari kerja sama tiga negara ini adalah
dikuasainya kembali Aleppo Timur oleh Tentara Arab Suriah. Terdapat dua
narasi yang berkembang terkait dengan situasi tersebut. Narasi pertama,
pandangan yang menyatakan bahwa penguasaan kembali Aleppo Timur adalah
tragedi kemanusiaan karena mengakibatkan korban yang tidak bersalah akibat
serangan membabi buta pihak pemerintah Suriah yang dibantu oleh Rusia dan
Iran.
Pandangan ini terutama disuarakan oleh Amerika
Serikat dan sekutunya di Barat, termasuk PBB. Narasi kedua, pandangan yang
menyatakan sebaliknya bahwa kembalinya Aleppo Timur ke tangan pemerintah
Suriah telah menyelamatkan puluhan ribu orang yang selama ini dipenjara oleh
kelompok radikal seperti ISIS, Jabhat Fatah al-Sham, Al-Nusra Front, dan
beberapa kelompok radikal lainnya.
Saya tidak mengetahui narasi mana yang lebih
mendekati kebenaran, namun saya meyakini bahwa sebuah perang terjadi karena
buntunya sebuah perundingan dan sebaliknya, sukses dari perundingan adalah
sebuah perdamaian. Hal ini sudah dibuktikan oleh perundingan antara kelompok
pemberontak moderat dan pemerintahan Suriah pada 15 Desember yang lalu, yang
saya sebut sementara ini sebagai Perundingan Aleppo.
Isi penting dari Perundingan Aleppo adalah
diizinkannya penduduk sipil dan kelompokkelompok pemberontak di Aleppo Timur
yang saat ini terpojok untuk mengungsi ke Provinsi Idlib yang masih dikuasai
oleh pemberontak. Sebaliknya, penduduk di Desa Foua dan Kefraya yang
beraliran Syiah di Provinsi Idlib, juga diizinkan untuk mengungsi ke Aleppo
atau wilayah lain yang aman. Pertukaran ini diperkirakan mengurangi korban
jiwa dari penduduk sipil di Aleppo dan Provinsi Idlib karena mereka dapat
berlindung di wilayah-wilayah yang lebih aman.
Secara politik dan militer, perundingan
pertukaran ini telah melemahkan kekuatan kelompok radikal yang menolak
berpartisipasi dalam perundingan tersebut. BBC (19/12) melaporkan, kelompok
Jabhat Fatah al-Sham yang berafiliasi ke Nusra Front telah membakar bus-bus
sebagai upaya menghambat pengungsian warga sipil.
Perundingan pertukaran warga sipil dengan
pemberontak itu pun telah menyulut peperangan di antara kelompok pemberontak
jihad Jabhat Fatah al-Sham berhadapan dengan kelompok pemberontak moderat,
yaitu Islamist Ahrar al-Sham. Dengan kata lain, perjanjian evakuasi ini dapat
gagal sewaktu- waktu apabila kelompok radikal tetap terus melakukan sabotase
dengan melalukan pembakaran dan penyerangan.
Saat ini Turki mengatakan sudah lebih dari
20.000 orang yang terdiri atas kelompok pemberontak dan warga sipil, telah
tiba dengan selamat di Provinsi Idlib dan masih ada sekitar 30.000 orang lain
yang menunggu untuk diungsikan. Sementara Utusan Khusus PBB Staffan de
Mistura memperkirakan 50.000 orang di mana 10.000 di antaranya adalah
pemberontak, terjebak di 4 dari 5 wilayah yang masih dikuasai kelompok
pemberontak.
Perjanjian evakuasi antarpenduduk yang
menyebabkan kembalinya Aleppo kepada pemerintah Suriah memiliki dua implikasi
diplomasi internasional. Pertama bahwa perundingan tiga negara—Rusia, Turki,
dan Iran, dapat menjadi alternatif dari perundingan yang selama ini
melibatkan negara-negara lain yang tidak berkepentingan langsung dengan
stabilitas politik regional. Banyak negara dan pihak justru membuat
kepentingan para pihak yang bertikai menjadi tenggelam oleh kepentingan
negara dan pihak-pihak lain.
Akibatnya tidak ada jalan keluar yang dapat
disepakati. Arti penting kedua, perundingan tiga negara tersebut kemungkinan
akan mengamputasi keterlibatan pihak-pihak yang tidak berkepentingan secara
langsung terhadap perdamaian di Suriah. Meski demikian, pertemuan tiga negara
ini, khususnya Iran dan Turki, jangan dianggap sebagai sudah adanya perdamaian
di antara kedua negara.
Kedua negara masih memiliki sejumlah persoalan
yang harus diselesaikan, seperti kecurigaan Turki tentang kemampuan Iran
membuat senjata nuklir, penolakan Iran atas pemasangan radar pemantau senjata
balistik, posisi kedua negara yang masih bertolak belakang dalam perang di
Yaman, atau penolakan Iran atas intervensi Turki di Irak yaitu di Bashiqa,
utara Mosul. Saya berpendapat bahwa kesepakatan Iran dan Turki di Aleppo
hanyalah untuk kepentingan jangka pendek.
Arti penting terakhir dari jatuhnya Aleppo ke
tangan pemerintah Suriah telah membuat kredibilitas Rusia semakin positif,
karena dapat memisahkan kelompok-kelompok pemberontak yang moderat dengan
kelompok teroris seperti ISIS, Al- Nusra Front, Al-Qaeda, dan kelompok
radikal lainnya. Selama ini perundingan yang berjalan antara Rusia, Amerika
Serikat, PBB, dan kelompok-kelompok lain gagal untuk memisahkan antara
kelompok pemberontak yang moderat dengan kelompok yang radikal.
Kegagalan itu mengakibatkanupayamencapai
perdamaian atau minimal untuk gencatan senjata agar bantuan kemanusiaan dapat
tersalurkan tidak pernah terjadi. Momen perdamaian yang mungkin hanya singkat
ini harus perlu dijaga dan mungkin diperluas ke wilayah-wilayah lain di
Suriah. Indonesia tidak memiliki kepentingan secara langsung baik politik
maupun ekonomi di kawasan tersebut.
Namun sebagai negara yang merdeka, kita harus
tetap menyuarakan prinsip, penyelesaian kawasan harus tumbuh dari dalam
wilayah kawasan itu sendiri dan tidak dicangkokkan oleh para pihak di luar
yang mungkin memiliki kepentingan lain yang bertolak belakang dengan
kepentingan para pihak yang bertikai. Oleh sebab itu, kita perlu
terus-menerus dan tanpa lelah mempromosikan perdamaian melalui cara-cara
perundingan dan menghindari sejauh mungkin menggunakan kekerasan. Dengan
demikian, perdamaian yang dicapai akan lebih stabil dan memiliki dampak
positif di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar