Sinergi
dan Putar Arah Industri Migas
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 22 Desember
2016
Ini cerita dari negeri seberang yang saya baca
di berbagai situs. Begini kisah ringkasnya. Sekitar awal tahun 1990-an di
sebuah kota di Negeri Donald Duck, St Louis, ada seorang penjual es krim.
Sebutlah namanya Lucas.
Ia menjual es krim dengan mangkuk. Suatu
ketika panas menyengat melanda St Louis. Untuk menyegarkan tubuh, banyak
warga kota—termasuk para pendatang, menyerbu kedai es krim milik Lucas. Laris
manis. Namun, banyaknya pelanggan membuat Lucas repot setengah mati sebab
jumlah mangkuk yang ia sediakan terbatas. Akibatnya setiap kali sejumlah
pelanggan selesai makan es krim, Lucas harus berhenti sejenak melayani calon
pembeli untuk mencuci mangkuk.
Sementara itu, antrean kian memanjang. Calon
pembeli yang kurang sabar akhirnya memilih untuk meninggalkan kedai Lucas. Di
sisi lain, di sebelah kedai es krim Lucas, ada Tim yang pedagang cone dan
roti. Di kedai Tim, penjualan rotinya lumayan, tetapi cone-nya kurang begitu
laris. Suatuhari, ketika kedainya sedang sepi, Lucas dan Tim berbincang.
Tim mengusulkan cone dari kedainya dijadikan
wadah es krim, untuk pengganti mangkuk. Setelah diskusi sekian lama, dan
melakukan uji coba, Lucas setuju. Begitulah, ketika panas kembali melanda St
Louis, calon pembeli menyerbu kedai Lucas. Kini, Lucas tak repot lagi mencuci
mangkuk. Malahkonsumen senang dengan cone sebagai pengganti mangkuk.
Ada kenikmatan tersendiri ketika cone tersebut
digigit. Renyah. Berkat adanya cone, penjualan es krimdi kedai Lucas
meningkat. Bukan hanya dua kali lipat, tetapi berlipat-lipat. Bukan cuma
keuntungan bagi Lucas, juga bagi pelanggannya yang dapat kenikmatan lebih,
tapi harga jualnya tak naik. Begitu pula penjualan cone dikedaiTimmelonjak
mengikuti penjualan es krim. Keduanya tentu sama-sama senang. Dan, begitulah
hasil dari sinergi yang benar.
Bukan 1 + 1 = 2
Kisah tadi bicara soal sinergi. Kata Stephen
Covey, “Synergy is what happens when
one plus one equals ten or a hundred or even a thousand! “ Itu benar.
Jadi, kalau ada sinergi, 1 + 1 bukan 2, tetapi bisa puluhan dan bahkan
ratusan. Itulah kekuatan sinergi. Bicara soal ini, saya tiba-tiba teringat
dengan salah satu topik yang sedang ramai jadi pembicaraan di negeri ini.
Ini bukan soal pilkada (di Provinsi DKI
Jakarta yang paling ramai) atau fatwa MUI tentang penggunaan atribut berbau
Natal, tetapi tentang pembentukan holding company sebagai salah satu cara
untuk menciptakan sinergi di kalangan BUMN. Salah satunya holding company
untuk industri minyak dan gas (migas). Yang namanya perubahan, sudah pastilah
heboh. Demikian juga pembentukan holding company.
Cuma aneh memang yang paling ramai diributkan
cuma pembentukan holding company migas, padahal ia hanya melibatkan dua
perusahaan. Sementara pembentukan holding company lainnya, yanglebihrumit
danmelibatkan lebih dari sepuluh perusahaan, tenang-tenang saja. Padahal,
business model masing-masing perusahaan tetap sama, cuma
di-holding-company-kan saja. Namun, holding company untuk industri migas,
menurut saya, agak sulit untuk ditawartawar lagi.
Kita memerlukan BUMN migas yang berukuran
besar yang lincah. Mengapa? Pertama, produksi minyak mentah kita terus
berkurang, sementara kebutuhannya terus meningkat. Misalnya, tahun 2009
konsumsi minyak mentah kita masih 1,33 juta barel per hari (bph). Lihatlah
lima tahun kemudian, angka sudah menjadi 1,64 juta bph. Itu artinya tumbuh di
atas 20%. Angka konsumsi ini, saya yakin, akan terus meningkat.
Padahal produksi minyak mentah kita bergerak
ke arah yang sebaliknya. Jika tahun 2009 masih 994.000 bph, pada 2014
terpangkas menjadi tinggal 882.000 bph. Artinya menyusut lebih dari 10%. Dan,
saya juga yakin, volume produksi ini sulit untuk naik lagi. Kedua, jelas sekali
cadangan minyak mentah kita sudah sangat terkuras. Contohnya, tahun1994
cadangan terbukti dari minyak mentah kita masih mencapai 5 miliar barel.
Lalu, 20 tahun kemudian volume cadangannya
sudah jauh berkurang menjadi tinggal3,7miliarbarel. Ituartinya menyusut
sebanyak 26%. Itu artinya untuk menjamin ketahanan energi, yang posisinya
sudah sangat merisaukan, kita tak bisa lagi mengandalkan dari cadangan minyak
di dalam negeri. Kita harus mencari cadangan-cadangan minyak di luar negeri.
Bagaimana caranya? Kita mesti mengakuisisi cadangan-cadangan minyak yang
dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing.
Dan, sekarang ini adalah momen terbaik untuk
melakukan itu. Sebab seiring dengan masih rendahnya harga minyak,
berkisarUSD50perbarel, banyak perusahaanminyakdiluarnegeri yang terlilit
kesulitan. Anda tahu, banyakperusahaan minyak asing yang biaya produksinya
bahkan di atas USD60 per barel. Jadi, kalau harga minyak mentah di pasaran
internasional kurang dari USD50 per barel, mereka sungguh sengsara.
Rugi. Contohnya, hanya selama kuartal IV-2015,
Chevron di Amerika Serikat (AS) sudah merugi hingga USD588 juta. Apache, juga
perusahaan migas di AS, selama periode itu bahkan membukukan kerugian hingga
USD7,2 miliar. Menurut laporan Energy Information Administration (EIA) di AS,
40 produsen minyak di AS merugi hingga USD67 miliar. Itu sebabnya banyak
perusahaan di luar sana, bukan hanya di AS, melainkan juga di belahan dunia
lainnya, yang angkat tangan. Mereka tak sanggup lagi melanjutkan operasinya.
Merebut Peluang
Peluang inilah yang, saya kira, perlu diambil
oleh Pertamina. Apalagi kinerja keuangan BUMN migas terbilang sehat.
Sepanjang Januari-September 2016 misalnya, laba bersih Pertamina mencapai
USD2,83 miliar, atau tumbuh 209% dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya. Saya kira ini bisa menjadi modal yang bagus bagi Pertamina untuk
melakukan ekspansi.
Dengan modal tersebut, saya kira, kita perlu
mendorong perusahaan migas kita untuk lebih agresif lagi mengambil alih
ladang-ladang minyak di luar negeri. Hanya untuk bisa melakukan itu kita
harus membuat Pertamina menjadi jauh besar dan kuat dibandingkan ukurannya
yang sekarang. Sebab dengan ukurannya yang sekarang, Pertamina terlihat jauh
lebih kecil dibandingkan raksasaraksasa migas asal China, Eropa dan AS.
Selain itu, sekarang ini Pertamina hanya
menguasai 21% dari total produksi migas nasional, dan hanya memiliki 26% dari
total cadangan migas nasional. Ini jelas terlalu sedikit. Maka sudah saatnya
kita menjadikan Pertamina, BUMN, dan sekaligus representasi negara, sebagai
operator dan tuan rumah untuk dengan upaya maksimal membangun ketahanan dan
kemandirian energi nasional. Masalah lainnya, mata rantai nilainya (value
chain) terputus.
Antara hulu-hilir tidak sinergis. Makanya
sulit untuk menjadi besar. Jangankan sinergi keuangan untuk me-leverage
kemampuan finansial saat menguasai tambang-tambang besar di luar negeri,
sinergi pemasaran saja sulit. Itu sebabnya kalau disatukan, bisa jadi mereka
tak perlu meminjam uang dari luar. Surplus di kantong kanan bisa dialihkan ke
kantong kiri.
Semudah itu. Belum lagi sinergi manajemen.
Padahal mereka bukan kompetitor, melainkan komplementer. Maka dibutuhkan
orkestrator dalam sektornya. Apalagi kalau di-merger juga tak mau? Jadi,
alternatifnya sudah pasti pembentukan holding company . Persis seperti PT
Astra International Tbk yang juga holding company . Kalau change
management-nya jalan, perusahaan seperti Astra International bisa sehat juga.
Untuk itu, menurut saya, setidak-tidaknya ada
dua cara yang bisa dilakukan agar powerhouse energi kita cepat besar, tetap
lincah dan kuat. Ibarat pemain basket NBA yang jauh lebih tinggi dan lebih
besar dari pemain-pemain basket kita. Jari-jarinya saja sebesar pisang Ambon,
tapi bisa tetap lincah. Bahkan lebih gesit dari pemain-pemain kita. Ini
karena lemaknya tidak banyak.
DNAnyalah yang memang dirancang menjadi DNA
Powerhouse yang besar. Jadi, pertama, pilihannya, segera jadikan Pertamina
sebagai holding company untuk BUMN-BUMN kita di industri minyak dan gas (dan,
kelak di bisnis EBT atau Energi Baru Terbarukan). Kedua, kalau dulu Petronas
belajar dari Pertamina, kini kita perlu belajar kembali dari Petronas.
Ini tentu soal politik atau strategi industri.
Soal pilihan, bukan soal selera. Di sana, pemerintah Malaysia menyerahkan hak
untuk mengelola ladang-ladang migas di dalam negeri ke Petronas. Kita dulu
pernah melakukannya, tapi kemudian berbelok. Sekarang, menurut saya, saatnya
untuk kita kembali memutar arah sebelum tersesat terlalu jauh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar