Apakah
Pasal Penebar Kebencian
Masih
Relevan Dipertahankan?
Frans H Winarta ; Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan; Mantan Anggota Governing
Board Komisi Hukum Nasional (KHN)
|
KORAN SINDO, 20 Desember
2016
Perdebatan mengenai konstitusionalitas Pasal
156a KUHP seharusnya sudah berakhir dengan diputusnya konstitusionalitas
pasal ini oleh Putusan MK Nomor 84/ PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa pasal
ini tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Sekalipun demikian, pro dan kontra masih saja
bergulir tentang bagaimana sikap negara terhadap persoalan yang menyangkut
penistaan agama di Indonesia. Dalam putusan MK No 140/ PUU-VII/2009, MK
berpandangan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham urusan
agama tidak dipisahkan dari negara. Artinya, negara tidak secara otonom
menentukan pokok-pokok ajaran suatu agama dan hanya menerima kesepakatan
internal agama yang bersangkutan.
Namun, pertimbangan ini melupakan kenyataan
bahwa terkadang di dalam internal agama sekalipun terdapat perbedaan
pendapat. Sehingga, apabila perbedaan pendapat ini terjadi, Pasal 156a KUHP
dikhawatirkan dapat menjadi bola liar yang tidak terkendali. Bangsa Indonesia
seharusnya tidak abai terhadap pendapat dari bapak-bapak pendiri bangsa. Bung
Hatta misalnya menekankan pemisahan antara negara dan agama (scheiding van
kerk en staat) di dalam pidatonya di persidangan BPUPKI.
Atau, bahkan Bung Karno yang berpandangan
bahwa pemerintah justru merupakan halangan apabila mencampuri urusan agama.
Namun, pada akhirnya Pasal 156a KUHP tetap dipandang penting sebagai bagian
dari delik-delik penebar kebencian. Tujuannya untuk menjaga ketenteraman dan
ketertiban umum di kalangan penduduk agar jangan sampai terkena berbagai
macam hasutan yang menyebar kebencian misalnya dengan ucapan, tulisan,
gambar, dan sebagainya di depan umum atau di media massa.
Namun, saat ini justru marak isu perpecahan,
intoleransi, bahkan politisasi dengan membonceng persoalan yang sedang
terjadi dengan menggunakan Pasal 156a KUHP. Tentu ini sangat membahayakan
konsep NKRI. Karena itu, menjadi pertanyaan penting untuk dipikirkan oleh
kita bersama, masihkah kita akan bertahan dengan sebuah ketentuan yang justru
menjadi alat politik devide et empera.
Apalagi akhir-akhir ini, di tengah pertarungan
politik yang semakin bebas, demokrasi langsung dan transparansi serta
kehadiran media sosial menjadi benang kusut yang saling berkelindan. Belum
semua politisi dapat bertindak dan berperilaku dewasa dan mampu menjaga diri
dari ambisi pribadi dan kepentingan kelompok. Beragam cara dilakukan untuk
dapat memenangkan pertaruhan politik demi kemenangan partai atau kelompoknya.
Maka, saling pelintir perkataan, terlebih jika
telah disebarkan melalui media sosial, menjadi senjata mematikan. Apalagi,
jika perkataan yang dipelintir justru bersangkut paut dengan soal agama. Jika
sudah begini, akan sangat sulit memisahkan mana persoalan hukum, mana
persoalan politik, ataupun yang murni soal agama. Tentu akan sangat baik apabila
politisi menahan diri dari perilaku dan tutur kata apa pun yang berpotensi
memecah belah dalam pertarungan politik.
Seorang negarawan seharusnya paham dan bijak
dalam memilah apa hal yang perlu ataupun tidak perlu disampaikan kepada
publik. Namun, di tengah-tengah kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat
akibat suhu panas menjelang pilkada ini, ada juga pihak-pihak yang tega
mengeksploitasi kelemahan lawan politiknya untuk memenangkan pilkada tanpa
memusingkan bahwa kesatuan dan keutuhan negara, toleransi yang telah terpupuk
dan terpelihara, serta semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi porak-poranda
dengan mengorbankan NKRI.
Sikap-sikap politik seperti ini sama jahatnya
sehingga pada akhirnya hukum hanya menjadi alat untuk melayani kekuasaan. Kita
harus ingat bahwa citacita negara hukum (rechtsstaat)
yang ingin diwujudkan tidak akan dapat menjadi kenyataan apabila hukum masih
dianggap sebagai subordinat dari kekuasaan. Hukum memang dibentuk berdasarkan
kepentingan masyarakat, tetapi juga harus ditegakkan sebagai sarana rekayasa
sosial (social engineering) untuk mencapai
perubahan yang dicita-citakan. Inilah yang dikemukakan Roscoe Pound sebagai law as a social engineering.
Maka, jika masyarakat dan penguasa tengah
salah menerapkan hukum, seharusnya hukum tidak boleh larut, melainkan harus
menjadi sarana untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan penguasa ke jalan
yang benar. Saat ini masyarakat memandang hukum hanya sebagai alat untuk
melindungi kepentingan tanpa mengerti apa yang dimaksud dengan kepentingan
dan sebenarnya kepentingan apa yang tengah diperjuangkannya.
Kepentingan pribadi tersebut, sekalipun
dimiliki banyak orang ataupun golongan terbesar, tidak serta-merta menjadi
kepentingan umum. Menurut Roscoe Pound, kepentingan sosial adalah sesuatu
yang lazim dan wajar, klaim, tuntutan, keinginan, atau harapan de facto di
mana manusia secara kolektif berusaha untuk memuaskannya dan masyarakat
beradab harus mengakui dan melindunginya melalui hukum.
Karena itu, kepentingan sosial sejatinya
tercermin dalam hukum dan konstitusi yang ada di suatu negara. Kepentingan sosial
tidak didasarkan pada pendapat individu ataupun kelompok apalagi yang
bersifat sektarian. Jika dasarnya adalah pendapat individu dan kelompok, itu
masih masuk dalam kepentingan pribadi. Maka, hukum tidak boleh sekadar
melindungi kepentingan pribadi, tapi juga harus melindungi kepentingan publik
yang dijamin berdasarkan konstitusi.
Kalau justru kepentingan individu-individu
yang banyak ini berupaya untuk menegasikan kepentingan umum, negara
seharusnya tidak tinggal diam. Kini pergulatan Pasal 156a KUHP membawa banyak
pelajaran bagi publik dan juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita semua
sepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
Namun, pertanyaannya kini, NKRI
seperti apa yang akan kita bangun bersama? NKRI yang melindungi seluruh
tumpah darahnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi atau NKRI yang tunduk
untuk melayani kepentingan individu per individu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar