Dunia
Makin Terancam Terorisme
Amidhan Shaberah ; Ketua
MUI (1995-2015;
Anggota Komnas HAM (2002-2007)
|
KORAN SINDO, 26 Desember
2016
Menjelang
tahun baru 2017, dunia makin terancam terorisme. Kematian-kematian tragis
para gembong teroris seperti Osama bin Laden, Azahari, Noordin M Top,
Santoso, Imam Samudera ternyata tidak menyurutkan kelompok-kelompok radikal
Islam untuk menghentikan aksi terorismenya.
Bahkan
belakangan ini, gerakan mereka makin intensif dan mengancam kemanusiaan. Di
Indonesia, Rabu (21/12) Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88)
mengepung sebuah rumah kontrakan di Kampung Curug, Kelurahan Babakan,
Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten. Di dalam rumah itu, terdapat
tiga teroris yang sudah mempersiapkan bom. Dan polisi kemudian menembak mati
ketiganya karena mereka melawan dan melemparkan bom ke arah petugas. Di hari
yang sama, polisi juga menangkap tiga terduga teroris di tiga tempat berbeda.
Di
Kota Payakumbuh Sumbar, Densus 88 menangkap Hamzah yang telah menyiapkan
bahan peledak. Lalu di Kabupaten Deli Serdang, Sumut, polisi menangkap
Syafii, yang telah lama dipantau gerak-geriknya. Ketiga, di Batam, Densus
menangkap Abisya, juga teroris yang lama diamati polisi. Menurut polisi, para
teroris yang tewas dan ditangkap Rabu itu adalah anggota Jamaah Ansharud
Daulah (JAD), organisasi sayap ISIS di Indonesia pimpinan Bahrun Naim, warga
Solo, yang kini bermukim di Suriah. Sebelum tertangkap, mereka berencana akan
menusuk polisi di hari pesta akhir tahun, kemudian ketika orang ramai
menolong polisi, salah seorang di antara mereka akan meledakkan diri dengan
bom.
Dengan
demikian, di samping polisi, korbannya makin banyak. Bagi kelompok teroris,
makin banyak korbannya makin baik karena niatnya untuk mendirikan negara
sesuai keinginan mereka makin mulus. Para korban tersebut dianggap
orang-orang yang akan merintangi niatnya. Apakah tewasnya tiga teroris di Jawa
dan tertangkapnya tiga teroris lain di Sumatera di atas akan
bisamenghentikanterorisme di Indonesia?
Fakta
menunjukkan, aktivitas terorisme tampaknya tidakterganggu dengan penangkapan
dan tewasnya mereka. Malah, mereka menyusun strategi baru lagi untuk
melakukan aksi-aksi teror dengan modus baru. Di kawasan Eropa, kondisinya
lebih parah lagi. Selasa (19/ 12) seperti halnya di Indonesia, tiga teror
melanda tiga negara dengan modusyang berbeda. Mungkin ini hanya kebetulan.
Tapi
ketiganya menunjukkan kepada kita bahwa terorisme tidak pernah mati dan
teroris tidak kekurangan akal untuk mengacaukan tatanan dunia yang tidak
sesuai keinginannya. Teror pertama adalah pembunuhan Dubes Rusia untuk Turki,
Andrei Karlov oleh seorang polisi Turki, Mevlut Mert Altintas. Altintas
diduga merupakan anggota jaringan terorisme di Turki. Karlov ditembak mati
dalam jarak sangat dekat dari belakang oleh Altintas, ketika memberikan
sambutan dalam suatu acara pameran foto bertema ”Rusia dari Pandangan
Orang-orang Turki” di Gedung Cagdas Senat Merkezi, Ankara.
Terbunuhnya
Dubes Rusia ini menyentak para pemimpin internasional. Dunia cemas,
kalau-kalau peristiwa tersebut akan memicu perang dunia seperti kasus
terbunuhnya Pangeran Ferdinand, putra mahkota Kerajaan Austria oleh teroris
Serbia, tahun 1914. Maklumlah, Turki dan Rusia selama ini hubungannya kurang
akrab. Apalagi sebelum peristiwa penembakan Dubes Rusia ini, pada November
2015, Turki menembak jatuh pesawat tempur Su-24 Rusia yang dianggap melanggar
kedaulatan udara Turki.
Alhamdulillah,
kedua pemimpin negara tersebut, Erdogan (PM Turki) dan Putin (Presiden Rusia)
menyadari bahwa kasus penembakan Dubes Karlov itu ”didalangi” pihak ketiga
yang ingin merusak hubungan Rusia-Turki yang baru saja pulih setelah
kunjungan Erdogan ke Rusia, Agustus 2016 lalu. Teror kedua, serangan atau
teror dengan menggunakan truk besar yang ditabrakkan ke kumpulan massa di
sebuah pasar Natal, di Berlin, yang menewaskan 12 dan melukai lebih 50 orang.
Serangan ini mirip teror di Kota Nice, Prancis, Juli lalu.
Pengemudi
diyakini sengaja menabrakkan truknya untuk membunuh orang sebanyak mungkin.
Sopir truk itu diduga adalah Anis Amri, pengungsi dari Tunisia yang tidak
diterima untuk menetap di Jerman. Surat kabar Jerman Die Welt melaporkan,
pelaku diperkirakan datang ke Jerman pada 16 Februari 2016. Teror dan
kekerasan ketiga terjadi di sebuah musala di Zurich, Swiss. Kali ini, seorang
pria membabi buta menembak kaum muslim yang sedang salat. Kepolisian Zurich,
masih mengumpulkan bukti-bukti. Belum dapat disimpulkan motif penembakan yang
melukai tiga orang jamaah itu.
Meski
tidak ada hubungan ketiga aksi teror tersebut, benang merah radikalisme dan
terorisme semakin mencemaskan dunia. Perbedaan ideologi dan aliran keagamaan
yang mestinya menjadi ”alat untuk saling mengenal dan menghargai pihak lain”
justru menjadi alat teror dan kebencian. Padahal, jika dikaji secara
mendalam, jangankan aksi teror yang menewaskan banyak orang atau merusak
kehidupan, menyakiti orang lain saja dilarang oleh agama manapun. Karena itu
semua tokoh agama, baik di Indonesia maupun belahan bumi lainnya, harus
bersama-sama membina umat dan mengembalikan kehidupan agama sesuai tujuan
yang dikehendaki Allah.
Yaitu,
agama diturunkan ke bumi untuk kemaslahatan manusia. Dalam bahasa Islam,
agama diturunkan untuk memperbaiki akhlak manusia. Aksi terorisme tampaknya
sulit dihentikan jika ketimpangan di berbagai lini kehidupan masih terus
terjadi. Sangat mungkin aksi-aksi itu dipicu oleh rasa tidak puas pada
ketimpangan dan ketidakadilan di sekitar mereka, lalu ketidakpuasan itu
diekspresikan melalui ”keyakinan agama mereka yang ekstrem”. Namun demikian,
karena basis tindakan terorisme ini umumnya dari ajaran agama, maka peran
kaum agamawan tetaplah sangat urgen, di samping, tentu saja peran aparat
keamanan menjadi sangat penting.
Mereka
harus mampu mengendus setiap gerakan yang berpotensi mengancam keamanan
masyarakat, baik dilihat dari aspek ideologis maupun aspek keamanan. Noor
Huda Ismail, seorang pengamat terorisme, dalam penelitiannya menemukan bahwa
para teroris itu umumnya adalah orang-orang yang hidup dalam keretakan rumah
tangga; hidup dalam kemiskinan yang kronis; dan berada dalam asuhan yang
salah. Intinya, kata Ismail, terorisme hanya tumbuh di masyarakat yang hidup
dalam ketidakbahagiaan. Itulah sebabnya, Ismail, mencoba mencari solusi
dengan mendirikan ”warung makan dan bistik” di Solo dan Semarang.
Melalui
Yayasan Prasasti Perdamaiannya, Ismail menjelaskan, para teroris dan calon
teroris harus diajari bagaimana memberikan ”servis” kepada para tamu
restorannya. Menyervis tamu resto adalah strategi pemasaran yang mengutamakan
keramahan dan kepuasan pengunjung. Dari resto bistik inilah, kata Ismail, para
mantan teroris belajar bersikap ramah dan memperhatikan keinginan orang lain.
Dari metode ini, sedikit demi sedikit karakter radikal dan ekstrem seseorang
akan terkikis. Apa yang dirintis Ismail, menurut kami ada benarnya.
Apalagi
bila dipadukan dengan ajaran-ajaran agama, khususnya yang berkaitan keharusan
manusia untuk saling menghargai orang lain. Nabi Muhammad bersabda,
sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya untuk
kehidupan orang lain. Terkait dengan persoalan di atas, ketika dunia kini
cemas melihat perkembangan terorisme, mungkin perlu ada solusi alternatif.
Yaitu,
bagaimana dunia melalui PBB, kembali menata keadilan baik secara ekonomi
maupun sosial, agar kekayaan dunia terdistribusi dengan adil dan merata.
Dunia membutuhkan keadilan yang komprehensif sehingga dirasakan oleh seluruh
umat manusia. Jika itu terjadi, niscaya terorisme akan berhenti dengan
sendirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar