Titik
Kritis Negara-Bangsa
Suwidi Tono ; Koordinator
Forum ”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS, 15 Desember
2016
“Andai saya bisa mengubah jarum jam dalam
menangani migran,” kata Angela Merkel, Kanselir Jerman, menanggapi kekalahan
partainya, Uni Demokratik Kristen (CDU), dalam semua pemilu daerah karena
kebijakannya menampung 1 juta migran dan pengungsi yang mayoritas dari
Suriah. Kendati terjepit di dalam negeri dan ditinggalkan beberapa negara
sekutunya di Eropa akibat keputusannya itu, Merkel bergeming dan malah
mencalonkan diri sebagai kanselir untuk keempat kalinya pada pemilu 2017.
Merkel kini tampil sendirian sebagai
pemimpin Eropa penentang xenofobia, anti pluralisme, dan demokrasi yang
sedang menjangkiti dunia, termasuk Amerika Serikat. Jerman yang pernah
dipimpin Hitler, salah satu demagog paling brutal dalam sejarah, sekarang
mencengangkan dunia dengan determinasi humanisme universal. Transisi mulus
setelah runtuhnya tembok Berlin dan agregasi migran Afro-Asia di Jerman
selama beberapa dekade terakhir membuktikan ketangguhan negara itu sebagai
kampiun integrasi antarperadaban.
Fenomena Brexit (keluarnya Inggris dari
keanggotaan di Uni Eropa), penutupan kamp pengungsi di Perancis, gelombang
kebangkitan ideologi ultrakanan di sebagian besar Eropa, dan terpilihnya
Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, menempatkan Merkel dan Jerman dalam
kontestasi peradaban mendebarkan. Di tengah menguatnya fundamentalisme,
neotribalisme, fanatisme, dan skripturalisme sebagai perlawanan atas sisi predatorik
dunia tanpa tapal batas, kepeloporan Jerman membangkitkan optimisme untuk
menangkal hadirnya begitu banyak paradoks globalisasi.
Mengelola
kemajemukan
Konstelasi tata dunia yang terus
memproduksi perang, kekerasan, dan ketidakadilan memberi pesan dan pelajaran
berharga bagi kita untuk merawat kebinekaan sebagai aset berharga. Pemupukan
dan penyerbukan semua potensi keberbedaan adalah keniscayaan agar bangunan
negara-bangsa tak terkoyak. Kerja besar merajut pengertian dan kesepahaman
persatuan dalam keragaman merupakan panggilan tugas semua pihak yang pandai
mensyukuri berkah kemajemukan sebagai warisan peradaban dan ketatanegaraan
kita.
Aparatur negara dan tokoh otentiksudah
semestinya memelihara kekenyalan bangunan republik yang disokong kekuatan
intrisik bangsa: toleransi, solidaritas, gotong royong, dan bekerjanya
beragam kearifan lokal. Negara harus menangkal benih-benih segregasi yang
bersumber dari intoleransi, pemaksaan kehendak kelompok, banalitas tingkah
laku yang melampaui batas kepatutan, praktik hukum diskriminatif, dan
ketidakadilan mencolok, baik di tingkat perencanaan maupun penerapan.
Intrusi dan distorsi perdagangan bebas
berdampak pada ketimpangan dan melahirkan bermacam bentuk kerawanan. Eskalasi
endapan kerawanan itu dapat memantik pelapukan sosial, kultural, dan pada
akhirnya mengancam keutuhan bangsa. Semua bangsa yang mengerti dan tanggap
terhadap ancaman ketidakseimbangan global itu berupaya keras membangun
”bantal pengaman” berupa kemajuan, keadilan, dan kesetaraan.
Belanda menciptakan politik devide et
impera (memecah belah) untuk melanggengkan kekuasaannya di Nusantara. Sedimen
bekas politik pecah belah itu masih mengendap bukan saja dalam ingatan
kolektif, tetapi juga sesekali muncul lewat sentimen suku, ras, agama, dan
ekonomi. Stereotip yang melekat dan terbangun dalam aneka prasangka tersebut
belum sepenuhnya terkikis, bahkan bertambah dengan bermacam konflik pasca
kemerdekaan yang menyisakan memori keperihan dan dendam tak berkesudahan.
Mengelola kemajemukan, kearifan berdamai
dengan masa lalu, dan tugas sejarah untuk mewujudkan cita-cita besar ”menjadi
Indonesia” antara lain bergantung pada kemampuan mengenyahkan sekat-sekat
perusak itu sembari menumbuhkan tanggung jawab seluruh elemen bangsa dalam mengatasi
tantangan bersama yang semakin bersegi banyak.
Kohesivitas organik rakyat-bangsa-negara
dalam konstruksi dan impian pendiri republik seperti termaktub dalam
Mukadimah UUD 1945 jelas mensyaratkan perhatian dan penguatan sendi-sendi
pokok peradaban dengan ikhtiar utama pada upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa. Cerdas jiwa-raga sebagaimana dinukilkan dalam bait lagu Indonesia
Raya: ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” mengirim pesan hakiki tujuan
berbangsa dan bernegara. Terkandung dalam cita-cita mulia itu, harapan besar
kelak Indonesia dapat memainkan peran mendorong perdamaian dunia yang abadi.
Titik
kritis
Di jalan raya kemajuan dan persaingan
bangsa-bangsa yang semakin dapat diperbandingkan dan dilacak jejaknya, kita
mendapati dan mengidap dua jenis ”penyakit” yang membuat bangsa tertinggal dalam
pacuan meraih keunggulan. Pertama adalah korupsi, kejahatan kemanusiaan luar
biasa dengan daya rusak dahsyat di seluruh sendi kehidupan.
Mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa Kofi Annan (1998) mengurai akibat meluasnya praktik ini.
”Korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan, tetapi mematikan,
menciptakan kerusakan sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi
dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi
perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan rakyat dan memungkinkan
organisasi kriminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk
berkembang.”
Pencegahan dan pemberantasan korupsi bukan
saja memerlukan perangkat perundangan lengkap, mendasar, dan menyeluruh,
sistem hukum yang adil, aparat yang bersih, melainkan juga penataan ulang
konstruksi ekonomi-politik yang cenderung melanggengkan patronase elite sehingga
menjadi sumber perburuan rente serta praktik penyimpangan lainnya. Kebutuhan
merekonstruksi bangun ekonomi-politik itu mendapatkan penegasan dari beberapa
argumen berikut.
Pertama, proporsi penerimaan negara yang
bersumber dari pajak sukar menembus 20 persen rasio pajak karena basis
penerimaan pajak terbatas pada pelaku ekonomi dan wirausaha yang relatif
kecil jumlahnya. Pertumbuhan kewirausahaan yang rendah memberi petunjuk jelas
tentang ketidaksetaraan the level of
playing field, aksesibilitas modal, dan dominasi segelintir pengusaha
disektor-sektor strategis, terutama di properti, keuangan, pertambangan, dan
perkebunan.
Kedua, daya ungkit belanja pemerintah sudah
sejak lama tidak memadai mengimbangi kebutuhan investasi pro pertumbuhan dan
pemerataan. Porsi anggaran untuk membayar utang jauh lebih besar ketimbang
alokasi untuk investasi infrastruktur dan subsidi kaum miskin.
Ketiga, lapangan ekonomi selain masih sarat
dipenuhi praktik konsesi-lisensi, pembangunan proyek-proyek infrastruktur
besar terbukti tidak selalu membawa dampak pengganda yang meluas dan
menggerakkan ”titik-titik api” pertumbuhan. Fakta yang sering kali terjadi
justru semakin mengakumulasi konsentrasi modal pada sebagian kecil pelaku
ekonomi, perluasan enklave, serta menyisakan kantong-kantong kemiskinan dan
ketimpangan baru.
Pergeseran peran pemerintah dari provider
ke enabler dalam konstelasi baru
persaingan antarbangsa belum sepenuhnya direspons dengan afirmasi sepadan,
kecuali mengakomodasi regulasi yang merujuk standar internasional tetapi
lemah membangun pijakan kuat dan mengakar sebagai basis ketahanan ekonomi
nasional. Dengan bertumpu pada politik anggaran dan deregulasi masif, tetapi
lalai memihak kepada golongan lebih luas dan absen menekan sumber-sumber grand corruption mulai dari tingkat
pengambil keputusan, muskil berharap pertumbuhan berkualitas dan
berkelanjutan. Apalagi pertumbuhan ekonomi selama ini diperoleh dengan
pengorbanan besar berupa pembesaran utang, kerusakan struktur sosial, dan
kepunahan sumber daya alam tak terbarukan.
Titik kritis kedua adalah kualitas agregat
sumber daya manusia. Menggunakan analisis dan standar apa pun, harus diakui
hasil pendidikan formal kita kalah bersaing dan lemah membangun kompetensi,
kepercayaan diri, dan keluhuran akal budi. Gagasan dan ikhtiar pembenahan
sistem pendidikan nasional tidak menjangkau apa yang diperlukan untuk
menjawab kebutuhan esensial dan tantangan besar dua-tiga puluh tahun ke
depan.
Kombinasi korupsi mengakar dan pendidikan
berkualitas rendah menghambat pencapaian bangsa-negara dalam meraih self generating momentum, titik tolak
untuk menghela kemajuan substansial. Menunda perombakan landasan keropos ini
bukan hanya menempatkan bangsa dalam keterbelakangan, tetapi juga absen
memberi sumbangan berarti bagi tata dunia baru seperti dicita-citakan oleh
pendiri Republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar