Budaya
"Pro Bono"
Todung Mulya Lubis ; Ketua
Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);
Anggota International Bar
Association (IBA)
|
KOMPAS, 14 Desember
2016
Akhir Agustus lalu saya menghadiri sebuah pertemuan, 2016
Asia Pro Bono Forum, di Bali. Dalam pertemuan itu digugat lemahnya tanggung
jawab profesi hukum dalam membantu rakyat miskin, memperluas akses terhadap
keadilan.
Di banyak negara, para advokat
profesional tenggelam dalam kerja komersial, mencetak uang dalam jam-jam
kerja panjang sampai larut malam, lalu menikmati jerih payah itu dalam
kemewahan yang sesuai dengan penghasilan yang mereka dapatkan.
Dalam waktu yang tak terlalu lama, semua advokat
profesional bergabung dalam strata atas lapisan sosial menjadi the
affluent society walau belum masuk dalam kelompok 1 persen yang
menguasai lebih dari 50 persen kekayaan ekonomi dunia.
Peran advokat
Gugatan itu layak ditujukan kepada profesi advokat di
Indonesia dari organisasi mana pun mereka berasal. Citra advokat di Indonesia
sama dengan para advokat di negara lain, yaitu profesi yang egois, agak anti
sosial, dan obsesinya hanya menjadi mesin uang mengejar kekayaan. Tak aneh
kalau dalam banyak kesempatan cibiran yang dilontarkan adalah sangat tepat,
yaitu "membela yang bayar", bukan "membela yang benar".
Di sini yang hitam bisa menjadi putih, yang putih bisa
menjadi hitam. Kalau sinisme ini diteruskan, kita akan bicara mengenai
"mafia peradilan" yang melahirkan judicial corruption.
Karena itu, saya tak terkejut setiap kali membaca survei yang menyimpulkan,
persepsi publik terhadap profesi advokat sangat negatif. Profesi advokat yang
secara historis dianggap sebagai profesi mulia (noble profession, officium
nobelium) sekarang sudah menjadi profesi yang dilecehkan.
Tentu saya tidak mengatakan bahwa tak ada anggota profesi
advokat yang masih berjuang mempertahankan karakter profesi advokat sebagai
profesi mulia, tetapi jumlah mereka kalah jauh dari mereka yang sudah
terperangkap pada komersialisme profesi untuk tak menyebut mereka sebagai
makelar atau calo.
Sejarah advokat di Indonesia bermula dari komitmen untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Para advokat sejak zaman pra-kemerdekaan ikut
berjuang mendirikan negara, membela rakyat yang diterpa ketidakadilan. Dalam
kiprah mereka, kita melihat komitmen kuat untuk membantu masyarakat, termasuk
mereka yang kurang mampu membayar honorarium advokat.
Ilmuwan politik Amerika, Daniel S Lev, yang banyak menulis
tentang peran advokat, mengatakan bahwa advokat di Indonesia adalah motor
pembaruan hukum dan demokrasi, tulang punggung kelas menengah baru. Ilmuwan
politik ini melihat masa depan Indonesia sangat banyak dipengaruhi oleh
pandangan progresif dari para advokat.
Namun, harapan itu tidak akan pernah terwujud karena
mayoritas advokat sekarang lebih peduli dengan uang, lebih kompromistis dan
permisif, lebih tak terlibat dalam pembaruan hukum dan perluasan akses terhadap
keadilan. Tahun 1971 para advokat senior negeri ini mendirikan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) yang menjadi bentuk nyata dari perwujudan kelembagaan
bantuan hukum cuma-cuma buat rakyat miskin.
Di sinilah budaya pro bono itu tumbuh dan
menyebar sehingga sekarang ini ratusan atau mungkin ribuan lembaga serupa
didirikan walau mayoritas LBH tak jelas ideologi dan filosofinya.
Romantisisme dan komersialisme mengikuti pendirian LBH dan tragisnya banyak
yang mengomersialkan LBH yang dikelola mereka sehingga hanya sedikit LBH yang
masih bertahan dalam kemurnian jati dirinya sebagai tempat bantuan hukum
cuma- cuma dijalankan, tempat budaya pro bono dilaksanakan.
Memperbaiki citra
Jumlah orang miskin (poor) di Indonesia masih
sekitar 28 juta jiwa. Jumlah yang mendekati miskin (near poor) juga
sangat besar. Kedua kelompok ini adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan
hukum cuma-cuma, pro bono. Secara teoretis, mereka bisa
datang ke LBH dan mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma, tetapi banyak sekali
cerita tentang orang miskin yang dimintakan biaya oleh LBH-LBH yang memang
tidak jelas transparansi dan akuntabilitasnya.
Sekarang ini siapa pun bisa membuat LBH, termasuk partai
politik ataupun organisasi kemasyarakatan. Banyak yang mendirikan LBH, tetapi
tidak mengerti konsep dasar LBH sehingga LBH juga dikomersialkan.
Sekarang banyak yang mendirikan LBH karena ingin mengejar
dana bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dana yang disediakan oleh APBN adalah
Rp 40 miliar dan distribusinya adalah Rp 5 juta untuk bantuan hukum litigasi
dan Rp 5 juta untuk bantuan hukum nonlitigasi.
Celakanya, dana bantuan hukum yang Rp 40 miliar ini konon
akan mengalami pengurangan sampai Rp 18 miliar. Bayangkan, berapa banyak
rakyat miskin yang akan menikmati bantuan hukum cuma-cuma ini? Akses terhadap
keadilan bukannya meluas, tetapi menyempit.
Kondisi keuangan pemerintah memang sedang kurang baik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sedang melakukan pemangkasan anggaran,
termasuk anggaran bantuan hukum. Sementara APBD provinsi dan kabupaten masih
sangat minimal menyediakan dana bantuan hukum sehingga budaya pro
bono sulit berkembang karena kecilnya anggaran bantuan hukum.
Seharusnya dana bantuan hukum ini tidak dipangkas karena
tujuannya jelas buat rakyat miskin walau ada juga keluhan tentang kurang
suksesnya penyerapan dana bantuan hukum karena LBH yang memohonkan dana itu
tidak sepenuhnya mampu mengelola program bantuan hukum.
Apa jalan keluarnya? Menurut saya, profesi advokat mesti
ikut bertanggung jawab menyediakan dana bantuan hukum sebagai bagian dari
tanggung jawab profesional mereka. Budaya pro bono ini tidak
boleh berhenti sebagai slogan atau retorika. Organisasi advokat harus
mewajibkan setiap advokat menyediakan minimal 50 jam untuk kerja bantuan
hukum secara cuma-cuma.
Jadi, kalau jumlah advokat kita 16.789 orang, setiap tahun
ada 839.450 jam kontribusi advokat terhadap rakyat miskin. Dan 50 jam itu
sama dengan kerja seminggu dalam setahun. Di sinilah budaya pro bonoitu
tumbuh.
Bagaimana dengan advokat yang tidak mau menyumbangkan
waktu 50 jam buat rakyat miskin? Organisasi advokat mesti mewajibkan mereka
menyumbangkan sejumlah uang ke dalam "dana bantuan hukum"
atau pro bono fund yang akan disalurkan buat kerja bantuan
hukum secara cuma-cuma oleh LBH-LBH yang menurut organisasi advokat layak
memperoleh dana tersebut.
Saya kira kalau organisasi advokat dan para advokat ingin
memperbaiki citranya, memulihkan profesinya menjadi profesi mulia (noble
profession), ikut memperluas akses terhadap keadilan, maka budaya pro
bono dan pro bono fund merupakan sumbangan yang
sangat berharga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar