Ancaman
Terorisme Kian Nyata
Aleksius Jemadu ; Guru
Besar Politik Internasional
Universitas Pelita Harapan (UPH)
Karawaci Tangerang
|
KOMPAS, 15 Desember
2016
Meskipun Indonesia dipuji dunia
internasional karena mampu mengombinasikan Islam dengan demokrasi, masih ada
kekhawatiran tentang pertumbuhan radikalisme dan terorisme atas nama agama
yang setiap saat berpotensi melancarkan serangan fatal, baik terhadap obyek
vital kenegaraan maupun sasaran penduduk sipil.
Karena itu, keberhasilan aparat keamanan
melakukan tindakan preventif melalui penangkapan sejumlah anggota jaringan
Bahrun Naim di Kalimalang dan Bekasi pada 10 Desember 2016 patut diapresiasi
sebagai prestasi yang meningkatkan kredibilitas institusi kepolisian di
tingkat domestik ataupun internasional.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
sesungguhnya sadar bahwa terorisme merupakan ancaman serius terhadap keamanan
nasional. Hal itu terlihat setidaknya dari upaya deradikalisasi yang terus
dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama instansi
pemerintahan lainnya dan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Terorisme yang saat ini sedang bergulir di DPR.
Alokasi dana untuk peningkatan peralatan
dan profesionalisme Densus 88 juga terus dilakukan, baik yang bersumber pada
dana domestik maupun bantuan internasional. Pertanyaannya adalah mengapa
ancaman terorisme justru semakin meningkat, bahkan menjadikan simbol- simbol
strategis negara sebagai sasaran utama?
Dimensi
transnasional
Terorisme yang berkembang di Indonesia
tidak pernah terlepas dari perkembangan politik internasional di berbagai
belahan dunia. Sekurang-kurangnya ada empat fenomena penting yang perlu
dicermati karena berpotensi membawa efek peningkatan agresivitas kelompok
terorisme di Indonesia.
Pertama, terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden AS yang baru dengan retorikanya yang kurang bersahabat dengan dunia
Islam akan dijadikan justifikasi oleh kelompok terorisme, khususnya Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS), untuk meneruskan perjuangannya melawan
hegemoni AS di seluruh dunia, termasuk pemerintah yang dianggap mendukung
kebijakan negara adidaya tersebut.
Apalagi, Donald Trump telah mencalonkan
pensiunan jenderal hawkish (garis keras) yang lebih mengedepankan pendekatan
keamanan dalam mengatasi terorisme, seperti James Kelly untuk urusan keamanan
dalam negeri dan James Mattis sebagai menteri pertahanan. Orang mulai
meragukan apakah Donald Trump akan menggunakan soft power dalam memerangi
terorisme global.
Kedua, prospek keamanan dan stabilitas di
Timur Tengah semakin suram. Konflik yang berkepanjangan di Yaman, Suriah,
Irak, Somalia, dan Libya akan menciptakan lebih banyak negara gagal (failed states) yang dijadikan basis
perjuangan kelompok teroris untuk merekrut anggota baru. Belum lagi pengangguran
yang semakin meningkat di negara-negara Arab akibat turunnya harga minyak
telah menimbulkan frustrasi sosial di kalangan generasi muda yang kehilangan
harapan akan masa depan.
Kombinasi antara krisis ekonomi dan rezim
otoriter yang cenderung mengabaikan demokrasi dan hak asasi manusia merupakan
formula yang efektif bagi munculnya sejumlah pemberontakan terhadap
pemerintah yang sah. Kegagalan Musim Semi Arab (Arab Spring) yang tadinya
memberi harapan munculnya bibit demokrasi justru telah memperkuat determinasi
rezim yang ada untuk lebih memperketat kontrol dan represi atas rakyatnya.
Ketiga, semakin terdesaknya posisi NIIS di
Mosul akibat serangan pasukan Pemerintah Irak dan melemahnya basis pertahanan
kelompok pemberontak di Aleppo oleh tentara Suriah telah mendorong pemimpin
NIIS Abu Bakar al-Bhagdadi mencari markas perjuangan yang baru di luar Timur
Tengah. Filipina selatan telah dipilih sebagai lokasi strategis untuk
melancarkan serangan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Keempat, penindasan yang dilakukan tentara
Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya di Provinsi Rakhine telah
dijadikan alasan oleh kelompok teroris untuk membenarkan ekspansi
aktivitasnya di Asia Tenggara tidak hanya terhadap Pemerintah Myanmar, tetapi
juga negara-negara di Asia Tenggara lainnya yang dianggap kurang peduli
dengan nasib kaum Rohingya.
Keterbatasan
Densus 88
Sangatlah naif jika Indonesia hanya
mengandalkan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Anti Teror untuk mengatasi
ancaman terorisme di negeri ini. Peningkatan profesionalisme institusi
keamanan ini tetap diperlukan tetapi jangan dilupakan bahwa hakikat motif
terorisme yang tumbuh dan berkembang dalam pola pikir dan predisposisi
batiniah dari pelakunya.
Memang di bawah koordinasi BNPT, program
deradikalisasi telah dilakukan, bahkan mendapatkan dukungan dari ormas-ormas
keagamaan. Namun, kenyataan bahwa proses perekrutan kelompok teroris tetap
berjalan menunjukkan bahwa hasil yang dicapai belum optimal. Untuk itu,
evaluasi secara kritis oleh kelompok independen perlu dilakukan agar
terungkap apakah deradikalisasi selama ini sudah tepat sasaran dan mencapai
tujuan perubahan sikap dan pola pikir pada kelompok sasaran tersebut.
Apakah BNPT sendiri telah merumuskan
indikator keberhasilan dari programnya atau hanya sekadar menjalankan juklak
yang ada tanpa peduli keluarannya. Selain itu, perlu dipikirkan juga
kemungkinan untuk mempertemukan kelompok sasaran dengan kelompok berkeyakinan
lain agar terjadi proses moderasi ideologis sebagai hasil dialog yang jujur
atas prinsip saling menghormati.
Akhirnya, jika kita sepakat bahwa generasi
muda kita telah menjadi target kampanye penyebaran ideologi kekerasan, sudah
saatnya memikirkan untuk memasukkan program deradikalisasi ini ke dalam
kurikulum pada semua tingkatan pendidikan sebagaimana upaya yang kita lakukan
untuk mengatasi korupsi. Tantangan yang kita hadapi tidaklah ringan dan
jangan dipandang remeh. Penggunaan media sosial untuk penyebaran ideologi
yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa semakin masif dan merasuki
pikiran remaja dari kota sampai pedesaan.
Partai politik, organisasi masyarakat
(ormas) keagamaan, dan institusi pendidikan harus ikut ambil bagian dalam
proses pencerdasan bangsa ini jika ingin membendung ancaman terhadap
stabilitas keamanan dan kohesivitas bangsa. Bagaimanapun pendekatan soft
power masih jauh lebih baik daripada represi karena biaya sosial, politik,
dan kemanusiannya lebih rendah. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa
penggunaan kekerasan hanya menimbulkan lingkaran kekerasan yang tidak
mengenal akhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar