Sepak
Bola dan Republik Ini
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 15 Desember
2016
Haarlem, Belanda, musim dingin pada
1914-1916. Kompleks lapangan bola HFC di Spaanjardslaan (Jalan Spanyol)
bersalju. Tan Malaka, pejuang bangsa yang kala itu berstatus murid sekolah
guru dan masih berusia belasan tahun, bermain untuk klub (bond) Vlugheid
Wint. Ia satu-satunya pemain asing asal Hindia Belanda (sebutan Indonesia
saat itu) di klub itu. Posisinya di lini depan, sebagai penyerang atau striker.
Kalau bermain, tanpa sepatu alias bertelanjang kaki, seperti kebiasaan
anak-anak di Hindia Belanda. Namun, gerakannya sangat cepat dan lincah.
Serangannya begitu cepat, kerap merepotkan barisan pertahanan lawan. Dengan
cepat, Tan Malaka mencuri perhatian penonton.
"Sebagai anggota salah satu
perkumpulan sepak bola di Haarlem, saya dengan setia main dalam pertandingan
setiap minggu di Haarlem atau di desa-desa di sekitarnya. Saya sama sekali
tidak berpikir untuk melindungi diri dalam musim salju, dan andai kata saya
memikirkannya, pasti saya tidak akan melindungi diri saya," tulis Tan
Malaka (Harry A Poeze, Tan Malaka,
Pergulatan Menuju Republik I, 1988). Ia memang cuek dengan dirinya
(kemudian menderita sakit paru-paru), tetapi menurut teman-temannya, kala itu
Ip (panggilan akrab Tan Malaka) sudah mulai menyinggung soal kemerdekaan bagi
tanah airnya atau keinginannya untuk memajukan bangsa.
Sepak bola adalah olahraga terpopuler di
jagat ini. Sepak bola pun dipandang sebagai alat untuk mempersatukan bangsa.
"Kita ingin sepak bola mempersatukan, bukan malah menjadikan kita tidak
satu," ujar Presiden Joko Widodo seusai menonton laga final Piala
Presiden di Gelora Bung Karno, Jakarta, 19 Oktober 2015. "Olahraga
(sepak bola) memiliki kekuatan untuk menginspirasi dan menyatukan
orang-orang," kata pemimpin Afrika Selatan, Nelson Mandela, saat
negaranya menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010.
Memang, sepak bola mengajarkan semangat
tinggi, kerja tim, sportivitas, hingga soliditas dan kebersamaan. Jujur saja
sekarang bangsa ini tengah terkotak-kotak. Dalam tiga bulan ini saja publik
terbelah terkait reaksi terhadap dugaan penistaan agama yang dilakukan
Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sampai-sampai
ruang publik pun terasa sumpek. Pilar-pilar kebangsaan dan kebinekaan seakan
digerogoti karat. Ujaran kebencian, fitnah, dan amarah membuat oksigen
kehidupan menipis.
Selasa (13/12) lalu saja kemarahan dan
"kegilaan" seperti meletup di mana-mana. Di Sabu Raijua, ada
seorang warga tak waras menikam tujuh siswa SD saat mereka belajar di kelas.
Warga yang marah lalu mengeksekusi pelaku di kantor polisi. Di Jakarta, ada
pegawai Mahkamah Agung marah dan mencakar seorang polisi di jalanan di
Jakarta Timur. Di Bandung, delapan warga ditikam seorang pemuda. Seorang
warga di antaranya tewas. Begitu mudah kemarahan membuncah.
Kemarahan dan kebencian membuat atmosfer
negeri ini "berkabut". Kemarahan adalah asupan yang tidak sehat
bagi pikiran masyarakat. Justru menjadi pengganggu bagi proses bernegara dan
berbangsa. Energi bangsa pun terbuang percuma. Padahal, sekarang negeri ini
tengah ditimpa bencana demi bencana. Banjir bandang di Garut dan Bandung;
longsor di Lebak, Karanganyar, Trenggalek; kapal karam di perairan Batam,
pesawat hilang di perairan Kepulauan Riau dan Papua; dan puncaknya gempa bumi
yang merusak Pidie Jaya, Aceh, yang memakan korban lebih dari 100 jiwa.
Di tengah situasi yang berat itu, tak ada
cara lain kecuali bangsa ini harus benar-benar kompak. Beda pandangan, beda
partai politik, beda suku, beda agama; tetapi inilah Indonesia kita. Tanpa
kekompakan, takkan ada kekuatan yang dimiliki bangsa ini. Senyampang Piala
AFF 2016, seperti kata Jokowi dan Mandela, semoga sepak bola bisa menyatukan
kembali masyarakat. Piala AFF 2016 semestinya menjadi momentum untuk
memperlihatkan keindonesiaan bersama-sama.
Dalam laga pertama pertandingan final di
Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu (14/12) malam, tim
"Garuda" menunjukkan kehebatannya mengungguli juara bertahan
Thailand dengan skor 2-1. Indonesia mampu membalikkan prediksi. "Sepak
bola adalah magical game," kata David Beck-ham, mantan kapten tim
Inggris. Semangat menyala-nyala terus dikobarkan untuk menghadapi laga
berikutnya di "Negeri Gajah Putih". Saatnya sepak bola menjadi
momentum untuk menunjukkan kembali kebersamaan bangsa ini. Agar
Republik-seperti digagas Tan Malaka pada 1924 silam-ini terus jaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar