Perhutanan
Sosial dan Upaya Konservasi
Sugeng Budiharta ; Peneliti
Biologi Konservasi di Kebun Raya Purwodadi-LIPI
|
KOMPAS, 14 Desember
2016
Tahun-tahun ke depan, Indonesia akan
menjawab pertanyaan besar yang selama ini menjadi perdebatan di bidang
konservasi: mampukah masyarakat lokal secara efektif mengelola dan melindungi
hutan?
Hingga saat ini tidak ada kesimpulan yang
pasti atas pertanyaan tersebut dan Indonesia sedang coba menjawab dengan
skala yang sangat masif.
Dua momentum bidang kehutanan dan keanekaan
hayati bisa memberikan gambaran awal bagaimana pengelolaan hutan oleh
masyarakat dan kemungkinan dampaknya terhadap keanekaan hayati. Yang pertama
adalah Kongres Kehutanan Nasional yang berlangsung di Jakarta dengan
mengusung isu perhutanan sosial (Kompas, 5/11).
Perhutanan
sosial
Kebijakan perhutanan sosial yang
dicanangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan 12,7 juta
hektar hutan dan lahan untuk dikelola masyarakat lokal dan adat. Luasan
tersebut setara dengan ukuran Pulau Jawa. Beberapa skema perhutanan sosial
kemudian dibangun, di antaranya melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan
hutan adat.
Dari sudut pandang demokrasi, perhutanan
sosial dianggap terobosan besar untuk pengelolaan hutan yang lebih adil
dengan mengakomodasi hak-hak masyarakat lokal dan adat. Selama puluhan tahun,
kelompok ini terpinggirkan dalam pengelolaan hutan, dikalahkan oleh negara
dan korporasi.
Momen yang berkaitan dengan isu ini adalah
pertemuan anggota Konvensi PBB tentang Keanekaan Hayati (Convention on
Biological Diversity/CBD) yang saat ini tengah berlangsung di Cancun,
Meksiko. Indonesia merupakan pusat keanekaan hayati dunia dan telah
meratifikasi Protokol CBD sebagai bentuk komitmen dalam melindungi dan
memanfaatkan keanekaan hayati secara berkelanjutan.
Keanekaan hayati adalah harta tersembunyi
yang tidak dimiliki oleh semua negara. Beragam jenis tumbuhan, hewan,
bakteri, dan lain-lain berpotensi besar dikembangkan sebagai bahan obat,
sumber pangan dan material canggih. Jenis-jenis tersebut sebagian besar
tersimpan di dalam hutan yang keberadaannya berhubungan erat dengan
penyediaan jasa lingkungan, seperti pengatur tata air dan pelindung tanah.
Sayangnya, masih banyak jenis hayati yang belum terdokumentasi sehingga upaya
penemuan jenis baru dan penggalian potensinya beradu cepat dengan laju
kehilangan hutan.
Dengan adanya kebijakan perhutanan sosial,
perlu dikaji efektivitas pengelolaan hutan oleh masyarakat terkait
keberlanjutan hutan itu sendiri dan keberadaan keanekaan hayati yang
terkandung di dalamnya.
Ada kisah sukses pengelolaan hutan oleh
masyarakat yang memberikan manfaat bagi konservasi. Di Kalimantan Timur,
masyarakat adat Dayak Wehea berhasil mengelola 38.000 hektar hutan bekas
tebangan menggunakan peraturan adat sehingga penebangan liar berkurang.
Indikator
penentu
Namun, kajian awal kami yang merupakan
bagian dari Darwin Initiative menunjukkan bahwa cerita keberhasilan tersebut
tidak berlaku menyeluruh. Sebagian hutan desa mampu menahan laju deforestasi,
tetapi sebagian lain tidak. Kajian kami mengindikasikan bahwa keberhasilan
hutan desa dalam menahan deforestasi dipengaruhi oleh aksesibilitas terhadap
kota dan prasarana transportasi, keberadaan gambut, dan jarak terhadap
perkebunan kelapa sawit. Agar meminimalkan dampak negatif perhutanan sosial,
alokasi hutan desa dapat diarahkan ke kawasan dengan faktor-faktor yang dapat
memitigasi kerusakan hutan.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk
menentukan kawasan perhutanan sosial adalah keberadaan konflik lahan yang
melibatkan masyarakat setempat. Hasil pemetaan kami yang diterbitkan di
jurnal Applied Geography menunjukkan bahwa masyarakat dengan tingkat
ketergantungan tinggi terhadap hutan akan melawan jika kawasan hutan di
sekitarnya dialihfungsikan menjadi kawasan non-kehutanan. Kelompok masyarakat
ini terutama memanfaatkan hasil hutan nonkayu untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga dan upacara adat.
Kawasan hutan yang mempunyai nilai sosial
dan kultural tinggi dan berpotensi konflik bisa diprioritaskan untuk program
perhutanan sosial.
Meskipun hal di atas dapat memberikan
petunjuk awal arah perhutanan sosial, permasalahan lain perlu dikaji.
Pertama, berapa total kebutuhan biaya untuk mencapai target 12,7 juta hektar
perhutanan sosial dan apakah pemerintah mempunyai kecukupan anggaran untuk
itu? Jika tidak, perlu penentuan prioritas kawasan dengan mempertimbangkan
anggaran dan indikator penentu keberhasilan.
Kedua, apa saja kriteria terkait kapasitas
dan sumber daya yang harus dipenuhi masyarakat untuk mendapat izin perhutanan
sosial? Apakah semua masyarakat yang mengajukan izin memenuhi kriteria untuk
mengelola hutan secara lestari? Jika tidak, izin perhutanan sosial sebaiknya
diprioritaskan untuk masyarakat yang cukup kapasitas dan sumber dayanya.
Ketiga, bagaimana kualitas tata kelola
pemerintah dalam perencanaan, pemberian izin, pembinaan dan pengawasan
program perhutanan sosial, dan apakah semua daerah mempunyai kualitas tata
kelola yang setara? Jika tidak, perhutanan sosial diprioritaskan di daerah dengan
kualitas tata kelola yang baik.
Perhutanan sosial merupakan ujian terkini
demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Pemerintah dan para pihak perlu
meminimalkan dampak negatifnya terhadap kelestarian hutan dan keanekaan
hayati.
Untuk itu, diperlukan identifikasi risiko
dan peluang keberhasilan melalui kajian-kajian ilmiah. Harapannya, demokrasi
dan konservasi dapat berjalan beriringan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar