Imparsialitas
Hakim Kasus Ahok
Agus Riewanto ; Pengajar
Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret
Surakarta
|
SUARA MERDEKA, 20
Desember 2016
SIDANG pengadilan perdana dugaan kasus
penistaan agama dengan tersangka calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya
Purnama (Ahok) telah digelar pada 13 Desember 2016 lalu di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto.
Proses persidangan kasus ini bukan hanya menjadi perhatian publik nasional,
melainkan juga publik internasional setidaknya beberapa media asing
menjadikan sebagai headlines-nya, antara lain New York Times, The Washington
Post (USA), dan The Guardian (Inggris).
Fokus perhatian publik pada sidang kasus ini ingin
membuktikan dan menguji seberapa kuat institusi pengadilan dan para hakimnya
mampu bersikap imparsialitas (ketidakberpihakan), yakni, semua warga negara
diperlakukan secara sama dan adil di depan hukum tanpa prasangka atas dasar
perbedaan apa pun. Hal ini merupakan prinsip dasar tegaknya hukum (rule of law) dan proses penegakan
hukum di pengadilan (due process of law)
menuju pengadilan pidana yang adil (fair
trial).
Tantangan Hakim
Sesungguhnya pengadilan kasus dugaan penistaan
agama ini bukan untuk yang pertama, namun telah kerap terjadi hanya saja
kasus Ahok ini sangat berbeda karena bersangkut-paut dengan isu politik
menjelang Pilkada DKI Jakarta. Akibatnya banyak pihak berkepentingan dalam
kasus ini.
Itulah sebabnya kasus ini menjadi tantangan
tersendiri bagi hakim dan institusi pengadilan karena menjadi penentu salah
dan benarnya seseorang telah melakukan tindak pidana sesuai hasil penyidikan
Polri dan dakwaan jaksa sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Fokus perhatian dan
harapan publik kini ditujukan pada hakim karena sesungguhnya inti tegaknya
hukum di tangan hakim.
Dengan demikian hakim menjadi kunci utama
untuk dapat menutup rapat dan menyudahi sebuah kasus tindak pidana melalui
putusannya yang adil dan memenuhi rasa keadilan masyarakat berdasarkan
fakta-fakta, alat bukti, saksi di persidangan serta keyakinan hakim. Dalam
tradisi hukum disebut sebagai sidang pengadilan judex fictie, yakni kemampuan
para pihak yang berperkara untuk mampu meyakinkan hakim agar dapat memutus
perkara sesuai dengan fakta persidangan berdasarkan alat bukti yang
dihadirkan para pihak.
Publik berharap hakim dalam mengadili kasus
ini tidak terpengaruh oleh opini publik yang cenderung bersifat menjustifikasi
bahwa terdakwa dalam kasus ini pasti bersalah dan dihukum. Dalam khazanah
hukum kerap kali hakim dalam membuat putusan heurastic atau mental hourtcut
sehingga putusan hukumnya cenderung bias hanya ingin menguntungkan salah satu
pihak yang berperkara karena kuatnya opini publik.
Padahal jauh hari DUHAM (Deklarasi Universal
Hak Asasi manusia) PBB pada tahun 1948 telah menegaskan bahwa ìTidak seorang
pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang; setiap
orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas proses peradilan yang adil dan
terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak
dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan
kepadanya.”
Ketentuan DUHAM ini kemudian diterjemahkan dalam
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 pascaamandemen yang menegaskan bahwa, kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut Steven Lubet (1998) dalam Judicial
Dicipline and Judicial Independence, mengingat bahwa yang dimaksud kekuasaan
kehakiman yang merdeka itu setidaknya mengandung tiga nilai dasar, yakni adil
(fairness), tidak berpihak (impartiality), dan berdasarkan kejujuran moral (good faith).
Fairness maksudnya bahwa hakim
dalam memutus perkara haruslah memberi kesempatan yang sama dan terbuka
kepada semua pihak untuk didengar tanpa mempertimbangan aspek status sosial
para pihak berperkara.
Impartiality maksudnya hakim yang merdeka
adalah hakim yang dalam membuat putusan hukum tidak terpengaruh dan bebas
dari tekanan publik dan kekuasaan politik tertentu. Good faith maksudnya
hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan kejujuran moralitas masyarakat
dan bersedia menanggung risiko atau akibat atas putusannya baik yang bersifat
personal, politis maupun ekonomi.
Maka di titik ini profesi hakim adalah profesi
yang sangat mulia (nobile officiun) sepanjang sang hakim bekerja berdasarkan
perintah nurani, bukan atas dasar pesanan dan tekanan opini publik. Putusan
hakim dalam semua perkara tak berdiri sendiri, namun berkait dengan kemampuan
dan kemauan masyarakat terutama pihak-pihak yang berperkara untuk menerima
apa pun putusan hakim.
Karena ketidakpatuhan dan ketidaktaatan
masyarakat pada putusan hukum akan dapat berakibat pada tak berwibawanya
negara hukum (state of law) sebagai inti dari adanya pengadilan. Putusan
hakim dalam kasus Ahok ini merupakan ujian bagi negara hukum Indonesia.
Itulah sebabnya sebagai bangsa
yang beradab yang mempercayai demokrasi dan hukum sebagai pilar jalannya
negara, maka hari ini dan beberapa waktu ke depan kita sedang diuji mampukah
kita tetap mempertahankan konsensus, bahwa demokrasi tanpa hukum akan
timpang. Sebaliknya, sistem hukum yang baik adalah yang imparsialitas.
Keduanya merupakan mutualis-simbiosis yang harus bergandegan secara simultan
dan sistematis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar