Strategi
Reindustrialisasi
Mudrajad Kuncoro ; Ketua
Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi FEB UGM
|
KOMPAS, 14 Desember
2016
Dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-Kalla,
upaya membalikkan gejala deindustrialisasi belum banyak menunjukkan hasil. Deindustrialisasi
masih terjadi. Industri manufaktur mengalami pertumbuhan 4,56 persen pada
triwulan III-2016, sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 5 persen. Kendati nilai tambah yang disumbangkan sektor industri
mencapai 19,9 persen dari produk domestik bruto (PDB), kinerja ini masih jauh
dari yang ditetapkan pemerintah sekitar 21 persen terhadap PDB selama tahun
2015-2016.
Gejala deindustrialisasi yang berlangsung
sejak 2001 ini perlu segera dicari akar masalahnya dan ”obat” yang cespleng.
Dari sembilan agenda prioritas di Nawacita
yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-Kalla, ada tiga agenda yang terkait
dengan pengembangan industri. Pertama, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedua, meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Ketiga, membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan.
Arah kebijakan pembangunan industri
nasional telah digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahun 2015-2019. Publikasi Kementerian Perindustrian yang berjudul
Industry Facts and Figures 2016 menyatakan, pembangunan industri diarahkan
pada pengembangan perwilayahan industri di luar Pulau Jawa, penumbuhan
populasi industri, serta peningkatan daya saing dan produktivitas.
Pengembangan wilayah industri mencakup
wilayah pusat yang berada di koridor ekonomi, kawasan industri, sentra
industri kecil dan menengah (IKM), kawasan ekonomi khusus, kawasan berikat,
dan juga kawasan perdagangan bebas.
Penumbuhan populasi industri dilakukan
dengan menambah setidaknya sekitar 9.000 industri berskala besar dan sedang
dengan harapan 50 persen tumbuh di luar Jawa serta tumbuhnya 20.000 unit usaha
industri kecil. Peningkatan daya saing dan produktivitas dengan berbagai
strategi, termasuk peningkatan efisiensi teknis, penguasaan iptek dan
inovasi, pengembangan produk baru, fasilitasi dan pemberian insentif untuk
meningkatkan daya saing.
Berbagai paket kebijakan sudah diluncurkan.
Kita mencatat setidaknya pemerintah berupaya meningkatkan nilai tambah sektor
terbesar penyumbang PDB ini lewat beberapa langkah. Pertama, dengan
hilirisasi industri.
Kedua, strategi akselerasi industri dengan
memberikan insentif fiskal berupa tax holiday untuk delapan industri utama,
pengembangan infrastruktur dengan skema kemitraan pemerintah-swasta
(public-private partnership), Daftar Negatif Investasi dengan Peraturan
Presiden No 44 Tahun 2016 setidaknya untuk getah karet dan bahan baku
farmasi.
Ketiga, berbagai kebijakan pendukung
termasuk konektivitas penyediaan energi dan peningkatan tenaga kerja terampil
untuk industri.
Sayangnya, efektivitas kebijakan tersebut
mulai dipertanyakan. Sektor industri masih ”jalan di tempat” dan tumbuh di
bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini menghadapi masalah
deindustrialisasi berupa menurunnya jumlah perusahaan, menciutnya penciptaan
lapangan kerja, dan menurunnya sumbangan industri terhadap PDB.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan,
dari 2006 hingga 2014 jumlah perusahaan besar di Indonesia cenderung menurun.
Jumlah perusahaan besar tahun 2006 sebanyak 29.468 kemudian menurun hingga
2014 menjadi 24.529. Namun, kenaikan jumlah perusahaan tidak diikuti dengan
kenaikan penyerapan tenaga kerja. Inilah yang disebut jobless growth.
Kenaikan upah minimum di sejumlah daerah yang mencapai 8-20 persen
menyebabkan banyak industri mengurangi karyawan tetapnya dan lebih suka
menggunakan tenaga kontrak atau paruh waktu.
Indikator deindustrialisasi yang lain
adalah menurunnya sumbangan industri manufaktur terhadap PDB. Kontribusi
sektor industri triwulan III-2016 tinggal 19,9 persen, anjlok dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya yang masih di atas 20 persen bahkan pernah 29 persen. Bahkan
apabila dirinci, pada triwulan ketiga 2016, sektor industri nonmigas hanya
menyumbang sebesar 17,82 persen dari PDB Indonesia.
Akar
penyebab
Ada beberapa penyebab deindustrialisasi.
Pertama, gejala deindustrialisasi telah menjadi isu besar di negara-negara
maju ataupun berkembang, termasuk Indonesia, dengan hengkangnya pabrik-pabrik
industri pengolahan ke India, Vietnam, dan lain-lain untuk mengejar upah
buruh yang lebih murah. Bagi industri padat karya, komponen upah dan gaji
pekerja berkisar antara 12-34 persen dari total biaya. Untuk industri yang
tergolong footloose atau cost minimisers, perusahaan gampang hengkang ke
daerah atau negara lain yang menawarkan upah buruh lebih murah.
Kedua, di negara-negara lain, gejala
deindustrialisasi muncul belum terlalu lama, terutama disebabkan oleh
masuknya produk-produk murah dari Tiongkok. Sejak perjanjian Area Perdagangan
Bebas (FTA) diberlakukan, maraknya barang-barang impor dari Tiongkok yang
harganya murah dan kualitasnya rendah telah merontokkan industri lokal satu
demi satu atau setidaknya mengurangi pangsa pasar produk-produk industri
dalam negeri. Faktor luar, persaingan dari Tiongkok yang dengan penuh
kekuatan membanjiri dunia dengan produk industrinya. Ini belum ditambah
dengan liberalisasi produk dan jasa setelah diberlakukannya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA).
Ketiga, semakin meningkatnya negara kita
menjadi negara yang konsumtif. Hal ini nantinya dapat dibuktikan dengan porsi
konsumsi rumah tangga yang berkisar antara 55-58 persen selama tahun
terakhir, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang
manufaktur, dan masih tingginya kandungan impor di hampir sebagian besar
industri nasional.
Masih lemahnya struktur industri Indonesia,
ditambah dengan era perdagangan bebas yang sudah diberlakukan sekarang
tentunya membawa dampak semakin berpotensinya Indonesia menjadi negara
konsumtif. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang tentunya akan
selalu ada, bahkan tarafnya akan selalu meningkat dari waktu ke waktu. Itulah
sebabnya jika kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh bangsa sendiri,
impor negara ini akan makin meningkat. Kita buru-buru beralih ke strategi
promosi ekspor, padahal strategi substitusi impor belum tuntas dilakukan
untuk industri manufaktur utama.
Keempat, masih kurangnya dukungan
universitas dan lembaga riset dalam membantu mengatasi masalah utama yang
dihadapi oleh industri. Masih minimnya hak paten (HAKI), rendahnya riset yang
berorientasi industri, serta minimnya publikasi dosen dan peneliti merupakan
fakta yang perlu diatasi oleh kementerian terkait. Akibatnya bagi sektor
industri adalah lambatnya transfer teknologi, kurang proaktif dalam penetrasi
pasar ekspor, lemahnya pengembangan produk, ataupun perbaikan proses
produksi.
Harus diakui kita tertinggal dari
negara-negara lain dalam kemitraan antara industri dan universitas/lembaga
riset. Padahal kisah sukses industri Jepang dan Korea Selatan ditopang oleh
kemitraan antara universitas dan industri yang amat mendukung pengembangan
sistem inovasi nasional, mengelola ketidakpastian teknologi, dan juga
memanfaatkan sistem kekayaan intelektual.
Transformasi
ke negara industri
Kita perlu belajar dari pengalaman Jepang
menata industri dan meningkatkan daya saingnya. Mekanisme Pemerintah Jepang
mengarahkan perkembangan ekonomi disebut gyosei-shido, semacam panduan
administratif yang mencakup insentif perdagangan, pasar tenaga kerja,
persaingan, dan perpajakan (Ken Duck,
”Now That the Fog Has Lifted: The Impact of Japan’s Administrative Procedures
Law on the Regulation of Industry and Market Governance”, Fordham
International Law Journal, 19(4), 1995).
Di bidang industri setidaknya ada tiga
elemen kebijakan. Pertama, mengembangkan sektor industri manufaktur yang
memiliki daya saing yang tinggi. Kedua, restrukturisasi industri secara
terencana menuju industri yang memiliki produktivitas, penyerap tenaga kerja,
penyumbang nilai tambah dan devisa tinggi. Ketiga, strategi bisnis
internasional dan domestik yang agresif.
Dalam konteks inilah, sektor industri
agaknya membutuhkan reformasi kebijakan yang mendasar. Mungkin berupa paket
kebijakan yang lebih menyeluruh, holistik, dan tidak hanya ”dibebankan”
kepada Kementerian Perindustrian. Inilah yang disebut strategi
reindustrialisasi.
mudahan perizinan.
Ketiga, perlu rencana aksi yang jelas
bagaimana menggenjot hilirisasi dan hulunisasi industri. Hulunisasi
hakikatnya adalah strategi substitusi impor masih perlu difokuskan untuk
industri yang masih memiliki kandungan impor yang tinggi. Sebaliknya,
hilirasasi adalah menumbuhkembangkan industri hilir di bidang agribisnis yang
memiliki potensi besar seperti perikanan, kakao, dan kelapa sawit.
Keempat, pengembangan penyebaran dan
pemerataan industri di luar Jawa, dengan pembangunan kawasan industri, perlu
dipercepat. Hal ini sesuai arahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia
sentris, bukan Jawa sentris. Pemerintah menargetkan menciptakan 14 kawasan
industri di luar Jawa. Harus diakui, kebijakan industri kita selama ini
bersifat aspasial (spaceless), mengabaikan di mana lokasi industri berada.
Perspektif baru kebijakan industri lebih mendukung tindakan horizontal dan
menolak target sektoral. Perspektif spasial pembangunan industri, dengan
berbasis kluster, merupakan salah satu faktor kunci yang dapat membantu
pemerintah pusat dan daerah merumuskan kebijakan industri.
Observasi di lapangan menunjukkan,
setidaknya ada empat kendala dalam mengembangkan industri di luar Pulau Jawa,
yaitu infrastruktur, tata ruang, sumber daya manusia (SDM), dan minat
pembangunan. Pertama, infrastruktur pendukung seperti jalan, rel kereta api,
pelabuhan, dan air kondisinya kurang memadai. Kedua, terkait tata ruang,
belum semua kabupaten atau kota telah mempersiapkan rencana tata ruang
wilayah (RTRW), khususnya kawasan industri.
Permasalahan berikutnya adalah SDM, sebab
kemampuan tenaga kerja dan SDM industrial yang terlatih di daerah masih
kurang. Kondisi ini turut membuat pertumbuhan industri di luar Pulau Jawa
tidak sepesat Pulau Jawa. Terakhir, minat swasta untuk membangun kawasan
industri yang baru, terutama ke luar Jawa, juga masih kurang. Dengan berbagai
reformasi kebijakan tersebut, target RPJMN dan Rencana Induk Pengembangan
Industri Nasional tidak mustahil akan dicapai. Sejarah yang nanti akan
mencatat apakah Indonesia akan menjadi negara industri atau jasa pada 2030? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar