Membubarkan
Ormas
Ronald Rofiandri ; Direktur
Monitoring, Advokasi, dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia (PSHK)
|
KORAN SINDO, 17 Desember
2016
Pada pertengahan Juni 2016 pemerintah,
melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pernah mengeluarkan pernyataan
akan bertindak tegas terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menolak
dan anti-Pancasila.
Gayung bersambut, Selasa, 29 November 2016,
Mendagri melontarkan rencana revisi Undang-undang Nomor 17/ 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Pemerintah berpandangan bahwa perlu
instrumen yang lebih praktis untuk mengantisipasi ormas yang bertentangan
dengan Pancasila. Revisi UU Ormas rupanya tidak hanya tertuju ke ormas kontra
Pancasila, tapi juga ormas yang kerap berbuat onar, menyebarkan anarkisme
sehingga meresahkan masyarakat.
Dua kali pernyataan geram pemerintah,
selama itu pula tentang siapa ormas anti-Pancasila dan bagaimana pula bentuk
konkret penolakan menjadi pertanyaan yang hingga hari ini masih belum
terjawab. Semua masih berpusar pada dugaan belaka. Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) sebelumnya pernah berjanji akan membeberkan kemungkinan
pembubaran ormas penolak Pancasila berdasarkan kajian bersama Kepolisian
Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Badan Intelijen Negara.
Belakangan Kemendagri, melalui Direktur
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjen Polpum), telah mengeluarkan
surat pemberitahuan kepada seluruh kepala badan kesatuan bangsa dan politik
(kesbangpol) provinsi dan kabupaten/ kota (SuratNomor 220/2065/POLPUM
tertanggal 12 Mei 2016) perihal teguran dan penanganan terhadap ormas yang
bertentangan dengan Pancasila. Lantas, apakah keberadaan surat pemberitahuan
tersebut merupakan langkah awal sebelum UU Ormas nantinya direvisi? Sampai
saat ini masih belum jelas keterkaitannya.
Dalam berbagai kesempatan, Mendagri selalu
menyatakan bahwa pemerintah tidak akan gegabah ketika ingin membubarkan suatu
ormas. Pemerintah perlu berpedoman pada peraturan perundang-undangan,
terutama UU Ormas. Bagi pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, keputusan
membubarkan ormas dianggap sebagai salah satu bentuk sanksi.
Sanksi terhadap ormas diatur dalam Pasal 60
s/d Pasal 80 UU Ormas. Secara eksplisit, kita tidak akan menemukan jenis
sanksi dalam format pembubaran. Sekalipun ormas penolak Pancasila bisa
dijerat karena melanggar UU Ormas Pasal 21 huruf b “menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” dan Pasal
59 ayat (4) “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila,” namun sanksi pembubaran tidak
dapat diberlakukan.
Pasal 61 UU Ormas hanya menyebutkan sanksi
administrasi yang terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan
dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat
keterangan terdaftar (SKT) atau status badan hukum. Jadi, ormas penolak
Pancasila bisa dikenai sanksi administrasi, dari peringatan tertulis hingga
pencabutan SKT atau status badan hukum, bukan pembubaran.
Jika diasumsikan ormas penolak Pancasila
sudah lebih dulu diberi peringatan tertulis hingga tiga kali sesuai Pasal 62
ayat (1), langkah selanjutnya adalah menghentikan bantuan dan/ atau hibah.
Bagaimana jika ormas (penolak Pancasila) tidak menerima bantuan dan/atau
hibah dari pemerintah? Begitu pula jika ormas penolak Pancasila sejak awal
memilih tidak mendaftarkan diri dan memiliki SKT, mengingat putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 82/ PUU-XI/2013 jelas menegaskan bahwa SKT tidak lagi
bersifat wajib.
Tentu saja sanksi pencabutan SKT menjadi
tidak relevan. Ketika ormas penolak Pancasila tidak berwujud badan hukum
seperti yayasan atau perkumpulan, berarti sanksi pencabutan status badan
hukum tidak cocok pula. Andaikata berbadan hukum (yayasan atau perkumpulan),
maka ketika melanggar ketentuan Pasal 21 huruf b dan Pasal 59 ayat (4) UU
Ormas, status badan hukum ormas penolak Pancasila akan dicabut. Eksistensi
secara organisasi tetap akan ada, hanya tidak berbadan hukum dan bukan lantas
dipahami bubar.
Sekali lagi, dari jenjang pemberian sanksi
sesuai Pasal 61 UU Ormas, tidak ada nomenklatur sanksi berjenis pembubaran.
Surat Dirjen Polpum Kementerian Dalam Negeri tentang teguran dan penanganan
ormas yang bertentangan dengan Pancasila rupanya tidak hanya mengandalkan UU
Ormas sebagai rujukan. Undang- Undang Nomor 27/1999 tentang Perubahan Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan
Negara, khususnya Pasal 107 b turut menjadi pertimbangan.
Ketentuan dimaksud adalah sanksi pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun bagi siapa pun yang meniadakan atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan
di dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda.
Pemerintah berupaya mempertegas tindakan, bukan hanya membubarkan, tapi juga
menghukum ormas.
Di saat tidak tersedia konstruksi hukum
membubarkan ormas, pemerintah berupaya menghukum ormas. Lantas, seperti apa
wujud menghukum ormas? Mungkin saja di benak pemerintah tertera, dengan
menghukum ormas maka dengan sendirinya akan memuluskan langkah membubarkan
ormas. Menurut teori hukum, pengenaan sanksi hanya berlaku pada subjek hukum
berupa individu perorangan dan badan hukum, yang dalam konteks organisasi
sosial, dikenal yayasan dan perkumpulan.
Wujud sanksinya pun terbatas pada
pencabutan status badan hukum. Bagaimana dengan ormas? Seperti halnya LSM
(lembaga swadaya masyarakat), ornop/NGO (organisasi nonpemerintah/
non-governmental organization), OMS/CSO (organisasi masyarakat sipil/civil
society organization), ormas merupakan istilah praktik. Ormas bukan makhluk
hukum. Lantas, bagaimana bisa menghukum ormas jika yang dihukum bukan dalam
kategori subjek hukum? Ini bukan sekadar stagnasi, tapi memang terlihat
mustahil membubarkan ormas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar