Spiral
Kebungkaman
Agus Sudibyo ; Pendiri
Indonesia New Media Watch;
Pengajar di Akademi Televisi
Indonesia (ATVI) Jakarta
|
KOMPAS, 15 Desember
2016
Dalam alam demokrasi, media massa
semestinya dapat melampaui dikotomi mayoritas-minoritas. Pers yang bebas tak
akan terpengaruh tekanan siapa pun, termasuk tekanan kelompok yang mendaku
diri sebagai mayoritas.
Dengan senantiasa mempertahankan sikap
berjarak dan kritis, pers yang bebas akan terus memberi ruang untuk suara-suara
alternatif, minoritas, atau pinggiran sebagaimana hal yang sama diberikan
kepada arus utama atau suara mayoritas. Inilah esensi dari media sebagai
ruang publik yang demokratis. Namun, sering kali kenyataan berbicara lain.
Situasi yang konfliktual dan rumit dapat membuat pers, sadar atau tidak
sadar, justru memasuki kompleksitas mayoritas-minoritas, alih-alih
mengatasinya. Mayoritas-minoritas menjadi variabel yang dipertimbangkan
sebagian media dalam menentukan sikap pemberitaan.
Pandangan
mayoritas
Bayang-bayang kehilangan khalayak yang
diasumsikan sebagai mayoritas dapat membuat media cenderung mengafirmasi
”pandangan mayoritas”. Kekhawatiran akan diabaikan atau dijauhi
kelompok-kelompok yang mendaku diri mayoritas dapat membuat media cenderung
menghindari pemberitaan kritis terhadap mereka.
Apa yang terjadi kemudian adalah goyahnya
konsistensi pers dalam menyajikan keberagaman sudut pandang dan pendapat,
serta pudarnya keberanian untuk mempersoalkan tindakan-tindakan yang bisa
membahayakan sendi-sendi kehidupan bersama.
Di bawah bayang-bayang tekanan atau isolasi
dari kelompok mayoritas, pers dapat tiba-tiba mengubah sikap pemberitaan,
dari yang awalnya bersifat kritis menjadi netral, tidak berposisi, bahkan
lebih jauh lagi cenderung mengafirmasi posisi mayoritas.
Pers yang profesional mungkin mampu
menghindari keberpihakan terhadap mayoritas lalu memilih untuk bersikap
netral atau tidak bersikap sama sekali. Namun ketika keadaan semakin kurang
kondusif bagi sendi-sendi kehidupan bersama dan pers diharapkan mampu berbuat
sesuatu untuk turut mengatasi keadaan, sikap netral atau abstain tersebut
juga tetap bermasalah secara moral.
Spiral kebungkaman! Inilah yang
dikhawatirkan Elisabeth Noelle Neumann dalam konteks ini. Dalam buku The Spiral of Silence (1984), ilmuwan
politik Jerman ini menegaskan bahwa dari pemberitaan media, masyarakat
mendapatkan gambaran tentang opini dominan terkait suatu masalah publik.
Ketika glorifikasi atas opini dominan itu intensif terjadi melalui media,
masyarakat kemudian menyimpulkan opini yang bisa diterima publik dan yang
tidak bisa diterima publik. Apa yang terjadi kemudian, menurut Neumann,
masyarakat menjadi cenderung menahan diri untuk berbeda pendapat.
Masyarakat kurang berani berpendapat karena
takut berseberangan dengan apa yang dianggap sebagai opini dominan atau
pandangan mayoritas. Ruang perbincangan publik diliputi suasana ketakutan
akan isolasi (fear of isolation).
Pengamat, intelektual, pemuka masyarakat, hingga orang awam yang secara
akumulatif sesungguhnya justru mayoritas hanya berani menyampaikan pendapat
berbeda pada level bisik-bisik komunikasi interpersonal.
Dalam konteks mengemukanya isu agama, ras
yang beririsan dengan isu politik belakangan ini, spiral kebungkaman memang
belum benar-benar terwujud, tetapi sudah dapat dirasakan tanda-tandanya.
Diskusi yang terjadi di media sosial begitu keras dan banal. Proses
berkomunikasi di medsos seperti berjalan tanpa standar etika jelas sehingga
menimbulkan kebingungan dan kekacauan.
Semua orang dikondisikan untuk berbicara
secara lugas, spontan, dan instan, seakan-akan sedang berada pada level
komunikasi interpersonal. Sebagian orang begitu apriori dalam mengomentari
orang lain seakan- akan sedang berada pada level komunikasi kelompok.
Padahal, medsos adalah penggabungan antara
mode komunikasi interpersonal, kelompok, publik, dan massa sekaligus.
Konsekuensinya, ujaran-ujaran yang spontan, instan, dan tak berempati kepada
orang lain dengan mudah tersebar ke mana-mana dan merugikan pihak tertentu.
Keras dan banalnya diskusi di media sosial
membuat banyak orang kemudian memilih bungkam dan tidak terlibat. Sebagian
karena perasaan tak nyaman dengan perdebatan yang sedemikian rupa dibumbui
sumpah-serapah dan caci maki. Sebagian lain karena tidak ingin kehilangan pertemanan
karena percekcokan yang tidak perlu. Namun, tidak sedikit pula yang menarik
diri dari perdebatan di media sosial karena khawatir dianggap bertentangan
dengan opini dominan sehingga kemudian dieksklusi dari lingkaran pergaulan.
Posisi
media massa
Pada situasi yang seperti ini, harapan
sebenarnya tertuju kepada media massa. Media massa diharapkan mampu mengurai
kekusutan komunikasi dan interaksi di media sosial. Namun, harapan itu
terbentur pada setidak-tidaknya dua hal.
Pertama, media massa tak berani mengabaikan
begitu saja apa yang berkembang di medsos. Banyak media massa bahkan lebih
jauh lagi, dengan sadar memanfaatkan opini yang berkembang di medsos sebagai
pertimbangan dalam menentukan arah pemberitaan. Hubungan antara medsos dan
mesin pencari dengan media massa konvensional di sini adalah hubungan yang
unik. Secara ambigu Nikos Smyrnaios (2015) meringkasnya dalam kata frenemy: friend and enemy, teman
sekaligus kawan.
Kedua, media massa sedang menghadapi
masalahnya sendiri terkait dengan dikotomi mayoritas-minoritas. Media massa
di Indonesia hidup di bawah bayang-bayang harapan dan tuntutan masyarakat
yang pada momentum tertentu tiba-tiba teridentifikasi sebagai kelompok
mayoritas dan minoritas.
Dengan pertimbangan politik atau bisnis,
banyak media cenderung kemudian mengafirmasi sikap-sikap kelompok yang
dianggap mayoritas meskipun media mengetahui sikap tersebut sebenarnya cukup
problematis secara hukum atau politik. Pada gradasi yang berbeda-beda, media
massa sulit menghindari sikap akomodatif atas posisi atau tuntutan kelompok
tersebut. Tak pelak, media massa berada dalam dilema.
Bersikap kritis terhadap yang diasumsikan
sebagai kehendak mayoritas dapat menghadapkan media pada risiko kehilangan
khalayak dalam jumlah yang signifikan. Bersikap netral atau mengakomodasi
kehendak mayoritas juga dapat menghadapkan media kepada posisi tidak
berempati kepada nasib dan kepentingan kelompok minoritas.
Terlepas dari dilema ini, spiral
kebungkaman itu tidak dapat dibiarkan semakin mendominasi kehidupan publik.
Sebagai ruang publik, fungsi media tentu saja bukan membuat orang takut
berbicara karena bayang-bayang opini mayoritas, melainkan justru sebaliknya,
membuat semua orang berani berbicara dalam forum diskusi yang bebas, tanpa
tekanandan dilandasi sikap saling menghargai. Dalam situasi apa pun, perlu
kiranya pers memastikan bahwa semua pihak memiliki kesempatan yang setara
untuk membangun opini publik.
Pada saat yang sama, pers harus mampu
bersikap skeptis dan selidik kepada semua pihak yang menunjukkan gelagat
ingin menggunakan media untuk mewujudkan kepentingan partikularnya. Hal ini
berlaku baik untuk mereka yang mendaku diri mayoritas maupun yang merasa diri
minoritas. Kedewasaan pers sedang diuji pada aras ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar