Transparansi
Pengadaan Alutsista
Fahmi Alfansi P Pane ; Alumnus
Pascasarjana Manajemen Pertahanan Program Kolaborasi Universitas Pertahanan
Indonesia dan Cranfield University, Inggris
|
KOMPAS, 14 Desember
2016
Putusan Pengadilan Militer memidana penjara
seumur hidup Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi adalah momentum pemberantasan
dan pencegahan korupsi pengadaan alat utama sistem persenjataan. Namun,
momentum dapat hilang karena beratnya vonis mengesankan kasus korupsi besar
(grand corruption) teratasi sistem yang ada.
Terlebih, kasus itu menyangkut pengadaan
alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Amerika Serikat. Media massa
antara lain menyebut pengadaan jet tempur F-16 dan helikopter serang Apache.
Justru karena alutsista itu berasal dari AS, pengusutannya lebih mudah.
Kemudahan pengusutan karena AS dan sebagian
anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah memiliki standar
pengadaan alutsista dan ekspor senjata yang ketat, terbuka, dan mudah
ditelusuri aparat hukum sekiranya ada indikasi korupsi. Transparansi
informasi juga menyangkut mekanisme ekspor alutsista AS, termasuk beragam
barang bekas, seperti F-16 Blok 25 yang diekspor ke Indonesia.
Mengungkap
ekspor
Badan Pemerintah AS yang mengurus ekspor
senjata, yakni US Defense Security Cooperation Agency (DSCA), telah
menerbitkan informasi mengenai ekspor F-16 Blok 25 yang diperbarui dan
ditingkatkan kapabilitasnya, serta helikopter serang Apache AH-64D, berikut
rincian persenjataan dan radarnya, masing-masing satu dan dua hari setelah
penyampaian pemberitahuan kepada Kongres AS tahun 2011 dan 2012. Mekanismenya
adalah bila dalam 30 hari Kongres tak mengajukan keberatan, prosesnya
berlanjut. Ekspor barang yang lebih kecil ke Indonesia juga diungkapkan,
misal rudal udara ke permukaan Maverick (2012) dan rudal udara ke udara jarak
menengah AIM-120C7 (2016).
Meskipun tidak semua informasi pengadaan
alutsista disampaikan kepada publik global secara terbuka, informasi tersebut
masih dapat ditelusuri oleh Pemerintah Indonesia. Auditor internal Pemerintah
Indonesia dan BPK, misalnya, dapat menelusuri apakah keterlambatan pengiriman
alutsista karena keterlambatan atau kekurangan pembayaran dari pihak kita
atau kendala teknis di pihak AS, seperti ketidaklengkapan suku cadang. Apalagi,
April 2015, sebuah jet tempur F-16 dari Proyek Peace Bima Sena II gagal
terbang dan terbakar. Ini memperkuat indikasi adanya masalah.
Meskipun transparansi pengadaan alutsista
dari AS dapat membantu pengusutan suatu kasus korupsi, kisahnya akan berbeda
dalam pengadaan alutsista dari negara lain yang relatif lebih tertutup dari
AS, seperti dari Rusia dan Tiongkok. Apakah keterlambatan rudal buatan
Tiongkok C705 meluncur di hadapan Presiden Joko Widodo pada September 2016,
misalnya, semata- mata kendala teknis ataukah itu petunjuk indikasi
penyimpangan pengadaan?
Mengenai transparansi pengadaan alutsista,
Ketua KPK Agus Rahardjo mengusulkan transparansi anggaran pertahanan dan
pengadaan alutsista. Bahkan, di Kompas edisi 28 November 2016, ia meminta rencana
induk pengadaan alutsista yang konsisten. Dengan demikian, tidak ada
perubahan pembelian persenjataan.
Masalahnya, transparansi tidak mungkin
bersifat asimetris dan itu relatif sulit dipenuhi untuk pengadaan dari luar
anggota NATO. Data lembaga riset pertahanan seperti SIPRI tidak sepenuhnya
bisa diandalkan. Hal ini terutama menyangkut biaya pengadaan alutsista, yang
diasumsikan nilai alutsista bekas adalah 40 persen dari yang baru dan 66
persen untuk alutsista yang diperbarui. Padahal, pengusutan indikasi korupsi
membutuhkan nilai yang pasti, bukan asumsi umum.
Yang lebih penting adalah pengadaan
alutsista bertujuan membangun kapabilitas penangkalan (deterrence) sehingga ancaman militer dan bersenjata dapat
dicegah, termasuk perang terbuka. Penangkalan tidak akan efektif jika terlalu
terbuka, apalagi jika pihak lain telah mengetahui pengadaannya telat dan
kualitas senjatanya tidak setara dengan negara tetangganya.
Transparansi
terbatas
Transparansi juga harus terbatas untuk
pengadaan produksi sendiri, apalagi berasal dari riset anak bangsa. Selain
dapat mengorbankan hak kekayaan intelektual, keterbukaan informasi berisiko
menggagalkan riset tersebut. Pihak lain dapat mencegah akses pengadaan
komponen tertentu yang belum dapat dibuat sendiri. Saat ini keunggulan
antaralutsista semakin ditentukan oleh komponen tertentu, seperti radar AESA
pada jet tempur.
Konsistensi akan rencana induk lebih sulit
diterapkan karena perubahan teknologi yang sangat cepat dan dinamika
negosiasi antarnegara dan antarperusahaan. Terlebih, jika rencana induk
memuat daftar belanja alutsista secara detail. Penentuan spesifikasi teknis
tertentu malah seperti menyampingkan aturan umum pengadaan barang dan jasa,
serta berisiko menghilangkan kompetisi terbuka di antara penyuplai.
Perencanaan berbasis kapabilitas dapat
menjadi jalan keluar sepanjang pengadaan alutsista terintegrasi dengan
unsur-unsur pembangunan lini pertahanan (defence
lines of development), seperti konsep dan doktrin, infrastruktur,
latihan, personel, logistik, informasi, keterpaduan operasional, dan
sebagainya. Dalam pengadaan tank tempur utama Leopard, infrastruktur
penyimpanan baru disiapkan setelah keputusan pembelian dilakukan. Jika ini
masih terjadi, kita perlu akselerasi pembenahan manajemen pertahanan.
Pada akhirnya, komunitas pertahanan, baik
disiplin strategi pertahanan maupun manajemen, industri dan teknologi
pertahanan, perlu duduk bersama dengan komunitas aparat penegak hukum.
Pengadaan alutsista perlu memiliki standar yang mencerminkan transparansi,
akuntabilitas, serta integritas pelaku tanpa menoleransi keamanan informasi
dan kapabilitas pertahanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar