Cacat
Kursi Ketua DPR
Wiwin Suwandi ; Koord
Riset dan Data Badan Pekerja ACC Sulawesi
|
INDONESIANA, 22 Desember
2016
DPR tak pernah sepi dari huru-hara politik.
Mendekati penghujung tahun, bukannya laporan kinerja legislasi, pengawasan
dan anggaran yang seyogianya disajikan kepada publik untuk dinilai, tetapi
drama penggantian kursi Ketua DPR. Publik dikagetkan dengan hasil sidang
Paripurna DPR pada Rabu (30/11/20160) yang mengembalikan kursi Ketua DPR
kepada Setya Novanto.
Meskipun 'dibenarkan' oleh UU MD3, namun sulit
menghilangkan kesan politis dibalik penggantian kursi Ketua DPR. Cerita ini
seakan mengulangi rivalitas keduanya saat bertarung memperebutkan kursi Ketua
Umum Golkar beberapa waktu lalu. Untuk kedua kalinya, Setya Novanto mengalahkan
Ade Komaruddin dalam perebutan kursi Ketua DPR. Ia melenggang mulus tanpa
penolakan satu fraksi pun di DPR. Semua fraksi ibarat memberikan "karpet
merah" kepada SN untuk menduduki kursi yang sempat ditinggalkannya.
Padahal, sebagian dari fraksi itu yang dulu lantang teriak agar SN diproses
di MKD.
Begitu pula, Setya Novanto tergolong cepat
melakukan "recovery" pasca tersandung kasus "Papa Minta
Saham" pada 2015 lalu. Kasus yang menyeretnya di meja MKD dan dilaporkan
ke penegak hukum. Sebelumnya, ia dipersoalkan bersama Fadli Zon dan sejumlah
anggota DPR lain saat melakukan pertemuan dengan Capres AS Donald Thrump.
Pertemuan tersebut dipandang melanggar kode etik serta asas "bebas
aktif" dalam poiltik luar negeri Indonesia.
Setelah terpilih sebagai Ketum Golkar, ia
melakukan pertemuan dengan Presiden Jokowi. Orang yang pernah marah saat
namanya dicatut dalam skandal perpanjangan Saham PT Freeport. Namun itulah
politik, tidak ada kawan dan musuh yang abadi. Yang abadi hanyalah
kepentingan. SN berhasil menemukan rumus kepentingan tersebut saat
menyepakati dukungan Golkar terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang tentu
disambut baik oleh Jokowi. Ia juga 'bebas' dari proses hukum kasus Papa Minta
Saham. Barangkali dari 560 anggota DPR, SN termasuk 'manusia super sakti'
yang memiliki kekebalan hukum dan kekebalan politik yang luar biasa. Recovery
ini tergolong cepat untuk sebuah kasus yang sempat menghebohkan jagad politik
tanah air. Kasus dengan kadar cela-aib yang tinggi.
Cacat MKD
Jika memakai kaca mata kuda dalam melihat UU
MD3, secara normatif, kembalinya SN ke kursi Ketua DPR tidak menimbulkan
persoalan. Akan tetapi, hukum tidak hidup di ruang hampa. Hukum tidak bisa
dilepaskan dari basis moralnya. Hakikat UU MD3 bukan semata-mata soal
kepentingan fraksi-parpol dalam utak-atik pasal terkait sistem paket dalam
pemilihan pimpinan DPR yang mendegradasi prinsip daulat rakyat dalam
demokrasi perwakilan.
Demikian pula, DPR bukan lembaga yang dibentuk
untuk mengakomodasi libido kuasa parpol. DPR mesti diletakkan pada filosofi
pendiriannnya, untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Lembaga yang murni
merepresentasikan aspirasi rakyat secara konstitusional. Ada suara rakyat
yang harus didengar dan dihormati. Bukan lembaga yang memperjuangankan
aspirasi parpol. Ini latah dan melenceng.
Karpet merah kepada SN untuk kembali menduduki
kursi Ketua DPR tidak bisa dilepaskan dari cacat proses di MKD. Saat itu, MKD
bubar jalan tidak menghasilkan keputusan apapun terkait dugaan pelanggaran
kode etik yang dilakukan SN. Padahal publik menaruh harapan besar kepada MKD,
untuk menegakkan marwah dan martabat DPR yang hampir jatuh di titik nadir.
MKD membiarkan kasus dugaan pelanggaran kode
etik SN 'menggantung.' MKD tidak memutuskan apakah SN melanggar kode etik
atau tidak. Padahal, dari Pasal 119 sampai Pasal 149 yang mengatur MKD tidak
memuat pasal yang menerangkan jika sidang MKD ditutup apabila
terlapor/tertuduh mengundurkan diri. Jikapun pengaduan terhadap SN tidak
ditindaklanjuti karena kurangnya alat bukti (Pasal 30), maka MKD tidak akan
membuka persidangan. Akan tetapi tidak demikian, MKD telah membuka sidang
yang disaksikan publik secara luas, memanggil pelapor, terlapor, dan meminta
keterangan ahli. Sidang MKD tinggal menunggu putusan terbukti tidaknya SN
melanggar kode etik anggota DPR.
Sidang MKD yang klimaks tanpa menghasilkan
keputusan mengindikasikan cacat formal proses sidang MKD. MKD melanggar hak
pelapor yang ingin diperlakukan setara. Hak ini dijamin konstitusi Pasal 27
tentang asas persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law). Akan
tetapi, MKD memperlakukan terlapor dan pelapor tidak setara, sikap yang
diskriminatif. MKD terkesan disetir kepentingan terlapor. Pertama, MKD
menyanggupi sidang SN tertutup untuk umum. Kedua, MKD memutuskan sidang ditutup/dihentikan
karena terlapor mengundurkan diri, padahal UU MD3 tentang MKD sama sekali
tidak mengatur demikian. Kondisi demikian menyiratkan, MKD tidak mematuhi
hukum acara persidangan yang mengikat mereka dalam UU MD3. Kuatnya opini
publik yang menghendaki MKD mengeluarkan putusan dianggap angin lalu.
Padahal ekspektasi publik begitu tinggi
menunggu hasil sidang MKD. Andaipun putusan MKD menghasilkan SN bersalah
melakukan pelanggaran kode etik, ia bisa diberhentikan. Pasal 87 UU MD3
menyebutkan bahwa Pimpinan DPR diberhentikan apabila "melanggar
sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna
setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR." Peraturan
DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR juga memuat pemberhentian
anggota DPR (PAW), yang menyebutkan bahwa anggota DPR berhenti antarwaktu
karena; meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan. Dasar dari
pemberhentian salah satunya apabila "melanggar sumpah/janji jabatan dan
kode etik DPR RI." Namun jangankan menghasilkan keputusan, menunjukan
proses sidang dilakukan secara fair dan transparan pun MKD gagal.
Sikap MKD yang bubar jalan tidak menghasilkan
keputusan mengindikasikan MKD tidak lepas dari tekanan politik. MKD tidak
ubahnya hanya "stempel" alat kelengkapan dewan yang lebih
mendahulukan kepentingan politik, ketimbang proses etik yang mestinya
dihormati.
Menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengabulkan gugatan SN, untuk membebaskan SN dari tuduhan juga merupakan
pendapat yang kering basis morilnya. Putusan MK tersebut ranah hukum pidana,
tidak menyinggung apakah SN melanggar kode etik atau tidak. Sementara kasus
SN di MKD merupakan ranah etik yang mesti dikuatkan dengan putusan bersalah
atau tidak.
Akhir cerita, palu sudah diketuk. Keputusan
politik sudah diambil. Hasil Paripurna DPR sudah mengembalikan kursi Ketua
DPR kepada SN. Rakyat hanya bisa mengurut dada melihat lawakan Kursi Ketua
DPR. Pada kasus ini, rakyat sudah sungguh yakin, jika DPR memang hanya
"asset" partai. Rakyat sebatas pelengkap seremonial demokrasi lima
tahunan, yang suaranya hanya dibutuhkan saat kampanye, sudah itu dilupakan.
DPR sungguh-sungguh tidak merepresentasikan suara rakyat sesuai filosofi
pendiriannya. Suara rakyat (memang) suara Tuhan. Tapi suara DPR, murni suara
partai, bukan suara rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar