Merajut
Tenunan Kebangsaan
Yudi Latif ; Cendekiawan
|
MEDIA INDONESIA,
13 Desember 2016
MASIH adakah simpul perekat yang
mempertautkan bayangan keindonesiaan hari ini? Suatu bangsa, menurut Ben
Anderson, ialah suatu ‘komunitas politik terbayangkan’. Setiap bayangan
selalu punya ufuk horizon, berupa batas imajiner yang memisahkan ‘kekitaan’
dan ‘kelainan’ (otherness). Dalam pergerakan kemerdekaan, horizon tapal batas
kekitaan itu terus diperluas dengan mempertautkan berbagai kelainan dalam
fantasi keindonesiaan. Namun, dalam perkembangan keindonesiaan hari ini,
tapal batas kekitaan itu terus menciut, dipecah-belah berbagai fantasi
kelainan. Agama mestinya memijarkan semangat kasih sayang bagi seru sekalian
alam (rahmatan lil-alamin), dengan
memandang perbedaan sebagai ajang berlomba dalam kebaikan. Namun, dengan
pengerasan-pengekslusifan agama lewat politisasi identitas, ekspresi
keagamaan cenderung menolak perbedaan dengan menarik garis demarkasi antara
kami dan mereka. Persekolahan berlomba memecah kekitaan atas dasar perbedaan
kelas dan status sosial. Sekolah publik, yang mestinya menjadi kuali pelebur
ragam identitas, justru menjadi pengukuh perbedaan sosial ketika diskriminasi
dan favoritisme atas dasar daya beli mendapat tempat.
Politik yang mestinya menjadi katalis bagi
integrasi sosial, dengan mentransendensikan warga dari irasionalitas
komunalisme ke rasionalitas publik, malah menjadi sumber disintegrasi dan
irasionalitas. Partai politik bersitumbuh, bak cendawan di musim hujan, meretakkan
bayangan kebangsaan oleh pertentangan kepentingan pragmatis-elitis. Otonomi
daerah tanpa fantasi persatuan memenggal integrasi teritorial, bahkan
mengaveling lautan, menurut batas otoritas kabupaten; juga memutus integrasi
sosial-nasional, ketika gerak sentrifugal dari perda-perda berbias
etnokultural bertubrukan dengan gerak sentripetal dari aspirasi hukum
nasional. Pilkada langsung, tanpa mempertimbangkan karakter dan kapasitas
lokal, menguatkan kembali tribalisme yang dapat melemahkan solidaritas sosial
dan sendi-sendi nasionalisme sipik. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
kian tertekan oleh kedangkalan pemujaan terhadap hal-hal berbau asing, yang
ditimbulkan mentalitas rendah diri. Ruang publik kita dikepung logo dan
sebutan asing, yang kerap digunakan secara semena-mena, tanpa melalui proses
penerjemahan atau penyerapan yang tepat. Karena bahasa menunjukkan bangsa,
pengepungan ruang publik oleh keasingan itu mengisyaratkan goyahnya
sendi-sendi kebangsaan.
Pelipatgandaan dan komersialisasi media
mendorong ke arah fragmentasi publik. Dalam menjamurnya outlet media dan
media sosial, masyarakat dipotong dan diiris ke segmen-segmen spesifik, yang
membatasi terpaannya pada isu dan informasi bersama. Suatu homogenitas ruang
publik kecil muncul berdampingan, jika tidak menggantikan, heterogenitas
ruang publik besar, yang kemudian memecah jagat politik. Bersamaan dengan
itu, ketimpangan terjadi antara masalah kebebasan memilih informasi/program
dengan perlunya memberikan pendidikan kepada warga. Dalam ketundukannya pada
logika komersialisasi, media lebih memenuhi keinginan ketimbang kebutuhan
pemirsa. Dalam memenuhi keinginan ini, penurunan dalam kualitas pemberitaan
terjadi ketika tuntutan merebut perhatian pemirsa menimbulkan distorsi
pemberitaan oleh sensibilitas hiburan; mengaburkan perbedaan yang tegas
antara iklan, pesan promosi, dan liputan berita. Implikasi lebih serius,
rakyat lebih diperlakukan sebagai segmen konsumen (consumer audiences), ketimbang publik kewargaan (civic public) yang terikat pada
kemaslahatan kolektif.
Kebertautan antara proliferasi partai
politik, yang miskin jaringan sosial, serta proliferasi media massa, yang
miskin pertanggungjawaban publik, membuat kehidupan politik mengalami proses
komodifikasi, yang memecah bayangan kebangsaan atas dasar selera konsumen.
Dalam logika konsumen ini, otonomisasi, keterlibatan dan kritisisme massa
dalam politik melemah. Preferensi atas partai dan pemimpin politik lebih
menekankan kekuatan daya tarik personal ketimbang kekuatan visi dan program.
Akibatnya, seperti memenuhi gambaran Adolf Hitler, “Massa besar rakyat lebih
mudah jatuh ke dalam manipulasi para pembohong besar.”
Tiba-tiba saja kita mendapati Indonesia
sebagai cermin yang retak. Setiap orang dan kelompok hanya melihat segala
sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian
mencekik kekitaan. Bersamaan dengan itu, ada retakan yang lebar antara ‘ode’
kemajuan pembangunan dengan realitas krisis kehidupan. Di berbagai
kesempatan, elite negeri merayakan kehebatan Indonesia sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, perkembangan demokrasi tersebut
pada kenyataannya tidak menguatkan simpul persatuan dan keadilan. Orde Reformasi
melahirkan momentum keterbukaan ruang publik dan pemberdayaan ‘masyarakat
sipil’ dan ‘masyarakat politik’. Hal ini ditandai penguatan kembali hak-hak
sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi. Walaupun
demikian, nilai-nilai demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan mudah di tengah
kuatnya budaya feodalisme, rendahnya tingkat pendidikan, buruknya situasi
ekonomi, dan lemahnya supremasi hukum. Karena itu, transformasi bangsa tidak
cukup hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga harus
seiring dengan pembangunan suprastruktur mental-budaya. Reformasi sosial
tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi kelembagaan politik dan
ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya. Reformasi
sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif,
yang membawa transformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup (ways of life).
Bhinneka
tunggal ika
Perhatian terhadap pentingnya variabel
budaya harus sejalan dengan pentingnya pemahaman ragam budaya dalam suatu
masyarakat bangsa. Terlebih dalam masyarakat plural seperti Indonesia,
konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik,
melainkan harus bersifat monopluralisme (persatuan dalam perbedaan). Kita
punya konsepsi kebudayaan yang tepat dan tahan banting dalam slogan Bhinneka
Tunggal Ika. Bahwa di satu sisi, kita harus bisa menghargai dan merawat aneka
budaya yang ada; pada saat yang sama, kita juga harus bisa memiliki
kesanggupan untuk mencari titik temu di antara ragam perbedaan.
Kehidupan di Tanah Air yang begitu luas
wilayahnya, banyak penduduknya, beragam suku dan budayanya, sulit meraih
kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama tanpa adanya ‘titik temu’. Titik temu
itu bernama Indonesia dengan landasan nilai kebersamaannya terkandung dalam
Pancasila. Secara historis kelima sila Pancasila merupakan perpaduan
(sintesis) dari keragaman keyakinan, paham, dan harapan yang berkembang di
negeri ini. Sila pertama merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama
dan kepercayaan. Sila kedua merupakan rumusan sintesis dari segala paham dan
cita-cita sosial-kemanusiaan yang bersifat transnasional. Sila ketiga
merupakan rumusan sintesis dari kebinekaan (aspirasi-identitas) kesukuan ke
dalam kesatuan bangsa. Sila keempat merupakan rumusan sintesis dari segala
paham mengenai kedaulatan. Sila kelima merupakan rumusan sintesis dari segala
paham keadilan sosial-ekonomi.
Secara esensial, setiap sila Pancasila
mencerminkan suatu perspektif dari keutuhan integritas kodrat kemanusiaan.
Bahwa kodrat manusia pada dasarnya bisa dikerucutkan ke dalam lima unsur
(ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan) yang satu
sama lain saling terkait, saling menyempurnakan, dalam ikatan cinta kasih
yang bisa mengembangkan harmoni dan kerja sama dalam perbedaan. Semangat
cinta kasih itulah yang dalam kata kerjanya disebut Bung Karno dengan istilah
‘gotong-royong’. Menurutnya, gotong-royong ialah paham yang dinamis, lebih
dinamis daripada kekeluargaan. “Gotong royong ialah pembantingan tulang
bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal
semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!” Semangat gotong-royong
terasa penting ketika bangsa ini menghadapi krisis multidimensional, yang
memerlukan solusi kerja sama multidisiplin dan multiposisi. Banyak orang
menyadari akar tunjang dari krisis multidimensional ini ialah krisis jati
diri bangsa. Usaha untuk memulihkan krisis jati diri bangsa coba diatasi
lewat berbagai program pendidikan dan pelatihan kepribadian, baik yang
berbasis intelligence quotient (IQ), maupun emotional quotient (EQ), dan spiritual
quotient (SQ).
Usaha menyelesaikan persoalan jati diri
dengan ukuran-ukuran tersebut memang patut diapresiasi, tapi belum memadai.
Menurut hemat saya, sisi terlemah manusia Indonesia bukanlah dari sisi
kedirian yang bersifat personal, melainkan lebih mencolok pada aspek kedirian
yang bersifat publik. Hal ini dengan mudah dilihat bahwa hampir semua hal
yang bersifat kolektif mengalami persoalan yang akut; mental bangsa ini juga
kedodoran dalam mengembangkan semangat kerjasama; bahkan dalam olahraga yang
bersifat beregu, Indonesia sulit meraih prestasi internasional. Krisis pada
kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dan
pembudayaan dalam mengembangkan ‘kecerdasan kewargaan’ (civic intelligence quotient). Pendidikan terlalu menekankan
kecerdasan personal, dengan mengambaikan usaha mempertautkan keragaman
kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif-kewargaan. Setiap
individu dibiarkan menjadi deret ‘huruf’ alfabet, tanpa disusun secara
kesatuan dalam perbedaan (bhinneka tunggal ika) ke dalam ‘kata’ dan ‘kalimat’
bersama. Akibatnya, banyak manusia yang baik dan cerdas tidak menjadi warga
negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban
dan haknya).
Padahal, bangsa Indonesia sebagai
masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya, tidak mungkin bisa
dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan penyebut
yang sama (common denominator),
sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama. Oleh karena itu, pendidikan
‘kecerdasan kewargaan’ berlandaskan Pancasila merupakan jurus pamungkas yang
paling dibutuhkan. Manakala tenunan kebangsaan ini robek, mari kita jahit
kembali dengan menguatkan nilai keindonesiaan yang terkristalisasi dalam
Pancasila! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar