Kita
dan Sejarah Masa Depan
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN SINDO, 29 Desember
2016
Menandai
ujung tahun 2016, Quote of the Day
KORAN SINDO beberapa hari lalu menampilkan kata-kata Thomas Jefferson, ”Saya
lebih suka mimpi tentang masa depan yang lebih baik daripada sejarah masa
lalu”.
Sepintas
lalu, manakala tak dicermati secara lebih mendalam, sepertinya ujaran
presiden ketiga Amerika Serikat tersebut menafikan sejarah masa lalu. Tetapi,
tampaknya bukan begitu maksudnya. Sejarah masa lalu penting, tetapi sejarah
masa depan jauh lebih penting. Istilah sejarah masa depan pernah di
populerkan sosiolog Iran, Ali Syariati. Dia pernah menulis ”A Glance of Tomorrow’s History”.
Saya
tidak akan memaparkan isi buku itu, tetapi terkesan dengan pandangannya yang
menegaskan bahwa sejarah masa depan itu merupakan cara pandang yang lebih
revolusioner. Penjelasannya seperti di atas bahwa sejarah masa lalu bukan tak
penting, tetapi ia merupakan referensi yang sangat berharga sebagai cermin
atau bahan-bahan yang diperlukan untuk menyusun perencanaan- perencanaan umat
manusia dalam menyongsong masa depannya.
Pemahaman
sejarah masa depan tampaknya segera berkait dengan visi masa depan. Bagaimana
masa depan suatu bangsa tentu ditentukan oleh sejauh mana para elite penentu
kebijakan dan segenap warga bangsa berikhtiar mewujudkan visi kebangsaannya.
Setiap pemimpin bangsa punya paradigma untuk meraih visi kebangsaan tersebut
kendatipun secara politik seringkali bisa bertolak belakang.
Hal
ini dapat dimaklumi karena setiap pemimpin memiliki pandangan soal bagaimana
cara untuk mewujudkan visi bangsanya. Suatu paradigma sebagai cara atau
pendekatan bisa berbeda dari kekuatan politik yang satu dengan lain. Tetapi,
kontinuitas merupakan sesuatu yang masih bertahan kendatipun suatu bangsa
harus melalui jalan liku-liku rezim-rezim kekuasaan yang berbeda-beda.
Kita
akan bisa menilik sejauh mana perubahan dan kontinuitas membuat perjalanan
politik bangsa begitu dinamis. Dalam pengelolaan kebangsaan Indonesia, titik
temunya adalah konsensus dasar negara Pancasila. Sejarah masa depan Indonesia
tidak akan terputus dari jangkarnya, Pancasila, manakala konsensus kebangsaan
tersebut dihormati oleh berbagai pihak sebagai perekat atau resultan yang
mempersatukan perbedaan dan memberdayakan segenap potensi kemajemukan.
Pemahaman
sejarah masa depan kita perlukan dalam dua hal sekaligus. Pertama, sebagai
sarana untuk mencandra masa depan secara rasional dan terukur dalam bingkai
ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Mencandra masa depan, dalam hal ini,
bukan dalam pengertian ramalan-ramalan mitologis, tetapi lebih pada konteks
implementasi ilmu futurologi, bagaimana kecenderungan- kecenderungan masa
depan, termasuk perkembangan perilaku manusia, mampu dipetakan. Kedua,
sebagai pertimbangan dalam ikhtiar respons dan antisipasi.
Kalau
peta masa depan jelas, respons dan antisipasinya bisa lebih tepat.
Nilai-nilai dan pengalaman masa lalu bagaimanapun memiliki posisi yang
penting dalam memahami sejarah masa depan. Hukum keberulangan sejarah (le histoire se repete) merupakan hal
penting untuk merumuskan strategi ke depan.
Sejarah
sebagai suatu kontinuitas masa lalu kini dan hari esok tentu ditandai oleh
peristiwa-peristiwa yang secara hakikat terus berulang. Inti pesan peristiwa
sejarah, kapan pun kejadiannya, akan selalu menemukan contoh kasusnya yang
lain di masa kini dan masa yang akan datang.
Misalnya,
masalah krisis ekonomi pada masa lalu dan kini antara lain disebabkan oleh
keserakahan manusia, pada masa depan faktor ini juga bisa terjadi. Demikian
pula dalam sejarah politik. Jatuh dan bangun rezim-rezim politik selalu
seolah-olah merupakan peristiwa yang contoh kasusnya dapat dijumpai sepanjang
masa. Selalu ada paralelisasi sejarah.
Sejarawan
tak jarang menjelaskan fenomena kenaikan seorang tokoh ke puncak kekuasaan
hari ini, paralel dengan peristiwa yang hampir sama pada masa lalu, sebagai
suatu déjà vu. Hukum-hukum kekuasaan abadi sepanjang masa. Maka itu, hukum
sejarah masa depan kekuasaan hakikatnya identik dengan hukum sejarah itu
sendiri. Seorang penguasa akan bertahan atau jatuh bergantung kemampuannya
mengelola kekuasaan.
Apakah
kekuasaan akan dikelola secara lembut (soft) atau keras alias dominatif,
semua itu memunculkan konsekuensinya. Sejarah perlawanan terhadap kekuasaan
yang dihadapi oleh penguasa secara persuasif kompromistis atau keras konfrontatif
juga masih menjadi pilihan-pilihan eliteelite penguasa masa kini dan masa
datang.
Hantu-hantu
kekuasaan atau salah satu versinya sebagaimana dipopulerkan Thomas Hobbes
sebagai Leviathan, monster dasar laut, di satu sisi, dan hantu-hantu
penggerogot kekuasaan, juga pada hakikatnya sama kendati bentuknya berbeda
bergerak di dunia nyata dan maya.
Maka
itu, yang kita butuhkan adalah, apa yang pernah disinggung oleh futurolog
John Naisbitt sebagai kepekaan intuisi atau nurani justru agar yang mengemuka
adalah kearifan atau kebijakan. Bagaimana menjadi arif dan bijak di masa
ketika banjir informasi tak bisa dibendung, yang asli dan palsu tumpang
tindih? Naisbitt menganjurkan agar kepekaan intuisi dikedepankan.
Tetapi,
intuisi yang dimaksud bukan dalam konteks insting hewani, tetapi kepekaan
kita sebagai manusia, kemanusiaan kita. Kemampuan membedakan yang ”benar dan
salah”, ”baik dan buruk” ada pada manusia kendatipun semua itu relatif.
Kearifan dan kebijakan itulah filternya agar manusia tidak tergilas oleh
gelegar perkembangan sejarah yang terus menyeretnya ke arus masa depan.
Para
aktor sejarah, terutama lapisan elite maupun noelite, akan seperti masuk ke
lorong labirin sejarah masa depan sedemikian rupa dan mereka bisa terjebak
pada ihwal yang dapat menyanderanya. Mereka tak mampu mengendalikan kereta
sejarah, tetapi terjebak pada lorong kepentingan jangka pendek yang buntu
dalam lingkaran labirin sejarah.
Kepentingan
kepentingan parsial jangka pendek itu ibarat kolesterol jahat yang mampu
menyumbat pembuluh darah. Kalaupun kita cari istilah lain yang barangkali
lebih tepat, kepentingan jangka pendek yang dimaksud identik dengan egoego
manusia dalam berpolitik, berekonomi, dalam kehidupan sosial, penegakan
keadilan, dan sebagainya.
Mereka
tak mampu mengelola ego-ego yang mereka miliki sehingga yang mengemuka adalah
perilaku-perilaku destruktif. Puncaknya adalah peperangan yang saling
menghancurkan. Dalam hal ini, sepanjang masa pun kita masih akan terus
jumpai, bagaimana sejarah manusia, pada hakikatnya juga sejarah peperangan.
Maka
itu, mimpi kita semua tentang masa depan barangkali apa yang pernah
dimimpikan Thomas Jefferson. Dia menorehkan mimpi-mimpinya sebagai pijakan
bangsa Amerika Serikat, yang sesungguhnya juga mimpi-mimpi yang universal.
Manusia diciptakan sederajat. Manusia harus bersama-sama menggapai kedamaian
dan kebahagiaan kendati di alam nyata yang dijumpai paradoks-paradoksnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar